Tampilkan postingan dengan label Superb. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Superb. Tampilkan semua postingan

Minggu, 18 Mei 2014

Howl's Moving Castle: "Ghibli's refreshing version of Beauty and the Beast"


Pengalaman gue dalam menonton film Ghibli gak banyak sih.  Buktinya Howl's Moving Castle merupakan film Ghibli kedua yang gue tonton dari sekian banyak film yang diproduksi Ghibli Studio.  Howl's Moving Castle merupakan film animasi fantasi 2004 yang disutradarai dan ditulis oleh Hayao Miyazaki.  Film ini diadaptasi dari novel yang berjudul sama yang ditulis oleh Diana Wynne Jones. 

Sophie merupakan anak tertua dari tiga bersaudara dan ia bekerja di sebuah toko topi.  Suatu hari, Sophie dikejar oleh sekelompok mahluk aneh dan ia diselamatkan oleh seorang penyihir, Howl.  Sophie langsung jatuh hati dengan Howl yang tampan dan menawan.  Adik Sophie langsung memperingatkan Sophie untuk tidak jatuh cinta dengan Howl karena ada isu mengenai Howl yang suka makan jantung gadis-gadis muda.  Suatu malam, toko Sophie dikunjungi oleh Witch of the Waste LandKarena Sophie menolak melayani si penyihir, Sophie pun dikutuk sehingga penampilanya terlihat seperti wanita tua.

Sophie pun berkelana untuk mematahkan kutukannya.  Tiba-tiba, ia menemukan sebuah scarecrow yang bisa meloncat-loncat, namun tidak bisa berbicara.  Ia menamainya Turnip head.  Tiba-tiba, hujan turun dan mereka menumpang di sebuah rumah yang bergerak.  Sophie berkenalan dengan Markl, murid Howl, dan Calcifer, sebuah fire-demon.  Sophie menyatakan dirinya sebagai pelayan baru Howl. 

Namun hidup Sophie dengan mereka tidaklah berjalan mulus karena adanya perang yang sedang berlangsung di negeri Sophie.  Howl terus saja diminta untuk berpatisipasi dalam perang walaupun ia sering menghindarinya.  Bagaimana kelanjutan kisah Sophie dengan teman-temannya? *jengjeng* 

WARNING: *KAYAKNYA SIH* MENGANDUNG SPOILER


I have a love-hate relationship with Ghibli's anime style.  Dalam beberapa hal, gue lebih suka gaya animasi Disney karena menurut gue animasi Disney tuh lebih halus dan lebih polished.  But at the same time, terkadang gue gak suka dengan gaya animasi yang terlalu polished dan bisa menghargai gaya animasi Ghibli (yang menurut gue) rada rough at the edge.  Salah satu hal yang menurut gue menonjol dari Ghibli adalah kemapuan Ghibli yang bisa memberikan sentuhan surealisme dan horor psikologis.  Berbeda dengan beberapa film Disney yang biasanya memberikan sentuhan horor klasik, horor pada film-film Ghibli lebih bersifat disturbing.  Fantasi dalam studio Ghibli pun menurut gue lebih bagus daripada Disney karena fantasinya gak gitu-gitu aja.

Beberapa orang mengatakan bahwa Howl's Moving Castle merupakan salah satu film Miyazaki yang lemah.  Gue langsung shock karena film yang 'lemah' aja udah bisa bikin gue ngefans berat, apalagi film terbagusnya?!!!  Sama seperti kebanyakan film Ghibli, Howl's Moving Castle pun punya unsur-unsur surealisme dan horor psikologi.  Well, walaupun gue bilang PUNYA, jangan expect porsi unsur horornya dominan banget kayak Ju-on ato The Ring.      

Beberapa orang mengatakan biasanya film-film Miyazaki tidak mempunyai antagonis yang jelas.  Namun at some point, Howl's Moving Castle mempunyai 'antagonis' seperti Witch of the Waste Land, yang mengutuk Sophie, dan Sulliman, penasihat istana yang terus saja 'memburu' Howl.  Namun gue mempertanyakan kembali posisi mereka sebagai 'antagonis' di film ini.  Kita semua tahu tentu tahu antagonis adalah orang yang melawan protagonis dalam suatu karya sastra.  Baik si penyihir maupun Sulliman merupakan antagonis karena mereka melawan protagonis.  Tapi tindakan si penyihir menjelang akhir film tidak benar-benar mencerminkan dirinya sebagai antagonis.  Ketika si penyihir mengambil jantung Howl, apakah tindakannya untuk melawan Sophie atau karena ia memang childish dan terobsesi pada Howl?  Gue menilai bahwa alasan si penyihir mengambil jantung Howl karena alasan yang kedua.  Bahkan gue sadar kalau alasan si penyihir mengutuk Sophie bukan karena ia jahat.  Ia memang 'melawan' Sophie, tapi itu semua didasari oleh wataknya yang kekanak-kanakan.  Begitu juga dengan Sulliman.  Sulliman memang 'melawan' Howl, namun bukan untuk menghancurkan Howl, tapi untuk mempertahankan negaranya.  Dia tidak punya tujuan yang jahat pada Howl.  

Setiap orang mempunyai interpretasi sendiri terhadap kutukan Sophie.  Ada yang mengatakan bahwa kutukan Sophie melambangkan orang-orang tua yang mempunyai jiwa muda, ada juga yang mengatakan bahwa Sophie melambangkan orang tua dan orang muda di saat yang sama.  Gue menginterpretasikan kutukan Sophie sebagai insecurity.  Mungkin ini karena gue baca sedikit tentang novelnya, jadi interpretasi gue lebih ke arah novelnya, bukan filmnya.  Sophie merasa insecure kepada dirinya karena ia tidak semenawan atau semenarik adik-adiknya.  Ia memandang dirinya sebagai orang yang membosankan, apalagi ia tertua dari tiga bersaudara.  Insecurity Sophie diperlihatkan secara obviously dalam film ini.  Ada adegan dimana tiba-tiba Sophie kembali menjadi muda dan ia & Howl berjalan-jalan di suatu taman.  Lalu Howl mengatakan bahwa Sophie cantik, dan tiba-tiba Sophie berubah kembali menjadi wanita tua.  Lalu pada adegan dimana Sophie berdebat dengan Sulliman mengenai Howl.  Sophie berdebat dengan penuh gairah dan percaya diri sehingga ia berubah kembali menjadi wanita muda.  Dua adegan ini juga yang membuat gue menginterpretasikan kutukan Sophie sebagai insecurity.  Pernah dengar istilah "You are what you think"?  Nah, kutukan Sophie cocok dengan istilah ini.


Howl punya sifat yang kekanak-kanakan karena ia memberikan jantungnya kepada Calcifer saat ia kecil.  Biasanya, orang yang mengalami peristiwa yang traumatis atau mengorbankan sesuatu yang besar di masa kecilnya, akan membuat orang itu menjadi dewasa dengan lebih cepat.  Tapi Howl malah mempunyai sifat kekanak-kanakan.  Mengapa?  Gue punya semacam...dua interpretasi.  Pertama, tentu saja karena ia tidak mempunyai jantung (heart dalam bahasa Inggris) kemampuannya dalam mengelola perasaannya tentu saja kurang.  Hal ini juga bisa mengakibatkan Howl untuk tidak memikirkan orang lain.  Kedua, karena ia mengorbankan sesuatu yang besar di masa kecilnya, hal ini membuat Howl -in some way- kehilangan masa kecilnya.  Kerinduannya untuk menjadi anak yang normal diekspresikan dengan wataknya yang childish.   

Markl dan Calcifer tentu saja merupakan perpaduan antara deutragonis (tokoh yang berpihak pada protagonis) dan utility (tokoh pembantu yang ikut membentuk cerita).  Jelas keduanya berpihak dan membantu Sophie & Howl.  Tokoh Markl yang masih anak-anak melambangkan anak yang membutuhkan tokoh ibu dalam hidup mereka.  Calcifer juga membutuhkan Sophie karena Calcifer membutuhkan seseorang untuk membebaskan dirinya dari Howl.  Calcifer juga yang membuat Sophie dan Howl bertemu.  Bagaimana caranya?  Makanya, nonton filmnya baik-baik, hahaha.  Hal-hal inilah yang membuat Sophie 'terikat' di istana dan membentuk koneksi tidak hanya pada Markl dan Calcifer, tapi juga dengan Howl.

Sebenarnya kisah cinta antara Sophie dan Howl kurang diolah dengan baik.  Proses jatuh cinta di antara mereka agak vague dan terasa agak singkat.  But...I can't help but ship them!  Seriously, I love Sophie-Howl couple!  

Anyway, terima kasih banyak sama engkong Joe Hisaishi karena musiknya menambah emosi dan membuat penonton semakin hanyut dalam film ini.  Sumpah, aransemen musiknya keren banget.  Apalagi Merry-Go-Round of Life, keren banget dah.  Lagu penutupnya, Promise of the World menurut gue lebih bagus daripada Always With Me karena teknik vokal penyanyinya yang lebih stabil daripada penyanyi Always With Me.  Gak cuma lagi penutup sih, secara kesuluruhan, musik dari Howl's Moving Castle lebih bagus daripada Spirited Away.

Overall, Howl's Moving Castle maybe is one of Miyazaki's weak film, but it's still a deep, beautiful, and innovative.  The animation is a bit rough in the edge, but the surrealism and a bit horror touch certainly fix it.  Both Beauty and the Beast and Howl's Moving Castle have appearance and curse aspects, but I'm gonna say that Howl's Moving Castle is freshier than Beauty and the beast.  9,7/10  

pic cr: 
movies.disney.com
fact.co.uk
wordsofconfession.wordpress.com

Jumat, 14 Maret 2014

The Seventh Seal: A masterpiece that questions God's existence

I want knowledge! Not faith, not assumptions, but knowledge! -Antonius Block

Jika anda penggemar film (500) Days of Summer maka anda tahu adegan dimana Tom menonton film hitam putih dan membayangkan dirinya sebagai ksatria yang bermain catur dengan cupid.  Nah, adegan itu memparodikan adegan dari film The Seventh Seal, yang boleh dibilang salah satu film Ingmar Bergman yang terkenal.  Saya belum pernah menonton film-filmnya Ingmar Bergman, sehingga The Seventh Seal merupakan film Ingmar Bergman yang saya tonton pertama kalinya.  Saya sendiri kurang paham dan tahu dengan gaya penulisan dan penyutradaraan Bergman.  Tapi setelah saya menonton The Seventh Seal, saya tidak sabar untuk menonton film-film Bergman lainnya.

The Seventh Seal menceritakan perjalanan seorang ksatria yang bernama Antonius Block (Max von Sydow), setelah Perang Salib.  Dia pulang ke Swedia bersama rekannya, Jons (Gunnar Bjornstrand).  Mereka sadar bahwa Swedia  sedang terserang sebuah wabah.  Di tengah perjalanan, Antonius bertemu dengan Kematian a.k.a Death (Bengt Ekerot).  Karena Antonius belum siap menemui ajal, ia mengajak Death untuk bermain catur.  Antonius memainkan yang putih sedangkan kematian yang hitam.

Antonius dan Jons melanjutkan perjalanan mereka dan melewati sekelompok aktor-sirkus.  Kelompok itu terdiri dari Mia (Bibi Anderson), suaminya, Jof (Nils Poppe) dan manajer mereka, Skat (Erik Strandmark).  Di tengah perjalanan, Skat pergi meninggalkan mereka dan kabur dengan seorang wanita (Inga Gill).  Ternyata wanita itu sudah menikah.  Suaminya (Ake Fridell) yang patah hati memutuskan untuk pergi dengan Antonius dan Jons.  Kebetulan Jons telah menyelamatkan seorang gadis (Gunnel Lindblom) sehingga si gadis ikut dengan rombongan Antonius & Jons.  Antonius & Jons sendiri memutuskan pergi dengan rombongan Mia & Jof.  Ketika mereka melewati hutan, mereka menemui seorang wanita yang akan dibakar karena wanita itu mengaku menyembah setan dan menyebarkan wabah.

WARNING : SPOILER ALERT!!!


Oh my God, I fuckin' in love with The Seventh Seal.  Seriously, I love the topic and Bengt Ekerot's iconic character.  Saya agak terkejut dengan teknik visual dalam film ini.  Film ini boleh saja berwarna hitam-putih, tapi sudut-sudut pengambilan gambar memberikan banyak adegan indah dalam film ini.  Saya suka bagaimana Ingmar Bergman membahas masalah yang serius dan menyangkut kehidupan manusia, namun mencampurnya dengan fantasi sehingga The Seventh Seal terasa seperti film.  Bukan terasa seperti dokumentasi kecil.  Yang saya maksudkan dengan 'dokumentasi kecil' adalah film-film yang terlalu realistis dan terasa agak plain, contohnya Blue Valentine, Like Crazy, Before Midnight, dll.  Film adalah film, harus ada sesuatu yang membuatnya menarik.  Ada beberapa hal dari film ini yang saya kurang suka, seperti editing dan musik.  Editing-nya membuat film ini seakan-akan bergerak secara random, sedangkan musiknya lebay.  Anyway, is it just me or this movie has some kind of spooky touch? 

Meskipun adegan catur dan dansa (di akhir film) merupakan dua adegan yang paling terkenal, adegan favorit saya adalah dimana Antonius tidak sengaja mencurahkan pikirannya -dan strategi caturnya- kepada Kematian.  Saya suka sekali adegan itu mulai dari sudut pengambilan gambar, dialog, bahkan akting.  Pemikiran dan keinginan Antonius sama seperti saya.  Seperti quote yang tertulis diatas poster, yang Antonius inginkan adalah pengetahuan yang pasti apakah Tuhan itu ada atau tidak.  Ia juga ingin tahu apa yang terjadi pada orang yang mau percaya tapi tidak bisa percaya atau yang tidak bisa dan tidak mau percaya kepada Tuhan.  Dia tidak menginkan iman atau asumsi, tapi kepastian dan pengetahuan. 

Saya tidak tahu mengapa Bergman memilih catur, namun saya mempunyai interpretasi sendiri.  Catur merupakan permainan yang membutuhkan strategi atau rencana.  Strategi itu entah untuk menghindari lawan, menyerang lawan, atau mempertahankan bagian kita.  Manusia boleh saja berencana menghindari kematian, tapi pada akhirnya kematian akan datang kepada kita semua.  Entah kepada orang percaya atau tidak, orang baik atau jahat, siap atau tidak, kematian akan mendatangi kita semua.  You can cheat death once, twice, or even more, but eventually, death always wins.  Hal ini membuat saya sadar bahwa antara kematian dan kehidupan setiap individu selalu ada permainan, yang pada akhirnya akan dimenangkan kematian.  Kita bisa mendapatkan banyak hal selama kita hidup bahkan mungkin mencurangi kematian, tapi pada akhirnya, entah dalam waktu yang lama atau sebentar, kematian akan selalu mengungguli kita.




Kepesimisan, keoptimisan, dan perjalanan tokoh-tokoh The Seventh Seal menuangkan pilihan dan pemikiran manusia akan Tuhan.  Ada yang dengan mudahnya percaya seperti Jof, ada juga yang bertanya-tanya dan pesimis seperti Jons dan Antonius.  Namun kesamaan dari semua karakter dalam film ini adalah mereka menghindari dan takut akan kematian.  Keberadaan Tuhan boleh saja dipertanyakan, tapi eksistensi kematian tentu saja nyata dan hanya orang bodoh yang mempertanyakan hal itu.  Mungkin karena itu Bergman menamakan karakter Kematian sebagai Death, bukan Angel of Death atau sejenisnya.  Memberikan karakter yang bernama Malaikat Kematian seakan-akan memberikan konfirmasi bahwa Tuhan itu ada.  Namun jika hanya dinamai Kematian, Bergman menceritakan slice of life apa adanya.

Bergman memperlihatkan sisi negatif dan positif agama dan Tuhan, entah sengaja atau tidak.  Agama dan Tuhan menyebabkan manusia melarikan diri dari masalah-masalahnya.  Hal ini diungkapkan melalui adegan dimana sekelompok orang menyiksa diri mereka dan menangis-nangis meminta ampun Tuhan.  Saya tidak tahu apakah Bergman mengidolakan Karl Marx, karena adegan ini mirip dengan salah satu kritikan Karl Marx bahwa agma adalah candu masyarakat.  Artinya, agama membuat manusia melarikan dari masalahnya dan bersikap tidak rasional.  Tapi di sisi lain, taat beragama dan mempercayai Tuhan merupakan safer bet dalam hidup.  Bukan safest, tapi safer.  Hal ini terlihat ketika Mia & Jof selamat dari kematian.  

Akting semuanya bagus.  Mulai dari Bengkt Ekerot yang menampilkan sosok Death yang misterius dan karismatik, Max von Sydow yang galau dalam memahami Tuhan, Gunnar Bjornstrand yang pesimis, Bibi Anderson & Nils Poppe yang ceria dalam menghadapi hidup, sampai Inga Gill yang flirty banget.  Mereka semua berhasil memerankan peran-peran masing-masing dan di waktu yang sama membangun chemistry satu sama lain. 

Overall, The Seventh Seal is a classic mind-provoking film and a masterpiece that questions God's existence without being boring, heavy, or too supernaturalish. 9,8/10


pic cr:
mecail2012.blogspot.com
imagesci.com
empireonline.com
rainz.tumblr.com


Kamis, 13 Maret 2014

Blue Jasmine : Woody Allen's excellent comeback that still has his elements

Some people, they don't put things behind so easily. -Augie

Pecinta film mana yang tidak tahu Woody Allen dan belum pernah menonton filmnya?  Woody Allen merupakan salah satu filmmaker teraktif, walaupun bukan yang terbaik.  Filmnya mengalami naik turun sejak 90an akhir.  Ada yang disambut dengan baik seperti Midnight in Paris, Vicky Christina Barcelona, dan Match Point, ada juga yang tidak disambut baik seperti...well, karya-karya Woody Allen dari 2000an sepertinya tidak ada yang disambut baik selain tiga film diatas.  Beruntung setelah kegagalan To Rome With Love, Woody Allen masih bisa menulis dan menyutradarai Blue Jasmine yang ternyata disambut baik.  

Blue Jasmine menceritakan tentang kehidupan Jasmine Francis (Cate Blanchett) setelah suaminya, Hal (Alec Baldwin) bunuh diri.  Jasmine memutuskan untuk pindah dari New York ke rumah adiknya, Ginger (Sally Hawkins) di San Fransisco.  Sally shock melihat mendengar pengakuan Jasmine -yang memakai baju mahal dan mementeng koper Louis Vuitton- bahwa ia menaiki pesawat kelas satu, padahal Sally tahu bahwa Jasmine sudah bangkrut.  Sally mengenalkan Jasmine pada pacarnya, Chilli (Bobby Cannavale).  Chilli tidak bisa mengerti mengapa Sally memaafkan saudarinya dengan mudah,

Jasmine harus menghadapi perubahan hidup yang drastis, dari seorang ibu rumah tangga Park Avenue ke janda yang hidup dengan adiknya di apartemen biasa.  Hal ini membuat nervous breakdown Jasmine semakin parah.  Jasmine mencoba untuk membangun kembali hidupnya dengan bekerja dengan seorang dokter gigi sekaligus mengambil les komputer.  Ketika Jasmine menghadiri pesta salah satu temannya, ia menemui Dwight Westlake (Peter Sarsgaard), seorang politisi yang jatuh cinta pada selera dan kecantikan Jasmine.  Sayangnya, Jasmine tidak menceritakan masa lalunya dengan jujur kepada Dwight.


Blue Jasmine sebenarnya gak beda jauh dengan karya-karya Woody Allen sebelumnya.  Film ini mempunyai berbagai unsur film-film Woody Allen: white-on-black opening, jazz music, fail romance, psychoanalysis, plot yang maju-mundur, New York City, dan tentu saja, plot yang realistis dengan bumbu black comedy.  Walaupun gue masih kurang ngerti dimana letak black comedy-nya, karena menurut film ini dramanya cukup kental.  Sure, there's a few black comedy that I understand, but I don't really think Blue Jasmine is a 'comedy' film.  Salah satu hal yang membedakan Blue Jasmine dari kebanyakan film Woody Allen adalah film ini ditulis dari sudut pandang seorang wanita.  Seorang wanita -yang seperti kebanyakan tokoh utama Woody Allen- mengalami kegugupan dan ketakutan terhadap berbagai hal.  Biasanya tokoh dengan sifat seperti ini dimainkan oleh pria di film-film Woody Allen.

Film ini diceritakan dengan alur maju-mundur.  Seiring berjalannya film, kita bisa tahu sejauh mana kerusakan yang terjadi pada kehidupan Jasmine.  Gue rasa hal ini juga digunakan untuk membandingkan Jasmine yang sekarang dan dulu.  Allen membiarkan penonton mencoba untuk memahami Jasmine dan merasakan perasaan yang dialami Jasmine.  Mungkin bagi kita hidup sederhana itu biasa, tapi kalau kehidupan kita bergelimang harta, lalu semua itu hilang dan cepat, tentu kita akan merasakan tekanan, bukan?  Tidak cukup dengan itu, Jasmine harus menerima kenyataan bahwa semua orang tahu suaminya telah melakukan perselingkuhan, tapi Jasmine sendiri yang tidak sadar akan hal itu.  Bisa kita perhatikan bahwa Jasmine sering membicarakan suaminya dan her golden age walaupun kedua hal itu sudah menghilang.  Hal ini menunjukkan bahwa Jasmine masih belum siap atas kejadian-kejadian yang dia alami.  Jasmine maybe a bitch, but that doesn't stop me to feel sympathy for her.  Anyway, gue suka unsur psikologi dalam plot Blue Jasmine, as expected from Allen.  Bahkan ada twist kecil menjelang akhir film.

Cate Blanchett's role as Jasmine is an excellent acting performance, but still...replaceable.  Saya bisa membayangkan Kate Winslet -dan bila umur tokohnya diubah- Meryl Streep, memainkan Jasmine.  Both actresses have grace, charm, and the skill that match Blanchett's.  But still, aktingnya Blanchett mengagumkan banget and worth-Oscar.  Bagaimana dia dari seseorang yang anggun dan respectable berubah menjadi damsel in distress alias gila.  Dia gila sampai ke titik dia berbicara dengan dirinya sendiri di tempat umum, but at the same time, masih ada sedikit kewarasan dalam dirinya.  She's one of my favorite anti-heroine. 



Gak cuma Blanchett yang bagus, tapi begitu juga Sally Hawkins dan Andrew Dice Clay yang berperan sebagai Augie, mantan suami Ginger.  Eh salah, semuanya berperan bagus, hehe.  Baik Hawkins, Clay, dan Cannavale (Chilli) memerankan karakter mereka dengan baik.  Mereka bisa mengekspresikan tekanan yang mereka alami akibat ulah Jasmine dan almarhum suaminya.  Hawkins berperan sebagai saudari angkat Jasmine.  I love the contrast between Jasmine and Ginger, from their personality, prefrence, life, and how they deal their problems.  Kontras antara Jasmine dan Ginger memberikan two point of views.  But at the same time, mereka sebenarnya peduli satu sama lain.  Dari pihak Ginger jelas terlihat ia memperbolehkan Jasmine tinggal di rumahnya, dan dari pihak Jasmine bisa terlihat ia mendukung Ginger untuk mendapat kehidupan yang lebih baik, walaupun caranya memang kurang benar.

Salah satu hal yang gue suka dari Woody Allen adalah dia mengajak penontonnya untuk 'berjalan-jalan'.  Lihat saja bagaimana Allen mengajak penontonnya untuk 'berjalan-jalan' di Manhattan lewat Manhattan (1979), Paris lewat Midnight in Paris (2011), dan ke Barcelona lewat Vicky Christina Barcelona (2007).  Sekarang, Allen mengajak penonton 'berjalan-jalan' di Park Avenue dan San Fransisco.  Anyway, I really love Jasmine's house and fashion style in this film.

Overall, Blue Jasmine may not be Allen's best film, but it certainly is an excellent and satisfying film.  9,7/10

pic cr:
entertainmentwise.com
athenacinema.com
sawangarom.com

 

Jumat, 03 Januari 2014

Secret Sunshine : A Mother's 'Rollercoaster' After Her Son's Death


Menurut wikipedia, Lee Chang-dong adalah salah satu sutradara terkemuka di Korea.  Saya belum menonton filmnya yang paling terkenal, yaitu Poetry (2010), dan Secret Sunshine (2007) adalah film pertama Lee yang saya tonton.  Film ini meraih berbagai penghargaan film internasional, dan yang paling besar adalah Cannes Film Festival kategori Best Actress untuk Jun Do-yeon.  Secret Sunshine juga dinominasikan Palme D'or, salah satu penghargaan film terbesar di dunia.  Apa yang menyebabkan Secret Sunshine menerima banyak penghargaan dan pujian?

Film diawali dengan Lee Shin-ae (Jun Do-yeon) yang pindah ke kota Miryang bersama putranya.  Shin-ae pindah ke Miryang karena almarhum suaminya yang baru saja meninggal, ingin sekali pindah ke Miryang, kampung halamannya.  Di perjalanan, mobil Shin-ae rusak dan harus diderek.  Orang yang membantunya adalah warga Miryang sendiri yang bernama Kim Jong-chan (Song Kang-ho).  Meskipun Shin-ae tidak terlalu memperhatikan Jong-chan, Jong-chan bersikeras untuk membantu Shin-ae dan anaknya.  Shin-ae memulai hidupnya dengan membuka les piano sambil mencari tanah untuk investasi.  Usahanya untuk memulai kembali mengalami kemunduran karena putranya diculik.  Tragisnya lagi, putranya tetap dibunuh walaupun Shin-ae telah menyerahkan uang tebusan.  

WARNING : MAY CONTAIN SPOILER


I thought Secret Sunshine is another Korean revenge flick.  It's also not a very 'sunshine' (happy) movie.

Kadang-kadang saya bertanya apa yang terjadi jika Dae-su (Oldboy, 2003) pasrah saja atas keadaannya, atau jika Geum-ja (Lady Revenge, 2005) tidak memiliki bantuan untuk membalas dendam pada penculik anaknya.  Saya rasa Lee Chang-dong memberikan salah satu jawaban lewat Secret Sunshine.  Secret Sunshine menceritakan ibu biasa yang tidak mempunyai combat skill, koneksi dengan mantan tahanan, ataupun obsesi dan keahlian yang luar biasa untuk membalas dendam pada pembunuh anaknya.  Dia hanya bisa diam, berkabung, dan meneriakkan rasa ketidakadilan atas kematian anaknya.  Hanya tiga hal itu yang bisa ia lakukan.  

Iman, lebih tepatnya iman Kristiani, menjadi salah satu tema film ini.  Untungnya Lee memberikan sedikit latar belakang iman Shin-ae, yang boleh dibilang ateis (tidak percaya Tuhan).  Saya sangat menyukai adegan restorasi iman yang dialami Shin-ae, dimana ia menangis keras lalu sang pendeta, tanpa menanyakan apapun, memegang kepalanya dan mendoakannya.  Bukan menasihatinya, tapi mendoakannya.  Film ini memberikan pesan bahwa ketika kita berusaha untuk lebih dekat kepada Tuhan, beban kita akan lebih ringan dan batin kita akan lebih tenang.  Saya senang mendengar beberapa lagu gereja dinyanyikan di film ini, salah satunya versi Korea "Sebab Dia Hidup", walaupun hanya sebentar.  Film ini tidak hanya berbicara restorasi dan kekuatan iman, tapi juga menceritakan pergulatan iman yang bisa terjadi dimana saja, termasuk dimana saja.  Lee Chang-dong menunjukkannya dengan cara yang unik.  Ketika seorang pendeta sedang berdoa atau mungkin berkotbah, Shin-ae mengacaukan audio system dan memutar lagu yang bercerita tentang kebohongan.  Bisa dilihat ada beberapa jemaat yang berdoa lebih keras (karena takut iman mereka jatuh) dan relawan yang langsung membimbing beberapa jemaat.  Serangan bisa terjadi dimana saja, bahkan di tempat dan saat yang sangat tidak terduga.    

Entah sengaja atau tidak, Lee memberikan aspek psikologi dalam film ini.  Saya menduga Shin-ae mengalami major depressive disorder setelah kematian anaknya dan mengalami bipolar disorder.  MDD adalah low mood dan hilangnya keinginan untuk berbahagia yang berkepanjangan, yang biasanya disebabkan oleh pengalaman traumatis psikologis.  Salah satu pengalaman traumatis psikologis adalah kematian orang terdekat.  Bipolar disorder kira-kira dipicu oleh kenyataan bahwa pembunuh putranya sudah menemukan kedamaian sebelum dimaafkan oleh Shin-ae.  Itu membuktikan Shin-ae belum sepenuhnya memaafkan pembunuh putranya, ia ingin agar pembunuh itu menderita dan dihantui perasaan bersalah sebelum dimaafkan oleh Shin-ae.  Bipolar disorder terlihat ketika Shin-ae mulai mencuri CD, menggoda suami temannya, mengira putranya masih hidup, sampai tidak sadar telah melukai tangannya.  


100 thumbs up for Jun Do-yeon.  Dia berhasil sekali mengekspresikan pasang dan surut emosi seorang ibu, yang makin labil setelah ditinggal anaknya.  Dia bisa menjadi seorang malaikat dan tiba-tiba menjadi wanita jalang atau wanita yang dingin.  Anyway, saya rasa fondasi hubungan ibu-anak di film ini kurang kuat.  Cukup, tapi kurang kuat.  Saya mempunyai ekspetasi lebih kepada Song Kang-ho, namun mungkin karena perannya yang hanya sebagai karakter pembantu, mempersempit peluang untuk mengeksplorasi dan mengimprovisasi karakternya.  Tadinya saya kira dia akan menjadi detektif atas kasus penculikan anaknya Shin-ae, haha.

Untuk sisi teknis, saya kurang menyukai musik temanya, tapi saya menyukai iringan musik lainnya.  Film ini menggunakan shaky cam, untuknya guncangan tidak terlalu menganggu.  Sepertinya Lee kurang 'bermain' di sisi pewarnaan, sehingga terkadang film ini terasa sedikit plain.  Anyway, saya rasa ending-nya yang ambigu memberikan pesan bahwa apapun yang terjadi, ketika kamu masih hidup, maka duniamu tetap akan berputar dan melanjutkan aktifitasnya.

Secret Sunshine tidak menceritakan tentang misteri, tidak juga menceritakan balas dendam yang keji dan berdarah-darah.  Film ini bercerita tentang perjalanan batin seorang ibu yang ditinggalkan anaknya dengan sentuhan mentah namun indah, emosional namun tidak lebay.  Although there's a depressing atmosphere, it's still a beautiful movie.  9,5/10     

pic cr :
lifesanadventure2.wordpress.com
filmfestivaltourism.com
timeout.com

Jumat, 29 November 2013

Blue Velvet : "Everything is Possible" a la David Lynch

She wore blue velvet. Bluer than velvet was the night. Softer than satin was the light, from the star. -Blue Velvet, Bobby Vinton

Blue Velvet merupakan film misteri 1986 yang ditulis dan disutradarai oleh David Lynch dan dibintangi Kyle MacLachan, Isabella Rosselini, Dennis Hooper, dan Laura Dern.  Saya sendiri kurang familiar karya-karya Lynch karena Blue Velvet merupakan film Lynch pertama yang saya tonton.  Blue Velvet tidak hanya dianggap sebagai karya terbaik Lynch, namun salah satu film surealis terbaik.

Blue Velvet bercerita tentang seorang pria muda bernama Jeffrey (MacLachan) yang menemukan sebuah kuping manusia.  Hal ini mengantarkannya untuk bertemu dengan putri seorang detektif yang bernama Sandy (Dern).  Sandy berkata bahwa ada beberapa hal yang mencurigakan tentang Dorothy Valens (Rosselini).  Dorothy Valens bekerja sebagai penyanyi di suatu bar.  Didorong oleh rasa ingin tahu yang besar, Jeffrey memutuskan untuk memasuki rumah Dorothy.  Namun bukannya memuaskan rasa ingin tahunya, kunjungan ke rumah Dorothy hanya menambah rasa ingin tahu Jeffrey dan menguatkan ketertarikan Jeffrey terhadap Dorothy.  Kunjungan Jeffrey harus berhenti ketika Frank (Dennis Hopper), orang yang menyekap keluarga Dorothy, memergoki Jeffrey dan Dorothy.

WARNING : MAY CONTAIN SPOILER
 

Kita semua tentu pernah mendengar ungkapan "Everything is Possible".  Terus terang saya tidak menyukai ungkapan itu, karena berarti EVERYTHING, termasuk dunia kiamat dalam detik ini atau kita semua tertukar saat di rumah sakit SANGAT MUNGKIN TERJADI.  Ini mungkin bukan niat asli David Lynch, tapi Blue Velvet secara tidak langsung memberikan pesan bahwa "Everything is Possible" bisa memberikan makna negatif.

Opening scene-nya cukup indah dan saya suka bagaimana Lynch langsung memberikan sebuah misteri tanpa banyak basa-basi.  Lynch yang awalnya menggambarkan a pretty suburban life diiringi lagu Blue Velvet - Bobby Vinton dan tiba-tiba menodainya dengan seorang pria yang tiba-tiba jatuh stroke.  Lalu kamera bergerak terus ke tanah hingga ke dalam tanah dan memperlihatkan semut-semut yang sedang berkelahi.  Saya hanya bisa mengartikan bahwa apapun yang terlihat sempurna pastilah tidak sempurna.  Selalu ada noda di dalam atau di bawah.

Kuping yang ditemukan Jeffrey sempat di-shoot secara perlahan sehingga kamera seakan-akan memasuki kuping tersebut.  Namun adegan itu diiring musik horor.  Di adegan selanjutnya, kamera seakan-akan keluar dari kuping Jeffrey (bukan benar-benar adegan selanjutnya).  Hal ini mewakili bahaya yang akan dialami Jeffrey dan penyelesian yang akan didapatkannya.


Hal intip-mengintip sepertinya sudah menjadi kebiasaan dan hal yang wajar dalam kehidupan manusia.  Jaman dahulu kita mengintip karena ada sesuatu yang unusual, menarik, dan bersifat berbahaya atau forbidden yang justru menambah excitement.  Adegan di atas adalah salah satu contoh adegan mengintip yang klasik.  Siapa bilang masyarakat jaman sekarang tidak 'mengintip'?  Masyarakat jaman sekarang 'mengintip' dengan cara stalking facebook, twitter, ask.fm, dll.  

Dua tokoh film ini, yaitu Jeffrey dan Sandy, mewakili dua sifat dasar manusia dalam menghadapi misteri.  Ada orang seperti Jeffrey, artinya orang itu harus memuaskan rasa ingin tahunya dan tidak ragu mengambil resiko sampai misteri itu tuntas.  Ada juga yang seperti Sandy, orang yang sebenarnya kepo namun mengabaikan rasa ingin tahunya atau tidak mengambil resiko dalam menuntaskan suatu misteri.

Isabella Rosselini sangat cantik disini, secara fisik dan kemampuan akting.  Dia berhasil sekali menjelma menjadi seorang wanita sensual yang menarik perhatian pria sekaligus wanita yang kacau dan fragile.  Adegan menyanyinya sangat indah dan saya heran kenapa Lynch memotongnya di tengah-tengah.  Ada juga Dennis Hopper yang karismatik dan sangat psikopat.  Saya kehabisan kata-kata menggambarkan kemampuan akting Hopper yang betul-betul brilliant!  MacLachan dan Dern sebenarnya juga bagus, tapi mereka dibayang-bayangi oleh Rosselini dan Hopper.  Jangan lupa juga Dean Stockwell yang berperan sebagai Ben, teman Hopper yang hampir sama gilanya!   

Secara visual, Blue Velvet merupakan film yang sangat, sangat, sangat indah.  Setting yang dibangun sangat memukau dan mendukung suasana surealis yang kuat.  Hampir semua adegan terlihat seperti lukisan yang indah.  Namun saya tetap berpendapat sinematografi film ini agak di bawah ekspektasi saya.  Begitu juga editting yang menurut saya di beberapa bagian malah mengurangi keindahan film ini.  Begitu juga score yang kadang-kadang terdengar seperti score film misteri murahan.  SCORE, bukan lagu-lagunya. 

Hal-hal yang dialami Jeffrey mungkin kelewat absurd dan terlalu fiktif untuk kita percayai, tapi saya tetap percaya bahwa hal itu bisa terjadi.  Jeffrey pasti tidak menyangka bahwa keluarga 'tetangganya' diculik.  Lewat film ini, saya sadar bahwa terkadang kita tidak sadar ada kemungkinan orang yang mungkin duduk bersebelahan dengan kita pernah disakiti orang lain, atau banyak korban pelecehan seksual yang justru dilecehkan orang yang dipercayai.  Kadang hidup yang kita jalani begitu absurd dan kejahatan yang kita alami atau dengar begitu busuknya sampai kita bertanya, mengapa hal itu bisa terjadi?  Terkadang kita di posisi Jeffrey yang tiba-tiba mengetahui keadaan sesungguhnya dan bertanya mengapa.  Tapi janganlah kita hanya bertanya mengapa, kita juga harus membantu orang-orang yang terluka dan bertahan ketika dilukai seseorang.

Overall, Blue Velvet adalah film yang tidak hanya mempunyai visual yang indah dan memperlihatkan kemampuan akting yang fantastis, namun plot yang merangsang penontonnya untuk berpikir. 9,5/10

pic cr :
listal.com
videowordmadeflesh.com
bloodygoodhorror.com

Senin, 16 September 2013

Mother (2009)


Bong Joon-ho mulai dikenal para penggemar film ketika ia mensutradarai The Host (2006).  Gue sih baru nonton sebagian, tapi Memories of Murders yang benar-benar bikin gue tergila-gila sepertinya alasan yang cukup bagi gue untuk nyari-nyari film Mother.  Apalagi Won Bin ganteng banget!  Setahun yang lalu gue udah beli DVD-nya, tapi hilang-_-  Untung kemarin gue nemu link download film ini.

Mother menceritakan seorang ibu (Kim Hye-ja) yang hidup berdua dengan anaknya yang sedikit...berbeda bernama Yoon Do-joon (Won Bin).  Pada dasarnya, Do-joon adalah laki-laki yang baik, tapi ia akan bereaksi dengan keras ketika ada yang memanggilnya 'bodoh'.  Do-joon yang terpengaruh temannya mulai melirik gadis-gadis di lingkungannya.  Hingga suatu malam, Do-joon dinyatakan sebagai tersangka pembunuhan seorang gadis karena bola golfnya ditemukan di mayat gadis itu.


Opening scene-nya yang cukup freakish udah langsung memikat gue.  Yang dimaksud dari freakish, adegannya termasuk unusual, tapi gak disturbing atau gory.  Opening scene dari film Mother membuat gue merasa geli, heran, dan takjub.  

Mungkin kemampuan Bong Joon-ho di sinematografi masih bisa dikalahkan oleh Park Chan-wook (Trilogi Vengeance, Stoker) tapi gue tetap kagum bagaimana Bong mempresentasikan ceritanya (dengan Park Eun-gyo) secara gelap, emosional, dan indah.  Bagaimana ia bisa menunjukkan seorang ibu yang penuh kasih sayang, tapi kasah sayang itu juga punya sisi gelap, itu adalah kemampuan yang awesome banget!  Gue pikir Mother adalah gambaran realistis kelam bagaimana seorang ibu yang terlalu sayang pada anaknya akan melakukan APAPUN ketika anaknya hampir terpojok atau diambil dari dia.  

Iringan musik Lee Byung-woo pun sangat menambah keindahan film ini, apalagi di opening scene-nya dan final scene-nya.  Film ini akan terasa kosong tanpa iringan musik Lee Byung-woo.


Kemampuan akting Kim Hye-ja sangat jauh dari kata...jelek.  Sumpah, keren banget dah, kira-kira dibawahnya Meryl Streep di film Sophie's Choice.  Menurut gue sih Won Bin kurang bego & autis.  Bagus sih, cuma kalah dari Kim Hye-ja.  Sangat disayangkan loh, soalnya karakternya dia lebih berpotensi mencuri perhatian penonton dan kritikus.  Mungkin memang karena Won Bin kurang memiliki pengalaman, karena karater yang ia ambil, rata-rata diperankan oleh aktor yang lebih senior/berpengalaman seperti Cha Tae-hyun (BA:BO), Dustin Hoffman (Rain Man), Tom Hanks (Forrest Gump), dll.

Berbeda dari kebanyakan film, twist film ini justru hadir sekitar 20 menit sebelum klimaks.  Dan twist itu dibawakan dengan begitu 'frontal'nya, Bong tidak melebih-lebihkan twist itu.  Dan percayalah, twist-nya sama simpelnya seperti film Memories of Murders.

Overall, Mother is a beautiful, emotional, and dark story about a mother's love which was crafted amazingly by Bong Joon-ho and Park Eun-gyo.  Thank God Kim Hye-ja nailed her character! 9,7/10


pic cr :
downloadfreemovies.ca
relativefilmreviews.com
delupher.wordpress.com

Sabtu, 17 Agustus 2013

Magnolia

The Goddamn regret! -Earl Partridge

Jujur aja, ini adalah film PT Anderson pertama yang gue tonton.  Dan gue nonton film ini di tahun 2013, wkwk-___-  Tapi saking jeniusnya PT Anderson, dia bisa membuat gue 'naksir' dia dan akhirnya memutuskan untuk beli DVD-nya The Master.  Kalau lo mau membuktikan diri lo beneran pecinta film, lo gak usah terintimidasi dengan durasi tiga jamnya.  Emang sih pendapat dan selera orang lain berbeda, tapi Magnolia mempunya sesuatu yang memberikan penontonnya sukses mengikuti film ini dalam tiga jam.  Sebelum nonton film ini, I had never really liked Tom Cruise.  Tapi penampilannya di film ini benar-benar mengubah pendapat gue tentang dia.  So, kalau lo masih berpikir Tom Cruise cuma jago jadi playboy ala Jerry Maguire atau agen kayak Ethan Hunt, mending lo nonton film ini dulu.

Sebenarnya agak susah untuk menceritakan plot Magnolia.  Magnolia menceritakan mosaik dari kehidupan sembilan orang di San Francisco.  Ada seorang mantan quiz kid (semacam anak jenius) bernama Donnie Smith (William H. Macy) yang hidupnya tidak menentu sejak ia tidak tampil di TV lagi.  Sekarang ada bocah bernama Stanley Spector (Jeremy Blackman) yang mencoba untuk mengalahkan rekor Donnie di acara "What Do Kids Now?".  Acara ini dipandu oleh Jimmy Gator (Philip Baker Hall) yang sedang melawan kanker.  Karena ia tahu dirinya sekarat, ia mencoba untuk berbaikan dengan putrinya, Claudia (Melora Walters) yang kecanduan narkoba.  Namun, tingkah Claudia yang aneh tetap membuat Jim (John C. Reily), seorang polisi yang baik & tekun, tetap tertarik dengan Claudia, sampai mengajaknya berkencan.  Tentu acara WDKN tidak akan ada tanpa seorang produser.  Acara WDKN diproduseri oleh Earl Patridge (Jason Robards) yang dirawat oleh Phil (Philip Seymour Hoffman).  Meskipun Earl dirawat oleh Phil, itu bukan berarti Linda (Julianne Moore), istri keduanya, tidak berkontribusi atau mengkhawatirkan Earl.  Tapi, pernikahan Earl dan Linda harus dibayar dengan menjauhnya Frank (Tom Cruise) putranya dari pernikahan pertama yang sekarang menjadi 'motivator' dengan slogan : Seduce and Destroy.

WARNING : MAY CONTAIN SPOILER


Jujur, gue speechless dan bingung apa yang harus gue tulis atau katakan.

Serius dah, ini salah satu film dengan skrip jenius yang pernah gue tonton.  Gue suka banget opening scene dan opening sequence-nya.  Bahkan dari awal PT Anderson udah memberikan gue alasan kenapa gue harus stay buat nonton film Magnolia selama tiga jam.  Gue bukan analis yang baik, jadi gue kurang bisa menginterpretasikan opening scene-nya.  Yang jelas, opening scene-nya berbicara tentang takdir dan kebetulan, sama seperti topik di film ini.  Opening sequence-nya juga ditata dengan sangat artistik dan diiringi oleh lagu One yang dinyanyikan Aimee Mann (adik ipar Sean Penn).  Gue pribadi sih lebih suka opening sequence-nya Magnolia dibandingkan Skyfall, hehe.  One is the loneliest number.

Ternyata kehebatan Aimee Mann tidak berhenti disitu.  Lagu selanjutnya adalah Momentum, yang akan terdengar ketika Jim ditugaskan ke rumah Claudia akan tetangganya mengeluhkan suara keras.  Sebenarnya lagu Wise Up di film ini dinyanyikan oleh karakter-karakter di film ini.  Gue kurang suka adegannya sih, karena menurut gue rada garing dan kacangan.  Tapi...bukan berarti lagunya jelek.  Lagunya bagus banget malah.  Setelah lagu Wise Up, Aimee Mann akan 'menghidangkan' lagu Save Me di bagian terakhir.  Ya ampun, itu lagu benar-benar nusuk hati gue.

But can you save me
Come on and save me
If you could save me
From the ranks of the freaks
Who suspect they could never love anyone


Yah, gue tahu sih gue kurang membahas soundtrack secara keseluruhan, tapi gue suka banget soundtrack-nya Magnolia yang udah kayak lukisan Picasso (?) alias modern, artful, beautiful.  


Gue juga suka banget sinematografinya.  Kadang-kadang ngambilnya mirip Martin Scorsese alias long take ngikutin si aktor.  Ada juga zoom in lambat.  Sumpah, zoom in lambat cocok banget buat Julianne Moore, Philip Seymour Hoffman, Melora Walters, dan (surprisingly) Tom Cruise.  Toh kalau Philip Seymour Hoffman yang mendapat nominasi Oscar gue juga gak keberatan.  Sumpah, nangisnya Hoffman bagus banget.  Gue aja hampir nangis nontonnya (gue tipe yang susah nangis).  Sayang banget karakter yang diperankan Hoffman kurang mempunyai koneksi diluar keluarga Partridge, padahal penampilannya Hoffman bloody-brilliant pake banget.  Jarang loh aktor yang bisa bikin gue speechless dalam waktu singkat.  Sejauh ini cuma Jodie Foster (Taxi Driver), Anthony Hopkins (Silence of the Lambs), Javier Bardem (Skyfall), dan Helena Bonham-Carter (Harry Potter series) yang bisa kayak gitu.  

Kalau gue sih menduga nominasi jatuh ke Tom Cruise karena dia menunjukkan dua sisi disini.  Di satu sisi dia adalah orang yang PD banget dan bisa menghipnotis baik wanita maupun pria (pengikutnya) dan di sisi yang lain dia adalah orang yang pernah terluka.  Makanya sah juga kalau nominasi jatuh ke Cruise.  Julianne Moore?  Gue cuma bisa komen kalau juri Oscar bego banget gak pernah ngasih dia piala (dan nominasi buat film ini).  Tante Julianne emang udah terkenal di genre drama.  Yah, jangan lo pikir juga dia mainnya kayak pemain sinetron sini.  Rasa dramatiknya ada, tapi (somehow) masa lebih terasa berkelas dibandingkan sinetron.  Satu lagi yang SANGAT pantas dapat nominasi Oscar (yup, bahkan melebihi Moore) adalah Melora Walters.  Dia berhasil banget memerankan seseorang yang udah runtuh, udah berantakan.  Apalagi adegan 'date' antara dia dengan Jim yang menurut gue bloody-brilliant pake banget.  Gue suka bagaimana dia ingin membangun suatu ikatan dengan Jim, namun tidak bisa karena dia membenci dan takut dengan masa lalunya.  Dan gue pernah di posisi itu (tapi jelas masa lalunya beda-_-).  

Oh iya, belum lagi Jeremy Blackman.  Menurut gue sih masih kalah sama Jodie Foster (Taxi Driver) dan Danny Lloyd (The Shining), tapi tetep bagus banget.  Bagaimana cara Blackman memperlihatkan the aftermath seorang anak yang dipaksa menjadi dewasa dan akhirnya mencapai batasnya...sumpah, keren banget.  Gue juga suka bagaimana PT Anderson merancang adegan, skrip, dan dialognya.  After all, kids are KIDS.


Ada adegan yang sampai sekarang masih stuck di otak gue saking gue benar-benar speechless dan hampir nangis waktu nontonnya.  Jadi diawali oleh Earl yang curhat ke Phil.  Pokoknya dia sering ngomong gini : The Goddamn regret!  Somehow, cara dia natap dan ngomong itu tuh langsung nancep ke hati dan otak gue.  Jadi dia curhat kalau dia tahu istrinya itu tahu dia sering selingkuh.  Tapi dia tetap melakukannya.  Baru sekarang dia nyesal karena gak merawat istrinya dan seakan-akan menyerahkan tanggung jawab itu ke putranya yang baru berusia 14.  Terus ada juga quote yang menurut gue bagus banget : Life ain’t short it’s long, it’s long.  Intinya, waktu dia muda, dia termakan dengan perkataan orang kalau hidup tuh pendek.  Tapi ternyata ia malah hidup panjang dan menghabiskan sisa hidupnya dengan penyesalan.  Doh, gue cuma bisa mandang bengong saking terhipnotisnya dengan akting  Jason Robards dan monolog yang ditulis PT Anderson.

Walaupun gue cuma nulis beberapa orang, bukan berarti yang lainnya jelek.  Cuma penampilan mereka tuh meninggalkan kesan yang lebih mendalam aja dibandingkan yang lain.  Gue kurang tahu tentang John C. Reily, tapi setahu gue dia itu temannya Jack Black dan Will Ferell, jadi dia pasti langganan komedi atau semacam komedian bukan?  Tapi penampilannya hampir gak menunjukkan tanda-tanda komedian.  Pokoknya, Magnolia adalah salah satu film yang memiliki ensemble cast terbaik.

Gue suka banget tema-tema yang ada di film ini karena film ini membicarakan kesepian, penyesalan, kekerasan dalam keluarga, dan usaha untuk mencari kebahagiaan.  Dan karakter-karakternya bukanlah orang yang harus melakukan dosa besar atau di penjara seperti The Shawshank Redemption.  Itulah mengapa gue kurang suka dengan film-film seperti The Shawshank Redemption, karena banyak karakter yang melakukan dosa besar atau semacamnya.  Dan biasanya yang mereka cari adalah kedamaian batin dan pengampunan, jarang sekali rasa penyesalan itu mereka ekspresikan dengan mendalam.  Terkadang, hal itu membuat gue gak suka nontonnya karena akan terasa cukup ekstrim.  Toh tidak semua orang harus di penjara atau membunuh untuk merasakan suatu penyesalan.  Dan terkadang penyesalan itu dilebih-lebihkan.  Begitu juga kesepian yang sangat jarang dibahas secara mendalam di film.  Padahal kesepian lebih sering dirasakan ketimbang kekerasan dalam keluarga atau penyesalan berat.  Bukan cuma itu, gue masih gak tahu bagaimana Anderson menyusun mosaic ini dengan sangat indah dan menarik.

Ada salah satu kalimat yang membuat gue sempet bingung.  We have through the past, but the past hasn't through with us.  Kira-kira begitulah.  Kalau gue sih nangkepnya kayak plot film Oldboy.  Dimana Dae-su udah lupa dengan kakak penculiknya dan apa yang ia katakan tentang kakak penculiknya, tapi ternyata penculiknya balas dendam pada Dae-su karena apa yang ia katakan tentang kakaknya.  Maksudnya, mungkin lo lupa apa yang lo katakan, atau orang yang lo temui, tapi kalau lo mempunyai efek tertentu, mereka bisa tiba-tiba datang 'mengunjungi' lo.

Gue tuh gak suka film yang berbau agamis dan preachy.  Di tengah-tengah film gue sempet menduga bahwa PT Anderson akan memasukkan unsur Tuhan dan blablabla dengan cara yang klise.  Ternyata gak.  Anderson memang memasukkan unsur Tuhan dan agama, tapi dengan cara yang berbeda.  Mungkin beberapa penonton akan menontonnya dengan rasa jijik, tapi menurut gue pribadi 'itu' adalah salah satu adegan terindah yang pernah gue tonton. 

I don't know what to write anymore!  All I know that Magnolia is one of the best, beautiful, emotional, epic, modern, artful movie I've ever watched.  Maybe the there are too much actors and the story is quite complicated, but the three hours duration is really worth it! 9,8/10 

pic cr : 
punjenipaprikas.com
tehparadox.com
dbcover.com
hdbitz.org

  

Sabtu, 27 Juli 2013

Before Midnight

Wow, I can't believe that I'm 41. -Jesse


Wow, gue sendiri gak percaya juga kalau Jesse dan Celine sudah berusia 41!  Sejak menonton Before Sunrise dan Before Sunset, gue langsung jatuh cinta pada trio Richard Linklater, Ethan Hawke, dan Julie Delpy.  Before Sunrise adalah kisah cinta yang cukup unik, gue sih belum pernah nonton film romance dengan format seperti itu, daaaaaannnn...itu keren banget!  Script, directing, acting, setting, sampe musik, semuanya superb banget!  Bahkan sekuelnya, Before Sunset, juga tidak kalah hebatnya dengan pendahulunya!  Lalu, apakah Before Midnight bisa mempertahankan (hampir, hehe) kesempurnaan Before Sunrise dan Before Sunset?

SARAN : Kalau emang beneran tertarik BANGET sama film ini, mendingan gak usah baca review atau lihat trailernya.

 

Before Midnight ber-setting 9 tahun setelah reuni Jesse dan Celine di Paris.  Sekarang Jesse sudah bercerai, ia juga mempunyai sepasang anak kembar bersama Celine.  Dibalik kesuksesannya sebagai penulis, Jesse mulai tertekan dengan perannya sebagai ayah Hank, putra dari pernikahan pertamanya.  Apalagi istri pertamanya juga menyiksa Hank secara psikologis.  Celine pun juga mempunyai hal lain untuk dipikirkan.  Ia tertekan dan tidak tahu bagaimana cara menyeimbangkan karir, prinsip, dan kehidupannya sebagai istri dan ibu.  Apa yang terjadi selanjutnya ketika Hank meninggalkan mereka di Yunani? *jengjeng*


Oh.  My.  God.  

Gue speechless!  Gue gak tahu harus ngomong dari mana.  Bahkan adegan pembukanya juga udah menggaet hati gue (?)  Kita bakalan lihat Jesse dan Hank berbicara selama beberapa menit (long take) dan ketika Hank berangkat, Jesse keluar dan berjalan ke seorang wanita pirang, masuk ke mobil, dan voila, ada anak kembar di mobil itu, dan perempuan itu Celine!  Doh, nyesel gue nonton trailer-nya, padahal kalau gak nonton gue pasti shock lebay gitu deh, wkwk.

Nah, opening scene-nya aja udah beda dari dua film sebelumnya.  Gue bersyukur banget trio Before gak pake rumus yang sama dengan dua film sebelumnya.  Menurut gue pribadi sih, kenapa filmmaker harus pake rumus yang sama kalau bikin sekuel?  Takut atau gak punya ide?  Kalau takut, itu mah aneh, yang ada kalau idenya sama ya bakalan dapet kritikan banyaklah.  Kita udah disajikan dengan opening scene yang cukup berbeda, ternyata prosesnya pun cukup berbeda dari dua film sebelumnya.  Jesse dan Celine berkomunikasi dengan orang lain, bahkan waktu pergaulan mereka dengan orang lain cukup lama dan konsisten dibandingkan dua film sebelumnya.  Menurut gue ini perlambangan dari kedewasaan Jesse dan Celine.  Karena mereka udah gak muda, dunia bukan milik mereka berdua lagi.  Itu loh, istilah yang kalau orang pacaran mereka serasa berdua doang.  Dan gue rasa itu bagus, toh akan sangat membosankan jika kita hanya melihat interaksi antara Jesse dan Celine saja.  Kita bisa melihat bagaimana pergaulan Jesse dan Celine dengan orang lain, begitu juga cara pandang orang lain terhadap mereka.  


Dialog di antara mereka berdua pun sudah mulai berubah.  Gue sih kurang suka topiknya, tapi tetap menarik.  Kalau dulu mereka sering membahas pandangan filosofis mereka, sekarang mereka lebih sering membahas permasalahan mereka di pekerjaan, ataupun masalah-masalah pribadi yang sebenarnya ikut mempengaruhi hubungan mereka.  Entah itu pekerjaan Celine, ataupun kehidupan Hank di Chicago.  Lagipula, di usia 40an gue yakin mereka sudah lebih mengerti tentang kehidupan dan tentunya sudah banyak pengalaman.  Pembicaraan filosofis yang terjadi 18 atau 9 tahun yang lalu mungkin hanya akan membuat mereka bosan atau capek.  

Pertengakaran mereka di sekitar 30 menit terakhir membuat gue bisa sedikit menganalisa karakter mereka.  Gue setuju dengan Jesse, bahwa Celine adalah orang yang terlalu emosional, gila, dan gak punya waktu yang cukup untuk merawat dirinya sendiri.  Celine juga dengan cepat menginterpretasikan ucapan Jesse dan seakan-akan terus mencoba mencari kesalahan Jesse, dan terkadang memang sengaja membuatnya terlihat salah atau gagal. Itu terlihat ketika mereka sedang membahas Hank.  Jesse sudah tidak mau membicarakan itu, dan bahkan tidak memaksa atau secara frontal menyuruh Celine untuk pindah ke Chicago.  Sampai Jesse harus ngomong : We won't move to Chicago, end of story barulah Celine agak mereda.  Sebaliknya, gue memandang Jesse sebagai orang yang pasif...atau pasif-agresif?  Dia tipe orang yang senang memainkan kata-kata dan sepertinya sengaja untuk tidak terlibat atau membahas sesuatu agar tidak disalahkan.  Itu terlihat ketika ia dengan santainya tidur-tiduran di kasur ketika ia dan Celine bertengkar, seakan-akan ia berusaha untuk terlihat cool dan menjaga jarak agar tidak disalahkan.  After all, no human is perfect, right?


Aaaah, pemandangannya bagus banget!  Jadi pengen ke Yunani.  Ternyata Richard Linklater masih mampu menyediakan sinematografi dan lokasi yang kereeeeen banget setelah 18 tahun, hehe.  Adegan yang paling bagus itu waktu Celine dan Jesse duduk dan nungguin matahari terbenam.  Gimana ya, maksud gue tuh kadang-kadang suatu romansa *ceilah* gak harus diekspresikan dengan skinship, kontak fisik, atau kata-kata kacangan yang bikin *mau* muntah.  Ya kadang-kadang romansa atau romance itu lo bisa nikmati kehadiran pasangan lo sendiri, tanpa ada yang harus dibicarakan.  Intinya, just enjoy the ride.  Ini adalah perkataan orang yang belum pacaran atau jatuh cinta jadi...belum terjamin looooh.

Gue gak tahu dengan kalian, tapi biasanya yang bikin gue BENAR-BENAR jatuh cinta dan ketagihan sama suatu film ya ending-nya.  Kalau alur sama akting mah udah biasa, banyak film yang bisa nyediain itu.  Tapi ending?  Berapa banyak sih film yang nyediain akting, alur, dan mempunyai ending yang keren banget, baik dari segi cerita dan adegan?  Gue sih gak terlalu mementingkan sinematografi.  Kalaupun sinematografinya biasa, tapi bisa nyediain tiga hal yang gue sebut tadi berarti tuh film tetap keren BANGET di mata gue.

Menurut gue pribadi, semua ending yang ada di Before Trilogy itu mempunyai ending yang bagus banget, jauh dari klise.  Pokoknya semua konflik antara Jesse dan Celine berakhir dengan cara yang bittersweet.  Realistis, namun bukanlah skeptis ataupun depresif.  Gue juga gak terlalu setuju kalau ada orang yang menyebutkan film ini depresif, gue rasa film ini hanyalah gambaran realita pasangan yang berkomitmen dengan satu sama lain.  Yap, Jesse dan Celine tidak menikah.  

Jesse and Celine grow older, and the movie 'grows' in some way too.  And don't worry, new fans will understand, and maybe like this movie.  But I don't think they will love it as much as the old fans do. 9,8/10

pic cr :
digitalspy.co.uk
graffitiwithpunctuation.net
learning-is-magic.com
collider.com

 

Rabu, 12 Juni 2013

Little Miss Sunshine

There are two kinds of people in this world, winners and losers. -Richard.


Gue udah lama nonton film ini, tapi baru sempet review sekarang, hehe padahallagilibur.  Sebenarnya gue agak skeptis waktu pertama kali nonton film ini.  Takutnya cuma sekedar family-tearjerker, dan ternyata...

Untuk bisa mengikuti beauty pageant adalah mimpi kebanyakan gadis kecil.  Gadis kecil itu termasuk Olive (Abigail Breslin) yang berhasil mengikuti kontes Little Miss Sunshine di California.  Sayangnya, letak rumah mereka yang cukup jauh dari California dan keadaan finansial yang cukup mengkhawatirkan membuat Richard (Greg Kinnear) dan Sheryl (Toni Collette) berpikir keras untuk mengantarkan putri mereka.  Akhirnya mereka memutuskan untuk menaiki mobil dan mengajak Kakek Edwind (Alan Arkin), Dwayne (Paul Dano), kakak tiri Olive, dan Paman Frank (Steve Carell).


This is the best family movie I've ever watched.  It's definitely better than Life as a House and My Sister's Keeper. 

Di awal film, Abigail Breslin menatap kamera dengan intens seakan-akan mengobservasi sesuatu.  Ternyata, ia sedang melihat TV yang menayangkan pemenang beauty pageant.  Di awal film, kita sudah dibawa ke sebuah ilusi.  Sebenarnya, LMS (kependekkan) memiliki plot sederhana dengan keluarga sederhana.  Tidak ada heavy romance, kecelakaan, penyakit keras, dll.  Film ini hanya bercerita tentang gadis yang mengikuti beauty pageant, ayah yang cukup gagal dalam karir, kakek yang sering komplen, kakak yang anti sosial, ibu yang bekerja keras, dan om yang depresi.  Namun, jangan tertipu oleh masalah-masalah itu dan menganggap bahwa film ini sekedar film yang membawakan arti keluarga dengan cara yang dramatik seperti Life as a House dan My Sister's Keeper.  Sama seperti kebanyakan film Woody Allen, film ini mengajarkan kita suatu pelajaran kehidupan lewat komedi.  

Untung saja pemain-pemain film ini mempunyai kemampuan yang (lebih dari) cukup.  LMS benar-benar mempunyai porsi yang cukup untuk setiap tokoh.  Gue rada kaget lihat Steve Carell depresi disini.  Untuk aktor (or should I say, comedian?) yang emang fokus ke komedi, performanya disini bagus banget.  Ekspresi depresinya dapat banget.  Begitu juga Paul Dano yang poker face banget, tapi masih punya emosi. Grek Kinnear juga sukses berperan sebagai ayah yang terobsesi dengan ide winners and losers.  Namun, pada akhirnya dia harus menghadapi bahwa dirinya seorang 'loser' juga.  Toni Collette, seorang ibu yang memang penyatu keluarga ini.  Abigail Breslin yang emang imut banget disini, bisa berubah dari gadis canggung dan minder, ke gadis yang pede.  Untuk ukuran anak kecil gitu, Abigail Breslin hebat banget!  Dan jangan lupa si kakek, Alan Arkin.  Hmm, gue sih lebih suka akting dia di Argo.  Performance-nya emang bagus disini, tapi kayaknya gak harus menang Oscar juga. 

Gue sih menduga bahwa Jonathan Dayton dan Valerie Faris mencontek sedikit ide Richard Linklater.  Kenapa?  Selama 20 menit di awal film ini, kita hanya dibawa oleh ke rumah keluarga Hoover dan sudah mengenal watak dan masalah mereka.  Setelah itu, kita langsung dibawa ke California bersama keluarga Hoover.  Bila masalah-masalah yang dialami keluarga Hoover selama perjalanan akan memperat keluarga itu, kita akan mengalami perjalanan yang lucu dan menyentuh.

Like I wrote before, this movie has an illusion...and some twist, which made this movie so superb. 9,5/10 

Rabu, 05 Juni 2013

Husbands and Wives

What can I say?  She's me, but she's younger. -Sally


Yeay, akhirnya gue kesampean buat review film Woody Allen yang satu ini.  Gue rela bangun pagi-pagi buat nonton nih film di HBO, wkwk.  Habis gue males download, dan web film favorit gue ditutup, hiks :"(

Gabe (Woody Allen) dan Judy (Mia Farrow) sangat terkejut kita mereka mendengar Sally (Judy Davis) dan Jack (Sydney Pollack) berpisah.  Kini Gabe dan Judy merefleksikan pernikahan mereka dan berandai-andai apakah mereka tidak mempunyai masalah.  Sedangkan Sally dan Jack berusaha hidup tanpa satu sama lain.

WARNING : SPOILER ALERT!


Kalau lo pengen belajar tentang kehidupan dan percintaan, lo harus nonton film-film Woody Allen.  Entah kenapa tiap kali gue selesai nonton film Woody Allen, gue jadi kepikiran topik filmnya selama berhari-hari.  Gue yakin besok gue mikirin film ini, wk.  Dan kadang-kadang gue seakan-akan berdebat dengan pikiran gue tentang hal-hal filosofis (?) dan cinta, sampai gue dapat kesimpulannya.  Mungkin itulah alasan gue menyukai film-film Woody Allen.  Allen sering menyampaikan topik kehidupan dan percintaan yang berbobot, tapi tidak lama dan membosankan.  Ataupun depresif.  Ahkenapa banyak remaja lebih sering menonton romance klise ataupun sampah bernama twilight :')  Hei remaja alay (padahal gue juga alay) mendingan kalian nonton film-film Woody Allen biar gak galau mulu atau kebanyakan mimpi...

Hal yang paling gue sukain dari film ini adalah dialognya yang pintar dan menarik.  Sama seperti kebanyakan film Allen, hal utama yang dilakukan tokoh adalah berbicara.  Pemikiran dan perasaan mereka tertuang dengan begitu apik.  Gue merasa membaca buku-buku yang dari luar kelihatannya ringan, tapi isinya berbobot dan tidak membosankan.  Setiap kata yang tertuang sangat menarik.


Skrip yang sangat bagus tentu saja tidak cukup.  Orang-orang yang dipilih untuk 'mewakili' skrip itu tentu saja harus mempunyai kemampuan yang bisa mengimbangi skrip bagus itu.  Dan empat aktor utama ini berhasil sekali.  Yang menangkap perhatian gue justru tim wanita, Mia Farrow dan Judy Davis.  Farrow berhasil menjadi seorang wanita pasif-agresif dan Davis menjadi wanita yang baru menerima setengah kenyataan.  Mereka menyinari karakter mereka tanpa harus memberikan penampilan yang over dramatic.Tidak hanya itu, chemistry mereka dengan pasangan masing-masing terasa kuat dan connected.  Tidak hanya empat aktor utama, aktor pembantu seperti

Judy dan Gabe adalah pasangan yang meyakinkan diri mereka bahwa mereka baik-baik saja.  Sedangkan Sally dan Jack adalah pasangan yang menghancurkan diri mereka sendiri.  Kita akan melihat perjalanan dua pasangan ini setelah Jack dan Sally mengungumkan perpisahan mereka.  Pengunguman itulah yang membuat Judy dan Gabe berusaha meyakinkan diri mereka bahwa mereka baik-baik saja.  Allen mengkuliahi kita tentang kehidupan pernikahan dengan cara yang cukup menarik.  Dimana kita belajar apa yang terjadi jika pasangan menikah sudah dewasa, bukanlah orang yang muda dan bergairah lagi, dan bagaimana mereka berusaha untuk berkomunikasi.  Dan juga bagaimana mereka menyelesaikan masalah itu.  Terkadang, mereka juga tidak sengaja 'mencari' masalah baru.  Memang, beberapa masalah bisa diperbaiki jika kita mempunyai keiinginan yang kuat, tapi beberapa masalah terlalu berat untuk diperbaiki.

I still like Annie Hall better than Husbands and Wives, but it's arguably one of the best Woody Allen's movies.  9,7/10

pic cr : 
woodyallenpages.com
brightwalkdarkroom.com 
cineplex.com