Tampilkan postingan dengan label Mystery. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mystery. Tampilkan semua postingan

Selasa, 29 September 2020

Enola Holmes

 

pic credit to netflix
pic credit to Netflix

Enola Holmes merupakan adaptasi dari novel Nancy Springer, dan disutradarai oleh Harry Bradbeer. Film ini mengikuti Enola (Millie Bobby Brown) yang dibesarkan oleh ibunya, Eudoria (Helena Bonham-Carter). Eudoria mengajarkan Enola keahlian dan pelajaran yang tidak umum dipelajari wanita waktu itu, seperti bela diri dan sains. Suatu hari, ibunya memutuskan untuk meninggalkan Enola. Enola yang belum dewasa menjadi anak wali Mycroft (Sam Claflin), kakak dari Enola dan Sherlock (Henry Cavill). Enola memutuskan untuk kabur dan mencari ibunya. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Tewkesbury (Louis Partridge), seorang bangsawan yang lari dari keluarganya.


pic credit to Netflix


Okay, I just need this to get out of my chest first: Henry Cavill lebih ganteng di sini daripada di DCEU woy. Kalau kata adek gue: "Emang mana yang lebih ganteng, orang pake celana dalam di luar atau di dalem."


Kalau gue menebak ini mengambil latar belakang di Edwardian Era. Edwardian Era sendiri berjalan dari sekitar tahun 1901 hingga 1910, sebelum Perang Dunia I. Gerakan suffrage berkembang cukup pesat di era ini. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok suffragattes sebenarnya memuncak sekitar tahun 1914, di bawah rezim George V. Meskipun gerakan suffrage berkembang di akhir Victorian Era, wanita yang memiliki pendidikan tinggi seperti Eudoria dan Enola sudah ada sejak lama di Inggris, sebut saja Ada Lovelace dan Mary Shelley.


Mungkin ada beberapa penonton juga yang tidak percaya wanita di zaman itu bisa belajar olahraga bela diri. Justru di Edwardian Era lah para wanita belajar jiu-jitsu untuk melindungi wanita lain. Wanita yang menyebarkan jiu-jitsu kepada wanita lain adalah Edith Garrud, instruktur WSPU (Women's Social and Political Union). Enola Holmes juga memiliki tokoh bernama Edith yang diperankan oleh Susie Wokoma, seorang wanita kulit hitam. 


Gue agak kaget gak ada yang mempermasalahkan pemilihan casting Wokoma, mengingat ia jelas-jelas terinspirasi dari real person. Mungkin ini karena Garrud sendiri bukan tokoh feminis yang populer. Menampilkan tokoh kulit hitam di Edwardian Era mungkin terasa seperti usaha dangkal yang bagus untuk terlihat memiliki 'diverse cast'. Tapi itu juga bisa usaha untuk whitewashing the history. Benar, tidak seharusnya orang menganggap serius nuansa historis dari film fiksi. Tapi ini film yang kelompok demografisnya adalah anak muda who probably do not know any better. 


Gue juga tidak akan mempermasalahkan pilihan casting itu kalau Enola Homes fully for entertainment. Alas, mereka mencoba untuk preaching for social justice and why you should participate in it. Tingkat preachnya sampai level penulisnya menuliskan dialog yang spelling out the message. Seandainya mereka gak preachy, mungkin I will take the faults of the film less seriously.


Walaupun Jack Thorne selaku screenwriter bersusah payah untuk menjelaskan pesan film, ada aspek cerita dan tokoh yang mengkontradiksi pesan tersebut. Ada adegan di mana Edith called out on Sherlock's apolotical position. Edith menyatakan bahwa wajar Sherlock tidak tertarik untuk mengubah tatanan politik, karena ia tidak pernah dirugikan oleh politik. Gue pribadi setuju bahwa orang yang apolitik cenderung priveleged, dan tidak peduli politik sama sekali artinya apatis terhadap kehidupan orang lain. Edith bahkan dengan gamblang ngomong kalau Sherlock kayak burung unta yang ngumpetin kepalanya di bawah tanah.


Di sisi lain, Enola dengan keras kepala menolak untuk berkompromi dengan Mycroft. Ia menolak untuk bergaul dengan cewek yang seumuran dengan dia di sekolah. Enola hampir tidak mengubah pendiriannya, bahkan menyatakan bahwa dunia lah yang harusnya berubah. Lalu, film ditutup dengan Enola yang menyatakan, "My life is my own (...)". Enola's hard headedness can hinder social change too, in real life. Karena di kehidupan nyata orang harus belajar untuk berkompromi dan choose their battle wisely. Gue juga mikir dengan dia menolak untuk belajar di sekolah itu, kemungkinan dia malah membuang kesempatan untuk networking dan menyebarkan feminisme ke kaumnya sendiri. Pilihan dia untuk bersikeras terhadap pendiriannya jadi kontras dengan keputusannya dia untuk menyamar, bahkan ganti gender dan kelas, di sepanjang film.


Nilai-nilai feminisme di film ini juga jadi berkurang jika mengingat film ini seakan-akan membagi tokoh-tokoh wanitanya menjadi dua: progresif dan kuno. Di sisi progresif ada Edith, Eudoria, dan Enola. Di kelompok kuno ada wanita bangsawan, cewek-cewek di sekolah Enola, dan Miss Harrison (Fiona Shaw, yang jadi tantenya Harry Potter). Hampir gak ada wanita yang di tengah-tengah. Mungkin ada satu sih, penjaga kosannya Enola, yang oportunis. Mycroft is also over-villainized? Dia jadi konservatif dangkal yang tipikal. I would've liked it more if he had been a traditional centrist that can challenge Enola's thought. 


Overall, Enola Holmes is an entertaining movie with Millie Bobby Brown as a solid lead. It has a pretty cinematography and a nice flow. Unfortunately, its attempt to be political is weak and the message is contradictory. 6,5/10






Jumat, 13 Februari 2015

(Some Kind of) Short Reviews: The Bicycle Thieves; Nebraska; and The Grand Budapest Hotel

 
Berhubung gue sibuk banget dengan urusan rumah tangga sama Benedict Cumberbatch sekolah, gue memutuskan untuk nulis review-review pendek dari beberapa film yang baru gue tonton.  Filmnya gak ada yang benar-benar baru sih karena gue gaptek dan bokekTapi daripada gue gak nulis sama sekali, mendingan tulis aja (?)

SPOILER ALERT!!!

The Bicycle Thieves / Ladri di biciclette (Vittorio de Sica, 1948)


The Bicycle Thieves adalah film terkenal dari aliran Neorealisme Italia.  Film ini disutradarai dan ditulis oleh Vittorio de Sica. Film yang dibintangi oleh Lamberto Maggiorani ini menyoroti kemiskinan yang dialami Italia setelah Perang Dunia II.

Antonio Ricci (Lamberto Maggiorani) berusaha keras untuk menafkahi keluarganya.  Keluarga kecil Antonio terdiri dari istrinya, Maria (Lianella Carell), putranya, Bruno (Enzo Staiola) serta bayi kecilnya.  Suatu hari, Antonio berhasil mendapatkan pekerjaan dengan syarat ia harus mempunyai sepeda.  Ia dan istrinya menjual beberapa barang mereka untuk membeli sepeda mereka yang sudah ada di pawn shop.  Namun baru satu hari Antonio bekerja, sepedanya sudah dicuri orang lain.  

Seperti yang sudah saya katakan, film ini menyoroti kemiskinan yang terjadi di Italia setelah Perang Dunia II.  The Bicycle Thieves menunjukkan penontonnya bagaimana hidup sebuah keluarga bergantung pada suatu barang namun mereka bukan satu-satunya keluarga yang memerangi kemiskinan.  Orang sudah miskin dicuri, tapi karena dia dicuri, dia harus mencuri juga.  Alangkah ironisnya jika orang yang ia curi orang miskin juga, karena ini hanya mengakibatkan siklus yang tidak kunjung selesai.  Selain menyoroti kemiskinan, The Bicycle Thieves juga memperlihatkan dinamika hubungan ayah dan putra yang desperate.  Menyedihkan sekali bagaimana sang anak masih bergantung pada ayahnya, namun ketergantungan itulah yang menyebabkan sang anak hampir kehilangan ayahnya.  Selain plot yang menabjubkan, tidak ada aktor yang berakting jelek di film ini.  

Maggiorani dengan hebat membawa sosok yang desperate, tegas, namun seorang family-man.  Ia bisa menjadi keras dan pushy, tapi ia juga bisa bersenang-senang dan menjadi kepala keluarga yang pantang menyerah.  Enzo Staiola sendiri tidak kalah hebat.  Aktingnya terasa raw dan tulus, terutama pada adegan terakhir.  Staiola dan Maggiorani tidak hanya baik sebagai individu, tapi mereka juga mempunyai chemistry yang sangat mengesankan.  Overall, The Bicycle Thieves adalah film yang mampu membuat penontonnya untuk merefleksikan keputusan yang mereka sudah atau akan lakukan. 10/10    

Nebraska (Alexander Payne, 2013)


Alexander Payne kembali dengan tema keluarga pada 2013 dengan film berjudul Nebraska.  Tidak seperti ketiga film sebelumnya, Nebraska tidak ditulis oleh Payne sendiri melainkan oleh Bob Nelson, yang mendapat nominasi Best Origina Screenplay pada Academy Award ke-86.

Meskipun Woody Grant (Bruce Dern) adalah seorang pemabuk dan delusional, anak bungsunya, Davey (Will Forte) sangat peduli kepadanya.  Woody yang percaya ia baru saja memenangkan satu juta dollar, terobsesi untuk pergi ke Lincoln, Nebraska.  Istrinya, Kate (June Squibb), dan putra tertuanya, Ross (Bob Odenkirk) tidak merestui keinginannya.  Namun Davey yang melihat hal ini sebagai hal yang bisa membangkitkan gairah ayahnya setuju untuk mengantarkan Woody ke Lincoln.  Sayangnya di perjalanan, Woody terluka.  Ia harus singgah di rumah saudaranya.  Disana, Woody bertemu dengan orang-orang yang dulu merupakan bagian dari hidupnya.

Second half-nya Nebraska penuh dengan perbincangan mengenai masa lalu Woody.  Ini sepertinya berkaitan dengan komentar Kate mengenai Woody yang tidak pernah memperhatikan keadaan di sekitarnya.  Hal ini mengingatkan kita bahwa tempat yang kita tinggali sekarang mungkin bisa saja menjadi tempat yang nanti hanya berisi memori.  On the dark side, I think Woody had it too easy.  Sure, his wife can be a bitch, and his relatives are punch-worth, tapi ia mempunyai putra yang supportive dan toh pada akhirnya keluarga intinya mendukung dia.  Akan lebih bagus jika ada kontras dimana ada seorang lansia yang tidak punya keluarga yang mempermudah hidupnya.  Nebraska tidak hanya mempunyai plot yang menyenangkan, aktor-aktornya pun sangat lihai dalam memerankan masing-masing karakter dan mempunyai chemistry yang indah di antara mereka.  Overall, Nebraska adalah film yang lucu, hangat, dan engaging. 8/10

The Grand Budapest Hotel (Wes Anderson, 2014)


Why oh why gue gak nonton nih film dari awal.....*jedotin kepala ke lemari*

Setelah sukses dengan Moonrise Kingdom, Wes Anderson kembali dengan film yang tidak kalah menariknya, The Grand Budapest Hotel.  Film yang hits sekali di tahun 2014 ini telah menerima banyak pujian dari kritikus film.

Grand Budapest Hotel mungkin adalah hotel terhebat di Budapest pada tahun 1930an.  Sang pengelola, Gustave H (Ralph Fiennes) merupakan sosok yang perfeksionis dan menomorsatukan setiap tamu Grand Budapest Hotel.  Ia akan melakukan apa saja untuk tamu-tamunya.  Apa saja.  Zero (Tony Revolori) hanyalah lobby boy yang keluarganya baru saja dieksekusi.  Meskipun Zero hanyalah pegawai baru, kesetiannya pada Gustave terbukti saat Gustave dipenjara karena diduga membunuh salah satu regular guest-nya.

Sumpah, gue nyesel banget gak nonton film ini dari awal, karena filmnya super keren.  Gue cuma punya satu pengalaman dengan om Wes Anderson (Moonrise Kingdom) itu pun gue cuma nonton setengah karena gue ketiduran, haha.

The Grand Budapest Hotel mempunyai aspek visual yang indah, iringan musik yang sejalan dengan film, plot yang witty, and last but not least, jajaran aktor yang sangat hebat.  Gue tidak melihat adanya kekurangan dalam film ini walaupun harus gue akuin film ini terlihat agak pretensius dan typical indie film.  Dibalik kelucuan dan kemewahan The Grand Budapest Hotel, ada sedikit kegelapan dan melankolis pada film ini.  Madame D mungkin tipikal orang setengah baya, tapi bukankah sedih juga jika keluarganya (termasuk anaknya sendiri) datang ke pemakamannya hanya untuk mendapatkan warisan?  Zero yang dewasa juga dengan blak-blakan menceritakan kematian Agatha (Saosoire Ronan) dan tuannya sendiri, Gustave.  Ia melakukan itu seolah-olah ia tidak ingin merusak masa-masa bahagia yang ia alami bersama mereka.  Kematian mereka memang tidak dibahas secara mendalam, tapi kematian mereka tetap menimbulkan perasaan pahit dan sedih pada gue.  

Gue rasa ada alasan mengapa saat-saat terakhir Gustave justru diberikan warna hitam-putih.  Mungkin karena jika kita hanya melihat Gustave yang membela Zero kita akan langsung menilai bahwa Gustave adalah seorang saint atau noble.  Atau jika kita ingat bagaimana Gustave bisa apatis terhadap nasib keluarga Zero, kita akan langsung menilai Gustave sebagai antagonis.  Padahal pada akhirnya, Gustave bukanlah sosok yang bisa diberikan warna hitam atau putih saja.

Overall, no words can describe my love for The Grand Budapest Hotel. 10/10             

Kamis, 19 Juni 2014

Black Butler (2014): A disappointing adaptation of "Kuroshitsuji"

I'm just...a devilish butler. -Sebastian Michaelis
eigapedia.com

Gue gak pernah baca komik Black Butler a.k.a Kuroshitsuji ataupun nonton anime-nya.  Tapi teman SMP gue ngefans banget sama nih komik, makanya gue tahu satu-dua hal tentang komik ini.  Black Butler merupakan film supernatural dan misteri Jepang 2014 yang disutradarai oleh Kentaro Otani dan Keiichi Sato serta ditulis oleh Tsutomu Kuroiwa.  Film ini merupakan live action yang diangkat dari komik Black Butler yang ditulis oleh Yana Toboso.  Durasi film ini sekitar 199 menit.

Film ini berlatar pada tahun 2020, dimana dunia terpisah menjadi "Barat" dan "Timur".  Ratu dari "Barat" pun mengirim 'mata-mata' ke seluruh dunia yang disebut Queen's Watchdogs.  Salah satu dari Queen's watchdogs itu adalah Kiyoharu Genpo (Ayame Gouriki).  Nama asli Kiyoharu adalah Shiori.  Ia merupakan satu-satunya putri pasangan Genpo yang dibunuh pada suatu malam.  Shiori selamat dan ia menyamar sebagai anak laki-laki haram ayahnya agar dapat menguasai seluruh aset keluarga Genpo.  Ia kembali dengan seorang pria yang bernama Sebastian Michaelis (Hiro Mizhushima)Sejak saat itu, Sebastian menjadi pelayan setia bagi Kiyoharu.  Sebenarnya Sebastian seorang setan yang melakukan perjanjian dengan Kiyoharu.  Kiyoharu menjual jiwanya kepada Sebastian agar ia bisa melakukan balas dendam bagi orang-orang yang telah membunuh orangtuanya.

Akhir-akhir ini, muncul kasus orang-orang yang berubah menjadi mumi.  Korban-korbannya merupakan orang yang punya jabatan di dunia politik.  Tapi polisi tidak bisa menemukan koneksi antara orang-orang yang dibunuh serta apapun yang menyebabkan mereka menjadi mumi.  Kiyoharu dan Sebastian pun menyelidiki kasus ini dengan sedikit bantuan dari bibi Kiyoharu, Hanae (Yuka).  Kasus ini malah menarik Sebastian dan Kiyoharu ke dunia gelap yang melibatkan obat-obatan dan terorisme.  Siapapun orang di balik ini semua, ternyata juga terlibat dengan pembunuhan pasangan Genpo.

eigapedia.com

What the hell is Genpo family?  Bukannya Ciel Phantomhive ini cowok?  Kok malah jadi cewek?!!!  Kok nama keluarganya beda?  Bukannya Black Butler setting-nya di jaman ratu Victoria gitu ya?!!

Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan berbagai pertanyaan yang memenuh otak gue saat menonton film ini.  Tapi karena gue belum pernah baca dan nonton Kuroshitsuji, makanya gue melupakan pertanyaan-pertanyaan itu.  Sampai rumah, gue pun browsing tentang Black Butler dan ternyata live action ini emang agak beda dengan komik aslinya.  Karena gue bukan fans berat Black Butler, gue malah appreciate Tsutomu Kuroiwa yang berusaha agar film ini sedikit berbeda dari komik aslinya.  But does that mean I like this film?

First thing first, Sebastian Michaelis ganteng banget!!!!!!!!  Mau yang versi komik atau versi live action, dia ganteng banget sumpah!!!  Selama ini gue membayangkan Sebastian sebagai sosok yang karismatik, misterius, agak dingin namun punya sense of humor yang rada sarkastik.  Praise to the lord, Hiro Mizushima berhasil mewujudkan Sebastian impian gue!  Hal yang paling gue suka dari aktingnya Hiro Mizushima itu bukan facial expression-nya, tapi gesture dan intonasi suaranya.  Mizushima berbicara dengan cara yang anggun namun juga mempunyai unsur playfulness.  Gue rasa Mizushima berhasil memerankan sosok Sebastian Michaelis karena dia berhasil menarik perhatian gue, yang tadinya gak tahu apa-apa soal Sebastian Michaelis, malah tergila-gila sama dia sekarang.   Gue suka bagaimana penulis dapat menunjukan kesetiaan Sebastian, tapi di sisi yang lain, Sebastian tidak takut memainkan nyawa tuannya di waktu tertentu.  Meskipun Sebastian 'terikat' untuk melayani Kiyoharu, there's still a sense of independence from Sebastian.  Tidak hanya karena Sebastian lebih kuat daripada Kiyoharu, tapi ada sesuatu dari aura dan watak Sebastian yang membuatnya...agak bebas dan mandiri.

Ciel Phantomhive di otak gue merupakan sosok tuan muda yang karismatik, dingin, kaku, tapi juga agak pemalu.  Sayang, Ayame Gouriki gagal mewujudkan Ciel Phantomhive.  Atau mungkin karena Ciel Phantomhive yang di otak gue berbeda dengan Ciel yang di komik ataupun anime?  Oke, oke, Ayame Gouriki tidak berperan sebagai Ciel di film ini, tapi sebagai Kiyoharu Genpo.  Entahlah, bukankah orang yang memimpin suatu perusahaan besar dan mata-mata ratu harusnya mempunyai aura seorang pemimpin atau karisma yang besar?  Gouriki tidak memiliki unsur ini.  Bukan hanya itu, terkadang ekspresi Gouriki terlihat seperti dipaksakan.  Memang ada momen dimana aktingnya bagus, tapi ada juga momen dimana it's awkward to watch her.  Sayangnya juga, chemistry antara Gouriki dan Mizushima kurang terasa.   

Tapi untungnya hubungan antara Kiyoharu dan Sebastian tergali dengan cukup baik disini.    

theeoy.com
Waktu gue melihat ada mobil yang dikendarai dengan agak aneh dan di mobil itu ada mumi, somehow, gue mengira bahwa film ini merupakan pertemuan antara Confession (Kokuhaku) dan Battle Royale.  Artinya, film ini merupakan film misteri gelap bercampur dengan bunuh-bunuhan yang berdarah.  Sadly, Black Butler is far from Confession or Battle Royale.  Gue malah merasa agak bosan dengan film ini dan pengen cepat-cepat keluar dari bioskop.  Why?  Karena durasinya kepanjangan.  Kalau durasinya panjang tapi akting, plot, dan sinematografinya bagus sih yang jelas gak apa-apa.  But I think this film is mediocre.

Yes, there are some twists in this film, but overall, film ini gak punya cerita misteri yang 'menggigit'.  I don't really know why, pertama-pertamanya sih gue ngikuti dan kepo dengan misteri yang ditawarkan film ini.  Tapi lama-kelamaan gue males dan udah gak kepo lagi dengan misterinya.  Gue rasa karena twist yang ada di film ini malah backfire ke filmnya.  Beberapa twist agak nonsense bagi gue.  Karena ada terlalu banyak twist, gue malah mikir "masa bodo, suka-suka penulisnya aja".  Gue paling gak suka adegan dimana Kiyoharu dan Sebastian menghadapi dalang dari kekacauan yang terjadi di film ini.  Seriously, it's awkward to watch it karena aktor yang jadi 'si dalang' gak punya kemampuan akting yang kuat.  Nangisnya kelihatan maksa and the evil laugh is really awkward for me.    

Gue juga punya hubungan love-hate dengan sinematografinya.  Ada gambar-gambar bagus, tapi seringkali sinematografinya terasa biasa banget.  Gue rasa karena crew film ini jarang menggunakan long-range shot.  Kebanyakan adegan diambil dengan jarak yang pendek.  Sayang sekali aktor-aktor ini tidak punya skill yang sejajar dengan Jack Nicholson ataupun Meryl Streep.  Bukannya melihat aktor yang berakting dengan penuh emosional, kita malah melihat aktor yang ekspresinya maksa banget.  Nuansa gelap yang kurang dikontrol dengan baik juga membuat gue kurang suka dengan teknik sinematografinya.

Mungkin karena pengalaman musik Ghibli gue sangat bagus makanya gue berharap musik di film ini juga bisa menyaingi musiknya Joe HisaishiOh well, not everybody can be Joe Hisaishi.  Gue malah terkadang terganggu dengan musiknya, entah karena musiknya emang gak cocok dengan adegannya atau sound system bioskopnya yang jelek.

Unless you're a fan of Black Butler a.k.a Kuroshitsuji, I don't recommend this film for you.  The mystery is pretty good, but the other aspects of this film don't encourage me to keep watching this film.  The actors -other than Hiro Mizushima- are pretty awkward for me.  4,3/10                    

 

Rabu, 28 Mei 2014

The Chaser (2008)

pic cr: jediprincess.wordpress.com
Artikel ini bukan tentang lagu yang dinyanyiin calon suami gue alias Nam Woohyun alias Infinite.  Nope, The Chaser yang ini merupakan film misteri dan thriller 2008 yang ditulis dan disutradarai oleh Na Hong Jin.  Film yang masuk Festival Film Cannes ini juga dinominasikan penghargaan film, bahkan memenangkan beberapa di antara mereka.  Film ini mengadaptasi pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh Yoo Young Chul, seorang pembunuh berantai yang juga melakukan berbagai kejahatan selain membunuh.  The Chaser sukses dalam segi pendapatan dan juga segi apresiasi, bahkan sampai dibanding-bandingkan dengan film Korea yang legendaris, yaitu Oldboy (2003).

Joong Ho (Kim Yoon Suk) merupakan seorang mantan detektif yang menjadi mucikari.  Status finansialnya memburuk saat dua 'pekerjanya' menghilang.  Dalam keadaan yang tertekan, ia akhirnya memaksa Kim Mi Jin (Seo Young Hee) untuk melayani salah satu klien, walaupun Mi Jin masih sakit.  Saat kembali ke kantornya, ia sadar bahwa klien yang sedang dilayani Mi Jin merupakan orang terakhir yang dilayani oleh dua 'pekerjanya' yang menghilang.  Ia menyadarinya ketika ia memeriksa nomor HP klien Mi Jin.  Sang klien, Ji Young Min (Ha Jung Woo) ternyata memesan Mi Jin bukan untuk melakukan seks, tapi untuk menyiksanya.  Mi Jin yang terperangkap ternyata tidak langsung parah namun memberikan perlawanan.  Di tengah-tengah penyiksaan Mi Jin, Young Min diganggu oleh sepasang suami-istri dari suatu gereja.  Young Min segera membunuh mereka dengan keji dan kabur menggunakan mobil mereka.

Namun takdir malah mempertemukan Young Min dengan Joong Ho.  Joong Ho yang tidak sengaja menabrak mobil Young Min, meminta nomor HP Young Min agar bisa diurus di asuransi.  Ia menyadari ada sesuatu yang aneh karena Young Min tidak segera memberikan nomor HP.  Apalagi noda darah di baju Young Min membuat Joong Ho semakin curiga.  Terjadi kejar-kejaran antara Young Min dan Joong Ho yang berakhir dengan Young Min yang babak belur.  Polisi tadinya ragu kalau Young Min memang menjual pekerjanya Joong Ho.  Tapi Young Min malah mengaku kalau ia tidak menjual mereka, tapi membunuh mereka.  Keadaan di kepolisian menjadi rumit karena pengakuan Young Min bertabrakan dengan insiden Walikota Seoul yang dilempari feses.

Kepolisian mengirim tim forensik ke rumah Mi Jin untuk memeriksa kecocokan DNA dengan darah yang ada di baju Young Min.  Di rumah Mi Jin, Joong Ho menemukan Eun Ji (Kim Yoo Jung), putri Mi Jin.  Awalnya, Joong Ho merasa terpaksa menemani Eun Ji.  Namun seiring berjalannya waktu, Joong Ho malah merasa bersalah dan bertanggung jawab pada Eun Ji.

pic cr: veehd.com

FILM INI LEBIH BAGUS DARIPADA MV THE CHASER - INFINITE *YAIYALAH* TAPI GUE TETEP SETIA SAMA KAMU KOK NAMU :*

Meskipun sama-sama ada unsur thriller sama misteri, The Chaser gak terlalu mirip sama Oldboy.  Kalau Oldboy itu misterinya lebih ke arah mengapa-gue-dikurung sedangkan The Chaser lebih kearah misteri pembunuhan.  Tapi dua-duanya bagus kok.  Mungkin beberapa orang harus bersabar untuk menunggu segala ketegangan dan atau misteri dari film ini.  Namun, lama-kelamaan, film ini akan semakin menegangkan. 

Film ini bergenre misteri, namun sebenarnya tidak ada lagi misteri yang ditawarkan.  Sepanjang film kita akan menonton para polisi dan Joong Ho mengumpulkan bukti yang bisa memberatkan Young Min.  Ini agak mengingatkan gue pada film Red Dragon karena penontonnya udah tahu pelakunya, kita hanya mengikuti bagaimana para penyelidik mengumpulkan bukti dan kesimpulan.  Anyway, pencarian bukti kriminal Young Min sangat rumit karena Young Min sering mempermainkan polisi, entah itu pura-pura tidak tahu alamat sampai tiba-tiba tidak mau mengakui pembunuhannya di depan seorang pejabat.

Gue gak ngerti kenapa *kayaknya* Kepolisian Korean punya image yang buruk, entah di film ini, Memories of Murders, sampe Miracle in Cell no. 7.  Di tiga film ini, para polisi memaksa 'tersangka' untuk mengakui kesalahan mereka atau memberikan semacam bukti atas kesalahan yang mereka lakukan.  Emang gak semua film Korea menggambarkan kepolisian Korea seperti itu, tapi hal ini membuat gue bertanya-tanya sebenarnya seberapa buruk atau baik kepolisian Korea.  Memories of Murders dan Miracle in Cell no. 7 memaksa 'tersangkanya' hanya untuk cepat-cepat menyelesaikan kasus (walaupun ada sedikit unsur agenda pribadi film MIC7), sedangkan The Chaser penggabungkan antara pemaksaan dan agenda politik.   

Gue mau mengadakan sedikit perbandingan antara The Chaser dan Memories of Murders.  Kalau Memories of Murders itu lebih emotional dan sinematografinya lebih artistik serta sisi forensik dan krimonologinya cukup kental.  The Chaser itu lebih sadis dan menegangkan, sinematografinya artistik juga sih, cuma lebih sering main di sudut pengambilan gambar.  Ada salah satu adegan pembunuhan yang menurut gue somehow mirip adegan anime di Kill Bill vol. 1.  Tahu kan adegan dimana O-ren Ishii (Lucy Liu) ngumpet di bawah kasur terus ada hujan darah?  Nah, kalau di The Chaser, Young Min membunuh salah satu korbannya dengan begitu keji dan tanpa perasaan, tapi Na Hong Jin menggunakan efek slow motion pada darah yang mengalir.  Musik pengiringnya juga bagus dan emosional banget.  Baik adegan film ini dengan adegan di Kill Bill, keduanya sama-sama sadis, tapi emosional dan indah, sehingga ada semacam ironi dan kontradiksi. 

SPOILERNYA BARU DIMULAI SEKARANG KOK     
   
pic cr: obscureandcure.blogspot.com
Film-film Korea Selatan cukup sering menggunakan aktor anak-anak, mulai dari film komedi Speedy Scandal sampe film action kayak Ahjussi (The Man from Nowhere).  Well, film The Chaser pun menggunakan aktor anak yang bernama Kim Yoo Jung.  I don't know if it sounds cliche or not, tapi kehadiran tokoh Eun Ji yang diperankan oleh Kim Yoo Jung justru menambah kepahitan dan sisi emosional pada film ini.  Eun Ji merupakan karakter yang tidak melakukan kesalahan, namun malah ia yang kehilangannya paling besar.  Ada salah satu adegan dimana seorang saksi secara gak sengaja memberi tahu Eun Ji kalau ada kemungkinan bahwa ibunya dibunuh.  Lalu Joong Ho dan Eun Ji menatap satu sama lain dengan ekspresi terkejut.  Gue rasa Joong Ho terkejut karena ia tidak menyangka bahwa si saksi akan mengatakan hal itu di depan Eun Ji.  Sekasar-kasarnya Joong Ho, ia tidak mau merenggut harapan Eun Ji, sekecil apapun.  Selain itu, juga ada beberapa adegan yang menunjukkan bahwa Joong Ho mau 'menanggung' Eun Ji, walaupun sebenarnya ia tidak bersalah atas kesialan yang menimpa Eun Ji.

Applause for Kim Yoon Suk's performance!  Gak sehebat Choi Min Sik di film Oldboy dan I Saw the Devil sih, tapi aktingnya keren banget.  Gue suka tokohnya yang mempunyai sifat 'senggol-bacok' dan suka ngomong kotor.  Ia mungkin bukan (mantan) detektif dengan gadget keren atau otak yang benar-benar cepat tanggap kayak Patrick Jane ato om Sherlock Holmes, namun ia jelas mempunyai insting seorang (mantan) detektif.  Di film ini, Joong Ho jelas seorang anti-hero, bukan protagonis.  Joong Ho mempunyai pekerjaan dan prinsip yang cukup berbeda dengan untuk ukuran protagonis.  Tapi itu yang membuat gue suka banget sama karakternya, karena ini membuktikkan bahwa walaupun ada orang luarnya tuh sensi kayak cewek lagi PMS ataupun ngomongnya udah kayak abang-abang terminal, dia bukanlah a real jerk. 

Gue agak malah agak kecewa dengan penampilannya Ha Jung Woo.  Memang ada beberapa permainan psikologis & otak dan aktingnya gak jelek-jelek amat, tapi gue tetap kurang puas dengan penampilannya dia.  Entahlah, dia masih belum menyaingi Lee Woo Jin (Yoo Ji Tae) dari film Oldboy (2003).  Gue rasa hal ini karena tokoh Young Jin kurang mendapat screentime aja.  Tapi di sisi lain, kalau Na Hong Jin memberikan Young Jin lebih banyak screentime, mungkin film ini bakalan lebih panjang dengan adegan yang bertele-tele.

Overall, The Chaser is a film with a balance in art, emotion, beauty, thriller, and violence.  10/10

 

Jumat, 29 November 2013

Blue Velvet : "Everything is Possible" a la David Lynch

She wore blue velvet. Bluer than velvet was the night. Softer than satin was the light, from the star. -Blue Velvet, Bobby Vinton

Blue Velvet merupakan film misteri 1986 yang ditulis dan disutradarai oleh David Lynch dan dibintangi Kyle MacLachan, Isabella Rosselini, Dennis Hooper, dan Laura Dern.  Saya sendiri kurang familiar karya-karya Lynch karena Blue Velvet merupakan film Lynch pertama yang saya tonton.  Blue Velvet tidak hanya dianggap sebagai karya terbaik Lynch, namun salah satu film surealis terbaik.

Blue Velvet bercerita tentang seorang pria muda bernama Jeffrey (MacLachan) yang menemukan sebuah kuping manusia.  Hal ini mengantarkannya untuk bertemu dengan putri seorang detektif yang bernama Sandy (Dern).  Sandy berkata bahwa ada beberapa hal yang mencurigakan tentang Dorothy Valens (Rosselini).  Dorothy Valens bekerja sebagai penyanyi di suatu bar.  Didorong oleh rasa ingin tahu yang besar, Jeffrey memutuskan untuk memasuki rumah Dorothy.  Namun bukannya memuaskan rasa ingin tahunya, kunjungan ke rumah Dorothy hanya menambah rasa ingin tahu Jeffrey dan menguatkan ketertarikan Jeffrey terhadap Dorothy.  Kunjungan Jeffrey harus berhenti ketika Frank (Dennis Hopper), orang yang menyekap keluarga Dorothy, memergoki Jeffrey dan Dorothy.

WARNING : MAY CONTAIN SPOILER
 

Kita semua tentu pernah mendengar ungkapan "Everything is Possible".  Terus terang saya tidak menyukai ungkapan itu, karena berarti EVERYTHING, termasuk dunia kiamat dalam detik ini atau kita semua tertukar saat di rumah sakit SANGAT MUNGKIN TERJADI.  Ini mungkin bukan niat asli David Lynch, tapi Blue Velvet secara tidak langsung memberikan pesan bahwa "Everything is Possible" bisa memberikan makna negatif.

Opening scene-nya cukup indah dan saya suka bagaimana Lynch langsung memberikan sebuah misteri tanpa banyak basa-basi.  Lynch yang awalnya menggambarkan a pretty suburban life diiringi lagu Blue Velvet - Bobby Vinton dan tiba-tiba menodainya dengan seorang pria yang tiba-tiba jatuh stroke.  Lalu kamera bergerak terus ke tanah hingga ke dalam tanah dan memperlihatkan semut-semut yang sedang berkelahi.  Saya hanya bisa mengartikan bahwa apapun yang terlihat sempurna pastilah tidak sempurna.  Selalu ada noda di dalam atau di bawah.

Kuping yang ditemukan Jeffrey sempat di-shoot secara perlahan sehingga kamera seakan-akan memasuki kuping tersebut.  Namun adegan itu diiring musik horor.  Di adegan selanjutnya, kamera seakan-akan keluar dari kuping Jeffrey (bukan benar-benar adegan selanjutnya).  Hal ini mewakili bahaya yang akan dialami Jeffrey dan penyelesian yang akan didapatkannya.


Hal intip-mengintip sepertinya sudah menjadi kebiasaan dan hal yang wajar dalam kehidupan manusia.  Jaman dahulu kita mengintip karena ada sesuatu yang unusual, menarik, dan bersifat berbahaya atau forbidden yang justru menambah excitement.  Adegan di atas adalah salah satu contoh adegan mengintip yang klasik.  Siapa bilang masyarakat jaman sekarang tidak 'mengintip'?  Masyarakat jaman sekarang 'mengintip' dengan cara stalking facebook, twitter, ask.fm, dll.  

Dua tokoh film ini, yaitu Jeffrey dan Sandy, mewakili dua sifat dasar manusia dalam menghadapi misteri.  Ada orang seperti Jeffrey, artinya orang itu harus memuaskan rasa ingin tahunya dan tidak ragu mengambil resiko sampai misteri itu tuntas.  Ada juga yang seperti Sandy, orang yang sebenarnya kepo namun mengabaikan rasa ingin tahunya atau tidak mengambil resiko dalam menuntaskan suatu misteri.

Isabella Rosselini sangat cantik disini, secara fisik dan kemampuan akting.  Dia berhasil sekali menjelma menjadi seorang wanita sensual yang menarik perhatian pria sekaligus wanita yang kacau dan fragile.  Adegan menyanyinya sangat indah dan saya heran kenapa Lynch memotongnya di tengah-tengah.  Ada juga Dennis Hopper yang karismatik dan sangat psikopat.  Saya kehabisan kata-kata menggambarkan kemampuan akting Hopper yang betul-betul brilliant!  MacLachan dan Dern sebenarnya juga bagus, tapi mereka dibayang-bayangi oleh Rosselini dan Hopper.  Jangan lupa juga Dean Stockwell yang berperan sebagai Ben, teman Hopper yang hampir sama gilanya!   

Secara visual, Blue Velvet merupakan film yang sangat, sangat, sangat indah.  Setting yang dibangun sangat memukau dan mendukung suasana surealis yang kuat.  Hampir semua adegan terlihat seperti lukisan yang indah.  Namun saya tetap berpendapat sinematografi film ini agak di bawah ekspektasi saya.  Begitu juga editting yang menurut saya di beberapa bagian malah mengurangi keindahan film ini.  Begitu juga score yang kadang-kadang terdengar seperti score film misteri murahan.  SCORE, bukan lagu-lagunya. 

Hal-hal yang dialami Jeffrey mungkin kelewat absurd dan terlalu fiktif untuk kita percayai, tapi saya tetap percaya bahwa hal itu bisa terjadi.  Jeffrey pasti tidak menyangka bahwa keluarga 'tetangganya' diculik.  Lewat film ini, saya sadar bahwa terkadang kita tidak sadar ada kemungkinan orang yang mungkin duduk bersebelahan dengan kita pernah disakiti orang lain, atau banyak korban pelecehan seksual yang justru dilecehkan orang yang dipercayai.  Kadang hidup yang kita jalani begitu absurd dan kejahatan yang kita alami atau dengar begitu busuknya sampai kita bertanya, mengapa hal itu bisa terjadi?  Terkadang kita di posisi Jeffrey yang tiba-tiba mengetahui keadaan sesungguhnya dan bertanya mengapa.  Tapi janganlah kita hanya bertanya mengapa, kita juga harus membantu orang-orang yang terluka dan bertahan ketika dilukai seseorang.

Overall, Blue Velvet adalah film yang tidak hanya mempunyai visual yang indah dan memperlihatkan kemampuan akting yang fantastis, namun plot yang merangsang penontonnya untuk berpikir. 9,5/10

pic cr :
listal.com
videowordmadeflesh.com
bloodygoodhorror.com

Sabtu, 05 Oktober 2013

Frozen Ground


Yeay, akhirnya gue bisa review film baru, haha.  Eh, tapi gue gak tahu juga sih, kayaknya Frozen Ground gak baru-baru amat, wkwkwk.  

Frozen Ground adalah film crime-thriller 2013 yang disutradarai Scott Walker dan dibintangi oleh Nicholas Cage, John Cusack, dan Vanessa Hudgens.  Film ini berdasarkan kisah nyata.  Cindy Paulson (Hudgens) mengaku dirinya korban penculikan dan pemerkosaan, namun tidak ada polisi yang mempercayainya karena dia seorang pelacur.  Kasus Cindy pun tidak diinvestigasi lebih lanjut.  Ternyata setelah kasus Cindy yang tidak terselesaikan, ditemukan sebuah mayat wanita yang sebelumnya disiksa dan diperkosa.  Jack Halcombe (Cage) yang menyelidiki kasus ini curiga bahwa mayat yang ditemukan ada kaitannya dengan kasus Cindy.  Penyelidikan Halcombe mengarah pada seorang pria bernama Robert Hansen (Cusack) yang mempunyai image baik di depan teman-temannya dan orang sekitar.


A bit oot, but whatever : Why Disney girls turn into bitches? 

Frozen Ground tuh film misteri OLD school.  Yap, formula yang dipake terlalu 'klasik' dan sama sekali tidak mempunyai sentuhan modern.  Padahal ekspektasi saya sudah lumayan tinggi mengingat ada Nicholas Cage dan John Cusack dan opening-nya yang cukup menegangkan.  Apalagi Scott Walker tidak 'memutihkan' si protagonis.  Tapi saya langsung mengerutkan kening ketika saya melihat si antagonis keluar.  I hate that formula.  Saya dari dulu heran kenapa Hollywood suka sekali memperlihatkan wajah si antagonis dan hanya memberikan penonton proses-proses penyelidikan yang terkadang monoton.  Tapi Silence of the Lambs masih bisa menjadi salah satu film misteri terbaik walau menggunakan formula itu, bukan?  Well, Frozen Ground is no Silence of the Lambs and John Cusack is no Sir Anthony Hopkins.  

Menonton film ini terasa seperti menonton salah satu episode Criminal Minds yang buruk.  Walker mengisi Frozen Ground dengan formula-formula kuno dan aksi kejar-kejaran 'kucing dan anjing' yang terkesan bertele-tele.  Tidak ada yang istimewa.  Dialognya biasa-biasa saja, kadar ketegangan berkurang, dan semuanya menjadi predictable.  Proses penyelidikan kurang berkesan karena Scott Walker menghabiskan banyak waktu dengan rutinitas Hansen yang membosankan dan proses penyelidikan yang kurang melibatkan bukti-bukti forensik ataupun profil pembunuh (kriminologi gitu loh).

Tidak cuma itu, film ini TERLALU mencoba menjadi salah satu dari film-film stylish dengan menggunakan shaky-cam.  Let me rephrase it : OVERDO shaky-cam.  


Oh please, Law & Order : SVU has better performances.  Menurut saya, penampilan John Cusack dan Nicholas Cage buruk.  Titik.  Ada orang yang mengatakan mereka penampilan mereka tidak istimewa tapi tidak mengecewakan juga.  Well, jika dua aktor veteran masih memberikan penampilan tidak istimewa, itu sudah saya klasifikasikan jelek atau buruk.  Saya sendiri kurang tahu kemampuan akting Cage yang 'sesungguhnya' karena saya tetap tidak suka dia, padahal saya sudah menonton City of Angels, Ghost Rider, dan Season of the Witch.  Wrong movies, maybe?  Saya sendiri juga bukan penggemar Cusack, tapi saya cukup puas dengan penampilannya di 1408.  Untung saja John Cusack sempat bersinar sebentar di bagian akhir film.  Vanessa Hudgens jelas permata dari tiga aktor utama film Frozen Ground.  Penampilannya bagus, walaupun masih tidak sebagus Jodie Foster di The Accused karena ada beberapa momen yang masih terasa dipaksakan.  Saya tidak tahu apakah kesalahan ada di pihak aktor-aktor atau skrip Scott Walker yang mediocre dan cenderung membosankan.  

Hubungan Cindy dan Jack juga sekedar tempelan.  Momen-momen mengharukan yang dibuat oleh Walker tidak buruk, tapi biasa.  Malah, terasa sedikit dipaksakan karena waktu yang diberikan untuk Cindy-Jack cukup sedikit dan chemistry antara Cage dan Hudgens jelas tidak sehebat Jodie Foster dengan Sir Anthony Hopkins.

Scott Walkes tried so hard to create an old-school-thriller-crime movie.  Yet, Frozen Ground looked like one of the worst episode from Criminal Minds.  It's not THAT disappointing, but it's not something that I want to watch twice. 4,5/10    

pic cr :
craveonline.com
movies.buzzintown.com
standard.co.uk

Sabtu, 28 September 2013

Se7en / Seven (1995)

Ernest Hemmingway once wrote, "The world is a fine place and worth fighting for." I agree with the second part. -Det. William Somerset.

Err...ini bukan Se7en penyanyi Korea loooooh jayusamatgue  Gue kurang familiar dengan karya-karya David Fincher, bahkan gue belum nonton Fight Club, Zodiac, dan Girl with the Dragon Tattoo yangdvdnyaudahguebelidaritahunjebot  Anyway, gue hoki banget banget bisa nonton nih film.  Waktu gue nonton nih film gue lagi sakit.  Karena bosen, gue nyalain TV.  PAS BANGET gue nyalain TV tinggal 2 detik lagi dari film Se7en.  

WARNING : MAY CONTAIN SPOILER!

Se7en adalah film misteri yang disutradari oleh David Fincher pada 1995.  Film ini dibintangi oleh Brad Pitt, Morgan Freeman, dan Gwyneth Paltrow, dan Kevin Spacey. Detektif William Sommerset (Morgan Freeman) sebenarnya akan segera pensiun.  Namun, Sommerset adalah salah satu detektif terbaik sehingga ia disuruh mengejarkan kasus yang sangat disturbing dimana korban memakan terlalu banyak makanan hingga perutnya pecah.  Ia ditugaskan bersama seorang detektif muda yaitu David Millis (Brad Pitt).  Ketika mereka tidak menemukan bukti kuat siapa pembunuh si pria gendut, seorang pengacara terbunuh dan lagi-lagi meninggalkan bukti-bukti rumit.  Investigasi yang mereka lakukan akhirnya mengarahkan mereka pada kesimpulan bahwa mereka sedang mencari seorang pembunuh berantai.  Pembunuh berantai ini membunuh berdasarkan seven deadly sins atau tujuh dosa mematikan : gluttony (rakus), greed (keserakahan), sloth (kemalasan), pride (kesombongan / harga diri), lust (nafsu seksual), envy (kecemburuan), dan wrath (kemarahan / kebencian yang besar).  Ternyata si pembunuh, John Doe (Kevin Spacey), mengejutkan mereka dengan menyerahkan diri ke kantor polisi.


Tidak jarang premis cerita yang menarik dieksekusi dengan buruk.  Untungnya hal itu tidak terjadi di Se7en.  Saya menyukai keseluruhan proses Se7en, namun saya merasa Se7en kurang mempunyai unsur kriminologi dalam penyelidikannya dan kurangnya 'percakapan pintar' (ini istilah ciptaan gue) dalam dialog-dialognya.  Mungkin karena saya berharap film ini mengandung unsur kriminologi yang kental dan mengasyikkan seperti Silence of the Lambs.  Dan musik iringan Howard Shore kurang menarik perhatian.
 
Opening sequence-nya sangat memikat dan menegangkan.  Sesaat saya mengira film ini akan menjadi tontonan yang penuh darah atau malah membuat saya 'tegang' karena sok menjadi film thriller.  Ternyata saya cukup salah.  Film ini tidak berdarah-darah (opini gue loooooh) ataupun sok memberikan ketegangan.  Sinematografi Darius Khondji yang gelap dan menawan diatur dengan apik oleh Fincher.  Film Seven sendiri memberikan segera kengerian dan kejijikan dari skrip Andrew Kevin Walker.  Andrew Kevin Walker berhasil memberikan sajian yang pintar, emosional, dan keji kepada penonton.  Saya tidak mengerti mengapa David Fincher (terlalu) dipuji-puji sedangkan Walker hampir tidak terdengar namanya.  Toh kekuatan film ini bukan hanya di visual, tapi di penulisan juga.  Inilah alasan saya bukan penggemar berat David Fincher dan Martin Scorsese, menurut saya mereka overrated.  Film mereka bukan apa-apa tanpa skenario yang jenius, tapi bukannya si penulis yang mendapat popularitas, malah sutradaranya saja.


Karakter yang dimainkan Brad Pitt begitu menyala-nyala dan ekspresif.  Dia memberikan kesan yang lebih kuat daripada Freeman.  Saya suka sekali melihat perubahan emosi yang diperlihatkan Brad Pitt.  Sedangkan Morgan Freeman yah...Morgan Freeman.  Saya tidak melihat sesuatu yang beda di film ini.  Karakternya itu-itu saja sehingga Morgan Freeman tidak memberikan kesan mendalam pada saya di film ini.  Gwyneth Paltrow hanyalah karakter tempelan dan Kevin Spacey tampil terlalu cepat bagi saya untuk menilainya.  Saya kurang menyukai karakter Spacey.  Saya mengagumi John Doe (Spacey) karena ia unexpectedly menyerahkan dirinya ke kantor polisi.  Namun saya merasa ia terlalu narsis *bahkan lebih narsis daripada Lecter* dengan TERLALU berusaha mendapatkan perhatian.  Dia bagaikan anak manja yang cerewet dan caper, sedangkan Lecter mencari perhatian dengan kepribadiannya yang pintar, licik, dan berdarah dingin.  Dan seperti saya bilang, dia tampil terlalu cepat bagi saya untuk menilai kemampuannya.

The so-called twist or shocking ending didn't shock me at all.  Saya sudah menebaknya dari pertengahan film.  Beneran loh, bukan paruh terakhir.  Saya merasa agak kecewa dengan ending-nya, walaupun si aktor sudah memberikan kemampuan akting yang terbaik. 

Film ini membuat saya berpikir tentang dosa-dosa yang dilakukan manusia.  Secara umum, kita tidak akan dipenjara jika Seven Deadly Sins yang kita lakukan tidak ada di undang-undang.  Maksud saya, kita menonton film bokep atau baca cerita bokep sebenarnya sudah melakukan tindakan lust, namun hal itu tidak melanggar hukum.  Apa yang harus kita lakukan ketika kita melihat orang melakukan dosa walaupun itu tidak melanggar hukum?  Membiarkannya?  Menghukumnya?  Dengan kita membiarkannya, kita sama saja telah melakukan sebuah dosa, namun siapakah kita yang berhak menghakimi atau menghukum orang padahal kita sendiri juga melakukan dosa, dan kemungkinan besar akan melakukan suatu dosa setelah kita menegur orang itu?

Overall, film Seven bukanlah film yang sempurna, namun Fincher, Walker, dan Pitt membuat film ini lebih menonjol dan unik daripada film misteri lainnya. 8,7/10

pic cr :
join4movies.com
moeatthemovies.com
andsoitbeginsfilms.com

 

Senin, 16 September 2013

Mother (2009)


Bong Joon-ho mulai dikenal para penggemar film ketika ia mensutradarai The Host (2006).  Gue sih baru nonton sebagian, tapi Memories of Murders yang benar-benar bikin gue tergila-gila sepertinya alasan yang cukup bagi gue untuk nyari-nyari film Mother.  Apalagi Won Bin ganteng banget!  Setahun yang lalu gue udah beli DVD-nya, tapi hilang-_-  Untung kemarin gue nemu link download film ini.

Mother menceritakan seorang ibu (Kim Hye-ja) yang hidup berdua dengan anaknya yang sedikit...berbeda bernama Yoon Do-joon (Won Bin).  Pada dasarnya, Do-joon adalah laki-laki yang baik, tapi ia akan bereaksi dengan keras ketika ada yang memanggilnya 'bodoh'.  Do-joon yang terpengaruh temannya mulai melirik gadis-gadis di lingkungannya.  Hingga suatu malam, Do-joon dinyatakan sebagai tersangka pembunuhan seorang gadis karena bola golfnya ditemukan di mayat gadis itu.


Opening scene-nya yang cukup freakish udah langsung memikat gue.  Yang dimaksud dari freakish, adegannya termasuk unusual, tapi gak disturbing atau gory.  Opening scene dari film Mother membuat gue merasa geli, heran, dan takjub.  

Mungkin kemampuan Bong Joon-ho di sinematografi masih bisa dikalahkan oleh Park Chan-wook (Trilogi Vengeance, Stoker) tapi gue tetap kagum bagaimana Bong mempresentasikan ceritanya (dengan Park Eun-gyo) secara gelap, emosional, dan indah.  Bagaimana ia bisa menunjukkan seorang ibu yang penuh kasih sayang, tapi kasah sayang itu juga punya sisi gelap, itu adalah kemampuan yang awesome banget!  Gue pikir Mother adalah gambaran realistis kelam bagaimana seorang ibu yang terlalu sayang pada anaknya akan melakukan APAPUN ketika anaknya hampir terpojok atau diambil dari dia.  

Iringan musik Lee Byung-woo pun sangat menambah keindahan film ini, apalagi di opening scene-nya dan final scene-nya.  Film ini akan terasa kosong tanpa iringan musik Lee Byung-woo.


Kemampuan akting Kim Hye-ja sangat jauh dari kata...jelek.  Sumpah, keren banget dah, kira-kira dibawahnya Meryl Streep di film Sophie's Choice.  Menurut gue sih Won Bin kurang bego & autis.  Bagus sih, cuma kalah dari Kim Hye-ja.  Sangat disayangkan loh, soalnya karakternya dia lebih berpotensi mencuri perhatian penonton dan kritikus.  Mungkin memang karena Won Bin kurang memiliki pengalaman, karena karater yang ia ambil, rata-rata diperankan oleh aktor yang lebih senior/berpengalaman seperti Cha Tae-hyun (BA:BO), Dustin Hoffman (Rain Man), Tom Hanks (Forrest Gump), dll.

Berbeda dari kebanyakan film, twist film ini justru hadir sekitar 20 menit sebelum klimaks.  Dan twist itu dibawakan dengan begitu 'frontal'nya, Bong tidak melebih-lebihkan twist itu.  Dan percayalah, twist-nya sama simpelnya seperti film Memories of Murders.

Overall, Mother is a beautiful, emotional, and dark story about a mother's love which was crafted amazingly by Bong Joon-ho and Park Eun-gyo.  Thank God Kim Hye-ja nailed her character! 9,7/10


pic cr :
downloadfreemovies.ca
relativefilmreviews.com
delupher.wordpress.com

Senin, 27 Mei 2013

Sympathy for Lady Vengeance / Lady Vendetta

...where was that angel while I was committing such an evil act? -Lee Geum Ja


Gue udah lama download film ini, tapi baru sempet nonton kemarin, wkwk.  Sumpah, akhir-akhir ini gue gak niat nonton film.  Sekarang tinggal Sympathy for Mr. Vengeance yang belum gue tonton dari trilogi Vengeance.  Dan sialnya tuh film susah dicari-_-

Lee Geum Ja (Lee Young Ae) adalah gadis yang membunuh dan menculik seorang anak kecil bernama Won Mo.  Setelah 13 tahun dipenjara, Geum Ja memutuskan untuk balas dendam pada Mr. Baek (Choi Min Sik) yang telah memerasnya dengan menculik putrinya, dan juga orang yang sebenarnya telah menculik dan membunuh banyak anak kecil.  Geum Ja tidak sendirian, karena ia mendapat bantuan dari sesama mantan narapidana yang telah ia 'tolong'.

WARNING : CONTAIN SPOILER


Lee Young Ae benar-benar lahir untuk film ini.  Aktingnya keren banget, perpaduan antara emosional dan dingin.  Menurut gue pribadi sih perpaduan antara Nicole Kidman di The Hours, Jodie Foster di The Brave One, dan juga Meryl Streep di Kramer vs Kramer.  Ia bisa jadi karakter yang dingin dan expresionless, wanita yang bangkit dari kejatuhan, dan juga ibu yang menyayangi anaknya .  Sama seperti Oh Dae Su, Lee Geum Ja bukanlah protagonis yang 'suci'.  Dia juga bukan karakter yang stereotip banget, karena kejiwaannya sudah agak tertanggu sebelum dia menjadi kaki tangan Mr. Baek.  Lee Geum Ja melambangkan transformasi.  Ia dulu gadis yang clueless, lalu ia bertembuh menjadi wanita yang pintar dan tahu apa yang ia inginkan.  Tidak hanya itu, ia juga melambangkan pencitraan.  Geum Ja dikenal sebagai gadis yang baik, bahkan pendetanya juga tertipu.  Tapi ia mempunyai agenda tersendiri yang, well, tidak terlalu baik.  

Surprise, surprise, ada Oh Dae Su disini!  Wait, dia bukan Oh Dae Su, tapi dia Mr. Baek.  Nope, dia bukan antagonis kompleks atau sadis seperti Joker, Lecter, Amon Goeth, ataupun Patrick Bateman.  Dia adalah manusia yang jahat.  MANUSIA.  Mr. Baek itu mirip antagonis-antagonis dari sinetron (hey, gue bukan penggemar sinetron-_-).  Dia akan menyerahkan apapun untuk keselamatan jiwanya.  Dia melakukan kejahatan untuk uang.  Hal itu cukup menarik, karena dia bukan memuaskan hasrat batinnya.  Dan dia waras.  Dia bukan sadistik sejati seperti Joker ataupun seseorang yang mempunyai harga diri dan kepintaran yang tinggi seperti Lecter.  Tidak, dia menjadi antagonis dengan motivasi uang.  Gue sendiri jadi bertanya-tanya apakah dia adalah the true antagonist...Apa yang terjadi jika Mr. Baek diberi kesempatan kedua?  Apakah dia akan berubah?  Dia terlihat seperti rela melakukan apapun untuk menyelamatkan nyawanya.  




Why this is one of the best Korean movies?  Karena semuanya terhubung.  Tidak hanya Lee Young Ae yang bersinar di film ini.  Pameran-pameran pembantu pun sangaaaaaaaaaaaat membantu di film ini.  Meskipun mereka bukanlah tokoh utama, mereka bekerja dengan sangat baik.  Musik dari Choi Seung Hyun pun juga berhasil membawa kita pada dinamika emosi.  Ada saatnya kita diam untuk mengobservasi tokoh, ada saatnya juga kita terlarut dengan emosi yang sedang dirasakan tokoh.  Tidak seperti The Iron Lady dan Breakfast at Tiffany's yang menyinari satu wanita, film ini menyinari semuanya, mendukung dan saling bekerja.

Sympathy for Lady Vengeance adalah film.  Sympathy for Lady Vengeance adalah pelajaran filosofi benar atau salah dalam media lain.  Terserah penonton memandangnya sebagai apa.  Kalau gue sendiri memandang Lady Vengeance sebagai film, karena film ini tidak terlalu menjejali penonton dengan topik-topik filosofis.  Film ini bukanlah film (sok) inspirational yang akan mengkuliahi kita tentang right or wrong.  Film ini bercerita tentang seorang wanita yang membalaskan dendam pada pria.  That's it.  Berbeda dari quote yang gue ambil, film ini juga tidak akan membahas keberadaan Tuhan dan malaikat.  One more thing, film ini tidak se-disturbing Oldboy.  Kalau lo belum terbiasa dengan film disturbing dan berdarah-darah tapi penasaran dengan film Oldboy, lo harus nonton film ini dulu untuk latihan, hehe.

Although it has less twist than Oldboy, it's still one of the best (Korean) movie I've ever watched9,5/10

pic cr :
forgottenclassicofyesteryear.blogspot.com
avforums.com

Minggu, 26 Mei 2013

Oldboy

Seeking revenge is the best cure for some who has been hurt. ... But, what happens after you've had your revenge? -Lee Woo Jin


Nah, ini dia salah satu film Korea yang paling terkenal.  Gue sendiri tahu film ini lewat variety show dan drama Korea yang memparodikan atau merefrensikan 'orang yang dikurung memakan fried dumpling selama lima belas tahun'.  Tuh kan, saking terkenalnya, film ini masih direfrensikan oleh drama dan variety show Korea, bahkan sampai pengen di remake.  Memang, apa sih bagusnya film Oldboy?

Oh Dae Sun (Choi Min Sik) adalah seseorang yang tidak mempunyai hidup yang lurus.  Meskipun begitu, ia tetap mencintai istri dan anaknya.  Pada suatu malam, Oh Dae Su dan temannya keluar dari kantor polisi dan memutuskan untuk menelpon keluarga Dae Su.  Tapi saat si teman berbicara dengan si istri, Dae Su menghilang. 

15 tahun berlalu dan Dae Su akhirnya bebas.  Dia bertemu dengan seorang wanita muda bernama Mi Do (Kang Hye Jung).  Mi Do yang terpesona dengan karisma Dae Su, menemani dan membantu Dae Su untuk membalaskan dendamnya.  Sampai akhirnya ia bertemu dengan sang antagonis, Lee Woo Jin  (Yoo Ji Tae)



Gue jarang menemukan film Korea dengan sinematografi yang beda banget.  Biasanya mereka avarage lah, 6-7 from 1 to 10.  Tapi film ini, keren banget sinematografinya!  I give it 10 from 1 to 10!!!  Park Chan Wook tidak hanya memberikan sinematografi yang unik di film Oldboy, tapi ia juga berhasil mengulangi prestasinya di film Sympathy for Lady Vengeance dan I'm a Cyborg, but that's OK!

Park Chan Wook bukan satu-satunya orang di belakang layar yang patut dipuji.  Jo Yeong Wook di departemen musik berhasil membawakan alunan melodi yang sangat overwhelming.  Musiknya hadir di saat yang tepat.  Entah untuk menyentuh penonton, atau menegangkan penonton, Jo Yeong Wook berhasil melakukannya.

Park Chan Wook mengambil keputusan yang berani, karena film ini cukup berbeda dari komiknya.  Oldboy hanya mengambil inti cerita, yaitu seorang pria yang diculik selama belasan tahun tanpa mengetahui alasannya ataupun si penculik.  Selain itu, semuanya cukup berbeda.  Karakter Oh Dae Su yang di komik pun cukup berbeda dengan yang ada di film.  Seandainya Park Chan Wook benar-benar mengikuti komik, akting Choi Min Sik di film ini tidak akan menjadi selegendaris sekarang.  Park Chan Wook benar-benar melebarkan ruang eksplorasi bagi aktor-aktornya.  Oh Dae Su memang protagonis dari film ini, tapi perbuatan-perbuatan sadisnya tidak membuat dia orang 'suci' seperti Harry Potter, Batman, dll.

Park juga tidak dengan setengah-setengah 'mengkhianati' komik Oldboy.  Ia konsisten, ia tidak hanya mengubah jalan cerita, tapi juga karakter Dae Su, bahkan tidak memasukkan beberapa karakter komik.  Hal itulah yang menyempurnakan film ini.  Seandainya Park dengan setengah-setengah 'mengkhianati' komik, hal ini bisa membingungkan penonton dengan jalan cerita yang tidak konsisten, ataupun kemampuan akting yang biasa. 



Penampilan Choi Min Sik mengingatkan gue pada penampilan-penampilan dari Jack Nicholson dan Robert de Niro.  Gila dan emosional.  Well, sebenarnya lebih kearah Jack Nicholson.  Bisa lihat kan dari foto diatas, kalau Choi Min Sik dan Jack Nicholson punya ekspresi gila yang sangat kuat?  Lihat kan?  LIHAT KAN?!!!

Ehem (gaya Dolores Umbridge di Harry Potter), back to the topic.  Lee Woo Jin (Yoo Ji Tae) mengingatkan gue sedikit pada Hannibal Lecter, yaitu orang gila yang rapi.  Jika kita hanya melihat dari permukaan, Woo Jin adalah perwujudan laki-laki idaman, pintar, kaya, dan wajah yang diatas rata-rata.  Tapi ia 'sakit' di dalam.  Baik sakit hati dan sakit mental.  Hanya saja, Woo Jin lebih manusiawi daripada LecterIa tidak hanya sakit secara mental, tapi juga sakit secara fisik.  Woo Jin adalah perwujudan antagonis yang benar-benar lemah, bukan antagonis yang sepertinya terlalu kuat untuk dikalahkan.  Selain itu, Woo Jin juga punya kelemahan tersendiri yang bisa mengacaukan pikiran dan emosinya. Dan Yoo Ji Tae mendalami karater Woo Jin dengan sangat bagus.  Sayang sekali banyak orang lebih memberikan perhatian pada Choi Min Sik.


Jangan lupa Mi Do, wanita yang pertama kali menyentuh Dae Su.  Wajar saja bagi Dae Su dengan cepat tertarik dengan Mi Do karena ia tidak pernah berhubungan dengan wanita selama 15 tahun.  Tapi apa yang membuat Mi Do terpesona dengan Dae Su?  Apakah karena Mi Do punya taste tertentu pada pria yang lebih tua?  Atau karena Dae Su mempunyai cerita tragis yang menarik?  But, just calm down.  This movie has the answer.  Karakter Mi Do seperti Cosette di novel Les Miserables, yaitu cahaya terang di film ini.  Mi Do sebenarnya bukan karakter yang kompleks, ataupun mempunyai kelebihan tertentu, tapi karena ia adalah karakter yang paling...polos di film ini.  Ia tidak mempunyai motif apapun.  Boleh dibilang ia terjebak dengan Dae Su.  Tapi ia tetap mendampingi Dae Su, dan penetral dari Dae Su yang gelap dan penuh dengan keinginan untuk balas dendam. 

Overall, Oldboy is one of the most fascinating movie I've ever watched, with so much twist, amazing plot, and amazing performances.  10/10

pic cr : 
blog.mihmilon.com
trendlifemagazine.com
mubi.com
beyondhollywood.com