Tampilkan postingan dengan label 1980s. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 1980s. Tampilkan semua postingan

Minggu, 28 September 2014

Grave of the Fireflies (Hotaru No Haka)

dalkomlollipop.wordpress.com

Grave of the Fireflies merupakan film animasi Jepang tahun 1988 yang disutradarai dan ditulis oleh Isao Takahata.  Film ini diadaptasi dari novel semi-autobiografi berjudul sama yang ditulis oleh Akiyuki Nosaka.  Film berdurasi 89 menit ini diproduksi oleh Studio Ghibli dan dirilis bersamaan dengan salah satu film Ghibli yang terkenal, My Neighbor Totoro.  Meskipun film ini tidak meraup keuntungan setinggi My Neighbor Totoro, film ini menerima banyak pujian dari banyak kritkus film.

Seita, Setsuko, dan ibu mereka bersiap-siap untuk pergi ke sebuah bomb shelter di Kobe.  Ibu mereka berangkat lebih dulu sementar mereka menyimpan persidaan makanan dan sedikit bekal.  Mereka terkejut ketika bom mulai jatuh di lingkungan mereka.  Mereka selamat dan tidak terluka, namun ibu mereka mengalami luka bakar yang sangat parah.  Karena Seita takut dengan reaksi Setsuko, maka Seita tidak mempertemukan Setsuko dengan ibunya.  

Beberapa hari kemudian, Seita dan Setsuko pergi ke rumah bibi mereka untuk mengungsi.  Sebenarnya ibu mereka sudah meninggal, namun Seita tidak berani untuk menyatakan sejujurnya kepada Setsuko.  Awalnya, sang bibi menerima mereka dengan terbuka.  Namun seiring berkurangnya rasio makanan, sang bibi justru tidak senang dengan kehadiran mereka.  Bahkan secara tidak langsung menyatakan bahwa mereka tidak pantas untuk ikut makan karena mereka tidak berkontribusi di masa perang.  Tidak tahan, Seita dan Setsuko memutuskan untuk pergi dari rumah sang bibi.

SPOILER ALERT!

photo9.us
Fuck this film.  Belum 30 menit, air mata dan ingus gue meleleh gara-gara nih film.  Bangke.

Menurut wikipedia, ada dua pandangan mengenai film ini.  Orang-orang Barat memandan film ini sebagai film anti-perang sedangkan orang Jepang memandang film ini sebagai film obey-your-elders.

Anti-war, conscience, and society

Kenapa film ini dipandang sebagai film anti-perang?  Jelas karena film ini memperlihatkan dampak-dampak perang yang sangat mengerikan.  Perang membuat orang-orang kehilangan tempat tinggal mereka, orang yang mereka cintai, kebahagiaan, dan bahkan bisa membuat orang-orang kehilangan hati nurani mereka.  Seita dan Setsuko adalah anak-anak yang kehilangan rumah dan ibu mereka.  Seita mungkin sudah bisa 'mencerna' perang, tapi Setsuko masih terlalu muda untuk 'mencerna' perang dan bersikap dewasa mengenai hal itu.  Fuck, they're not even adults, so why and how should they know how to act as adults in war?  Inilah fakta yang dilupakan oleh orang-orang dewasa di sekitar mereka.  Bukan berarti mereka bisa bermanja-manja, tapi mereka juga tidak bisa dituntut untuk 'matang' secara tiba-tiba.  Yang kurang jelas dari sini kenapa Seita dan Setsuko tidak pergi ke sekolah dan apakah itu bisa dihitung sebagai 'kontribusi' atau tidak.   

Misalkan ada bayi yang belum pernah diajarin untuk berjalan.  Dia gak pernah pake alat bantu buat berjalan atau apalah itu.  Dia cuma biasa merangkak.  Suatu hari, orangtuanya ngajarin dia belajar dan expect tuh bayi bisa jalan setelah hari itu selesai.  Apakah semua bayi bisa langsung jalan dengan pelajaran satu hari padahal dia cuma biasa merangkak?  Cuma orang bego yang jawab iya. 

Ada adegan dimana seorang dokter memeriksa Setsuko.  Si dokter mengatakan bahwa Setsuko tuh sebenarnya gak sakit tapi kena malnutrisi, alias kekurangan nutrisi.  Jadi yang dibutuhkan Setsuko tuh makanan, bukan obat-obatan.  Seita yang frustasi akhirnya meledak karena dia bingung mau cari makanan dimana.  Si dokter juga gak menawarkan bantuan apapun.  Ini adalah salah satu contoh bagaimana perang bisa membuat kita menjadi mahluk yang apatis.  Emang sih itu cuma adegan film, tapi cerita kayak gitu pasti pernah terjadi beneran.  Gue tahu bahwa membantu orang gak selalu gampang.  Tapi manusia merupakan mahluk yang (katanya) memiliki hati nurani.  So why helping people is so hard?  Bukan karena perang, bukan karena gak ada uang atau waktu, tapi pada akhirnya karena ego kita masing-masing.  I know it's not always the case but ego is the main factor on our apathy.  Hal ini dibuktikan di adegan pertama Grave of the Fireflies.  Perang memang sudah berakhir, tapi tidak ada orang yang menunjukkan kepedulian pada Seita yang sekarat.  Orang-orang tidak bisa menggunakan perang sebagai alasan mengapa mereka tidak membantu Seita karena perang sudah berakhir saat itu.  Jadi menurut gue perang tidak membuat kita tidak mampu untuk melakukan kebaikan, tapi perang membuat kita lebih apatis dan lebih egois dari yang sebelumnya.  

basementrejects.com
 
You-should-respect-me-because-my-age-not-my-deeds 

Isao Takahata menyatakan bahwa pesan yang ingin ia sampaikan di film ini adalah anak-anak muda harus menghormati orangtua mereka, terutama di masa-masa yang susah.  Bibi Seita dan Setsuko memang tidak melukai mereka secara fisik, bahkan tetap memberi mereka makan.  Namun perlakuan dan perkataan sang bibi tentu membuat mereka tertekan.  Apalagi mereka sudah berusaha untuk bertahan di rumah si bibi, tapi mereka akhirnya menyerah dalam tekanan.  Kita perlu ingat bahwa manusia tidak hanya punya kebutuhan fisik, tapi juga kebutuhan psikis.  Mungkin tindakan Seita memang bodoh, namun tidak semua orang bisa bertahan di suatu rumah yang membuat mereka tidak bahagia.  

Suatu hari, Seita dan Setsuko main piano dan bersenang-senang, lalu sang bibi memarahi mereka karena mereka bersenang-senang di saat yang susah.  Bitch please, they even don't waste money or stuff like that.  They only play a fuckin' piano.  Perang memang mengerikan dan kita tidak boleh melupakan orang-orang yang berjuang dalam perang.  Namun apa salahnya merasakan sedikit kesenangan di saat perang?  Apa salahnya untuk melupakan kesedihan dan kepahitan hidup untuk sesaat?  Apa salahnya untuk menyelamatkan secuil masa kanak-kanak?  Apakah kita harus berlarut dalam kesedihan hanya karena orang lain merasa sedih?  Apakah kita harus dihantui kesedihan dan depresi hingga akhirnya kita bunuh diri?  Hal-hal inilah yang membuat gue mengerti kesusahan Seita dan Setsuko untuk menghormati bibi mereka.  Gue merasa sedih bagaimana Takahata berusaha memasukan pesan itu dengan figur orangtua yang menekan anak-anak.     

Ini juga membuat gue bertanya-tanya apakah kita memang harus menghormati orang-orang tua yang telah memberi kita makan.  Apakah tolak ukur kehormatan hanya umur dan apakah mereka memberikan kita makan atau tidak?  Kalau iya, berarti banyak banget orang yang gak gue hormatin.  Yang jelas, kita harus merasa bersyukur bahwa kita dihidupi oleh orang-orang yang lebih tua saat kita kecil.  Tapi apakah kita harus tetap menghormati orang-orang itu jika tindakan-tindakan mereka jelas salah?  Dan mengapa kita harus tetap menghormati mereka?  Kalau gue sih menggunakan perbuatan dan pemikiran sebagai tolak ukur gue dalam menghormati seseorang, bukan umur dan apakah mereka memberikan gue makan atau tidak.  Contohnya aja Osama Bin Laden, dia lebih tua daripada gue, tapi tindakan-tindakan yang dia lakukan menunjukkan betapa kecil otak dan hatinya.  Karena itulah meskipun dia lebih tua daripada gue, gue sama sekali gak menghormati dia.  So, kita harus bisa membedakan being grateful and respect kepada orang lain.     

Other stuffs

Animasinya bagus meskipun masih rough at the edge (seperti animasi Jepang lainnya).  Musiknya Michio Mamiya tuh bagus, tapi gak punya efek memorable seperti musiknya Joe Hisaishi.  I just can't think any song or music from this film.  Kesedihan dan kengerian film ini entah bisa membuat orang terharu atau illfeel dengan kelebayan film ini.  Gue sedih sama film ini bukan karena kematian tokoh-tokohnya.  Tapi gue sedih karena gue mikir apakah manusia tuh mahluk yang punya hati nurani atau sekedar mahluk yang egois. 

Overall

Masih mikir film kartun tuh film anak-anak gak penting?  Nonton aja film ini. 8,7/10


    

Senin, 26 Mei 2014

My Neighbor Totoro: A down-to-earth film with magic.

Tonari no totoro, totoro. -Azumi Inoue
pic cr: sailormoonnews.com


Saya rasa setiap pecinta film dan anime tahu film My Neighbor Totoro.  Film animasi tahun 1988 ini sukses melambungkan nama Hayao Miyazaki dan Studio Ghibli.  Film ini juga masuk ke berbagai dan daftar film dunia terbaik dan film animasi terbaik.  Lagu temanya pun juga terkenal.  Studio Ghibli juga menggunakan Totoro sebagai maskot mereka.  

Film ini bercerita tentang sepasang kakak-beradik yang bernama Mei dan Satsuki.  Mei dan Satsuki pindah rumah ke desa bersama ayah mereka.  Namun sang ibu tidak bisa ikut karena ia masih dirawat di rumah sakit.  Tapi hal itu tidak menghentikan keceriaan dan semangat Mei & Satsuki.  Mei & Satsuki mempunyai sifat yang periang, penuh rasa ingin tahu, dan suka berpetualang.  Mereka juga malah senang ketika mengetahui kalau rumah mereka dihantui.

Suatu hari, Mei yang sedang bermain-main melihat dua mahluk unik dan kecil.  Mei memutuskan untuk mengikuti mereka berdua hingga akhirnya ia masuk ke sebuah pohon.  Ia 'jatuh' diatas badan sebuah mahluk raksasa.  Bukannya takut, Mei malah menggeletik mahluk itu.  Untungnya, mahluk itu hanya membuka matanya dan tidak menyakiti Mei.  Mei memanggil mahluk itu Totoro.  Tiba-tiba, Mei terbangun dan ia tidak berada di pohon itu tersebut, Totoro juga menghilang.  Mei merasa kesal karena kakak dan ayahnya tidak mempercayai dia.  Hingga suatu malam, Satsuki melihat sendiri Totoro dan sebuah bus kucing.

pic cr: rogerebert.com
Saya kira My Neighbor Totoro akan memusingkan saya dan memaksa otak saya untuk membuat berbagai interpretasi karena film ini sering disebut sebagai film terbaik Miyazaki.  Surprisingly, film ini cukup mudah untuk diikuti.  Bagi saya, simbolisme ataupun metafora yang di dalam film ini tidak serumit Spirited Away.  Atau mungkin saya yang terlalu bodoh sehingga saya tidak memperhatikan metafora yang lebih subtle, haha. 

Menurut Roger Ebert, film ini dibangun berdasarkan situasi, pengalaman, dan eksplorasi, bukan berdasarkan ancaman dan konflik.  Saya setuju dengan pernyataan itu karena tidak ada konflik yang besar pada film ini.  Film ini bergerak berdasarkan 'petualangan' kecil Mei dan Satsuki di desa mereka.  Di film ini juga tidak ada 'si baik' ataupun 'si jahat'.

Saya menikmati saja melihat Mei dan Satsuki berpetualangan di desa mereka bersama Totoro.  Saya juga suka menonton ikatan antara Mei dan Satsuki yang dibangun dengan apik oleh Miyazaki.  Gambar-gambar desa mereka juga membuat saya merasa kangen dengan kampung saya sendiri, haha.  Tapi, saya tetap merasa agak jenuh di beberapa adegan.  Saya menunggu-nunggu konflik itu datang, tapi ternyata tidak ada konflik atau ancaman besar seperti Howl's Moving Castle.  Apakah Miyazaki membiarkan film ini menjadi danau yang datar?  Tidak, Miyazaki tetap memberikan sedikit konflik, namun ia menyelesaikan konflik itu tanpa berbasa-basi ataupun terkesan terburu-buru.  Anyway, two thumbs up for Joe Hisaishi.  His music is so damn beautiful!   

pic cr: redofpaw.wordpress.com

Totoro dan buscat *I don't know how to call it* hanya bisa dilihat oleh Mei dan Satsuki.  Saya kurang yakin apakah anak-anak lain seperti Kanta atau teman Satsuki lainnya bisa melihat mereka berdua.  Saya rasa hal ini dipengaruhi oleh sifat mereka yang penuh rasa ingin tahu, suka berpetualang, dan somehow menyatu dengan alam.  Karena mereka penuh rasa ingin tahu, mereka tidak memperhatikan hal dengan sambil lalu atau menganggap semuanya wajar.  Tidak seperti orang dewasa yang rasa ingin tahunya berkurang dan menganggap semuanya logis sehingga terkadang mereka tidak bisa melihat atau merasakan sesuatu yang mengagumkan.  Kita tahu bahwa ada konsep believing is seeing.  Secara umum, anak-anak memiliki iman yang lebih kuat daripada orang dewasa.  Iman inilah yang mengatarkan anak-anak pada berbagai hal magis dan menabjubkan, sama seperti Mei dan Satsuki yang mempunyai iman. 

Film ini juga memberikan beberapa unsur spiritual seperti adegan sang ayah yang menjelaskan tentang pohon besar dan penjaga hutan (Totoro), ataupun adegan dimana Satsuki 'meminta ijin' untuk berteduh di suatu tempat.

Ternyata oh ternyata, ada sedikit misteri dan kengerian pada film Totoro.  Ada beberapa orang yang menganggap Totoro bukanlah penjaga hutan, tapi dewa kematian.  Ada juga yang mengaitkan film My Neighbor Totoro dengan Insiden Sayama karena latar tempat film ini berada di Sayama.  Insiden Sayama sendiri merupakan kasus kematian dua kakak-beradik yang cukup tragis.  Ceritanya, ada seorang anak yang tidak pulang ke rumah.  Lalu mayatnya ditemukan sendiri oleh kakaknya.  Kakaknya yang merasa depresi pun bunuh diri.  Cerita selengkapnya ada disini.  Saya memang merasa agak ngeri ketika melihat 'senyuman' Totoro dan buscat, tapi saya merasa kurang yakin kalau film seimut My Neighbor Totoro *secara tidak langsung* menceritakan Insiden Sayama.  Fakta itu membuat saya merasa tidak enak saja.

Terkadang, agak sulit bagi saya menemukan film yang 'benar-benar untuk anak' dari film Disney karena kebanyakan film Disney mempunyai nilai moral hitam-putih dan unsur romansa yang lebih cocok untuk orang dewasa.  Film My Neighbor Totoro merupakan salah satu contoh film animasi yang 'benar-benar untuk anak' karena film ini tidak unsur romansa, moral hitam-putih, putri lemah yang harus diselamatkan pangeran, dsb.

Saya kurang menyarankan film My Neighbor Totoro bagi mereka yang mengharapkan petualangan dan atau konflik besar, tapi My Neighbor Totoro merupakan film yang tetap bisa dinikmati. 8,3/10  

         

Jumat, 29 November 2013

Blue Velvet : "Everything is Possible" a la David Lynch

She wore blue velvet. Bluer than velvet was the night. Softer than satin was the light, from the star. -Blue Velvet, Bobby Vinton

Blue Velvet merupakan film misteri 1986 yang ditulis dan disutradarai oleh David Lynch dan dibintangi Kyle MacLachan, Isabella Rosselini, Dennis Hooper, dan Laura Dern.  Saya sendiri kurang familiar karya-karya Lynch karena Blue Velvet merupakan film Lynch pertama yang saya tonton.  Blue Velvet tidak hanya dianggap sebagai karya terbaik Lynch, namun salah satu film surealis terbaik.

Blue Velvet bercerita tentang seorang pria muda bernama Jeffrey (MacLachan) yang menemukan sebuah kuping manusia.  Hal ini mengantarkannya untuk bertemu dengan putri seorang detektif yang bernama Sandy (Dern).  Sandy berkata bahwa ada beberapa hal yang mencurigakan tentang Dorothy Valens (Rosselini).  Dorothy Valens bekerja sebagai penyanyi di suatu bar.  Didorong oleh rasa ingin tahu yang besar, Jeffrey memutuskan untuk memasuki rumah Dorothy.  Namun bukannya memuaskan rasa ingin tahunya, kunjungan ke rumah Dorothy hanya menambah rasa ingin tahu Jeffrey dan menguatkan ketertarikan Jeffrey terhadap Dorothy.  Kunjungan Jeffrey harus berhenti ketika Frank (Dennis Hopper), orang yang menyekap keluarga Dorothy, memergoki Jeffrey dan Dorothy.

WARNING : MAY CONTAIN SPOILER
 

Kita semua tentu pernah mendengar ungkapan "Everything is Possible".  Terus terang saya tidak menyukai ungkapan itu, karena berarti EVERYTHING, termasuk dunia kiamat dalam detik ini atau kita semua tertukar saat di rumah sakit SANGAT MUNGKIN TERJADI.  Ini mungkin bukan niat asli David Lynch, tapi Blue Velvet secara tidak langsung memberikan pesan bahwa "Everything is Possible" bisa memberikan makna negatif.

Opening scene-nya cukup indah dan saya suka bagaimana Lynch langsung memberikan sebuah misteri tanpa banyak basa-basi.  Lynch yang awalnya menggambarkan a pretty suburban life diiringi lagu Blue Velvet - Bobby Vinton dan tiba-tiba menodainya dengan seorang pria yang tiba-tiba jatuh stroke.  Lalu kamera bergerak terus ke tanah hingga ke dalam tanah dan memperlihatkan semut-semut yang sedang berkelahi.  Saya hanya bisa mengartikan bahwa apapun yang terlihat sempurna pastilah tidak sempurna.  Selalu ada noda di dalam atau di bawah.

Kuping yang ditemukan Jeffrey sempat di-shoot secara perlahan sehingga kamera seakan-akan memasuki kuping tersebut.  Namun adegan itu diiring musik horor.  Di adegan selanjutnya, kamera seakan-akan keluar dari kuping Jeffrey (bukan benar-benar adegan selanjutnya).  Hal ini mewakili bahaya yang akan dialami Jeffrey dan penyelesian yang akan didapatkannya.


Hal intip-mengintip sepertinya sudah menjadi kebiasaan dan hal yang wajar dalam kehidupan manusia.  Jaman dahulu kita mengintip karena ada sesuatu yang unusual, menarik, dan bersifat berbahaya atau forbidden yang justru menambah excitement.  Adegan di atas adalah salah satu contoh adegan mengintip yang klasik.  Siapa bilang masyarakat jaman sekarang tidak 'mengintip'?  Masyarakat jaman sekarang 'mengintip' dengan cara stalking facebook, twitter, ask.fm, dll.  

Dua tokoh film ini, yaitu Jeffrey dan Sandy, mewakili dua sifat dasar manusia dalam menghadapi misteri.  Ada orang seperti Jeffrey, artinya orang itu harus memuaskan rasa ingin tahunya dan tidak ragu mengambil resiko sampai misteri itu tuntas.  Ada juga yang seperti Sandy, orang yang sebenarnya kepo namun mengabaikan rasa ingin tahunya atau tidak mengambil resiko dalam menuntaskan suatu misteri.

Isabella Rosselini sangat cantik disini, secara fisik dan kemampuan akting.  Dia berhasil sekali menjelma menjadi seorang wanita sensual yang menarik perhatian pria sekaligus wanita yang kacau dan fragile.  Adegan menyanyinya sangat indah dan saya heran kenapa Lynch memotongnya di tengah-tengah.  Ada juga Dennis Hopper yang karismatik dan sangat psikopat.  Saya kehabisan kata-kata menggambarkan kemampuan akting Hopper yang betul-betul brilliant!  MacLachan dan Dern sebenarnya juga bagus, tapi mereka dibayang-bayangi oleh Rosselini dan Hopper.  Jangan lupa juga Dean Stockwell yang berperan sebagai Ben, teman Hopper yang hampir sama gilanya!   

Secara visual, Blue Velvet merupakan film yang sangat, sangat, sangat indah.  Setting yang dibangun sangat memukau dan mendukung suasana surealis yang kuat.  Hampir semua adegan terlihat seperti lukisan yang indah.  Namun saya tetap berpendapat sinematografi film ini agak di bawah ekspektasi saya.  Begitu juga editting yang menurut saya di beberapa bagian malah mengurangi keindahan film ini.  Begitu juga score yang kadang-kadang terdengar seperti score film misteri murahan.  SCORE, bukan lagu-lagunya. 

Hal-hal yang dialami Jeffrey mungkin kelewat absurd dan terlalu fiktif untuk kita percayai, tapi saya tetap percaya bahwa hal itu bisa terjadi.  Jeffrey pasti tidak menyangka bahwa keluarga 'tetangganya' diculik.  Lewat film ini, saya sadar bahwa terkadang kita tidak sadar ada kemungkinan orang yang mungkin duduk bersebelahan dengan kita pernah disakiti orang lain, atau banyak korban pelecehan seksual yang justru dilecehkan orang yang dipercayai.  Kadang hidup yang kita jalani begitu absurd dan kejahatan yang kita alami atau dengar begitu busuknya sampai kita bertanya, mengapa hal itu bisa terjadi?  Terkadang kita di posisi Jeffrey yang tiba-tiba mengetahui keadaan sesungguhnya dan bertanya mengapa.  Tapi janganlah kita hanya bertanya mengapa, kita juga harus membantu orang-orang yang terluka dan bertahan ketika dilukai seseorang.

Overall, Blue Velvet adalah film yang tidak hanya mempunyai visual yang indah dan memperlihatkan kemampuan akting yang fantastis, namun plot yang merangsang penontonnya untuk berpikir. 9,5/10

pic cr :
listal.com
videowordmadeflesh.com
bloodygoodhorror.com

Selasa, 14 Mei 2013

The Shining

Come and play with us, Danny. Forever and ever. -The Graddy Twins


Ini dia!  Salah satu film horor klasik yang paling berpengaruh!  Alasan gue nonton film ini bukan karena Jack Nicholson, tapi karena rasa ingin tahu gue terhadap sang sutradara, Stanley Kubrick!  Dan... hasilnya sama sekali gak mengecewakan!

Film ini diangkat dari novel Stephen King yang berjudul sama.  Jack Torrance (Jack Nicholson) adalah seorang mantan pecandu alkohol yang memutuskan untuk bekerja di Hotel Overlook.  Jack mempunyai istri bernama Wendy (Shelley Duvall) dan putra bernama Danny (Danny Lloyd).  Sebelumnya, ia sudah diperingatkan bahwa Jack harus menghadapi badai musim salju.  Tidak hanya itu, ia juga diperingatkan tentang pengurus sebelumnya, Charles Grady, yang membunuh istrinya dan anak kembarnya.  Setelah sampai di Hotel Overlook, keluarga Torrance juga diperingatkan untuk tidak memasuki kamar 237 yang misterius.


Pertama-tama, gue ingin mengingatkan kalau gue adalah penonton 'bego', jadi maklumi kalau review dan observasi gue tentang The Shining gak sebanyak dan 'sedalam' artikel lain.

Bravo for Stanley Kubrick!  Kalau The Silence of the Lambs bisa memenangkan Best Picture di Academy Awards, kenapa The Shining tidak bisa?  Harusnya pihak Academy malu tidak memberikan nominasi apa-apa pada The Shining.  Stanley Kubrick, Jack Nicholson, Danny Lloyd, Diane Johnson (co-screenplay), Wendy Carlos and Rachel Elkind (music) really deserved Oscar nominations.  

Akting Jack Nicholson keren banget.  Ekspresinya yang gila...wow, hehe.  Gue benar-benar gak tahu harus kasih komentar apa soal penampilan Nicholson selain...keren!  Sebelum pikirannya terpengaruh oleh hotel pun, menurut gue dia agak mengerikan.  Apalagi setelah terpengaruh.  Emang kalau nonton filmnya gue gak takut lihat Jack Nicholson, tapi kalalu gue ketemu orang kayak Jack Torrance atau Jack Nicholson senyum kayak gitu di dunia nyata?  Jangan ditanya deh.



Danny Lloyd juga keren banget.  Boleh dibilang...dia versi mininya Nicholson, hehe (in a good way).  Ekspresinya sama kuatnya dengan Nicholson.  Danny Lloyd clearly was born to became Danny Torrance.  


Shelley Duvall?  Satu-satunya adegan dimana aktingnya Shelley Duvall bagus.........................the famous 'Here's Johnny!'.  Selain itu?  Gue gak suka aktingnya.  Yang paling konyol waktu dia berkomunikasi dengan sherif lewat radio.  Intonasinya terlalu dibuat-buat.  Percakapannya juga kaku dan too friendly.  Kalau dia gak histeris, Duvall terlihat kaku dan lifeless.  Matanya juga terasa kosong.  Duvall couldn't communicate with her eyes.  Atau memang karakter Wendy seperti itu?  Gue gak terlalu tahu karena gue belum pernah baca novelnya.  So, gak ada perbandingan kayak review Never Let Me Go.



Musik dan sinematografi sangat berperan di film ini.  Bagaimana caranya membuat scene sederhana seperti lobi hotel, anak kembar, atau apapun menjadi menakutkan?  Gue termasuk orang yang (sangat) meremehkan horor psikologi, karena tiap kali gue nonton 'horor' psikologi, gue malah jadi ngantuk.  Tapi...............................harus gue akuin selama 1,5 jam pertama gue takut banget.  Gue dengan sok memberanikan diri nonton The Shining malem-malem dan hasilnya...............................gue langsung stop filmnya dan lanjut nonton pas pagi -__-

Musiknya sukses bikin gue stress selama nonton film ini.  Begitu juga teknik yang dipakai Kubrick pada adegan Danny mengendarai tricycle.  Musiknya jarang berhenti di film ini.  Saat ada adegan yang 'mencurigakan', gue langsung tutup mata, dan ngintip dari sela-sela jari gue.  Setelah gue perhatikan, ternyata adegan yang 'mencurigakan' itu biasa aja.  Gue pernah lihat yang lebih parah dari film-film gore atau serial kayak Criminal Minds, C.S.I, dll.  Sial gue ditipu Kubrick-_-


Ending film ini?  Sepertinya hanya Tuhan dan alm. Stanley Kubrik yang tahu.  Entah semua pengalaman itu hanya ilusi, atau Jack kebetulan mempunyai wajah yang sama dengan pemilik sebelumnya.


Oh iya, gue juga mau berbagi beberapa fakta film The Shining yang gue ambil dari wikipedia dan imdb :

1. Stephen King sendiri kurang puas dengan film The Shining dan SANGAT tidak mensetujui Jack Nicholson sebagai Jack Torrance.
2. Adegan dimana Wendy menggunakan pemukul baseball tidak diulang sampai 147 take, hanya 34-35 take.  Justru adegan Holland menjelaskan kepada Danny apa itu shining yang mengambil 148 take.
3. Stanley Kubrick sempat berpikir untuk merekut Robert de Niro, Robin Williams, dan Harrison Ford sebagai Jack Torrance.  Sedangkan Stephen King lebih menyukai Christopher Reeve sebagai Jack.
4. Shelley Duvall sempat sakit dan tertekan setelah syuting The Shining.
5. Jack Nicholson melakukan ad-lib pada dialog 'Little pigs'.
6. Selama syuting, Stanley Kubrick menyuruh para pemain untuk menonton Rosemary's Baby, Eraserhead, dan The Exorcist.
7. Video klip The Kill (Bury Me) - 30 seconds to mars terinspirasi dari film The Shining.


8. Banyak kritikus berpendapat bahwa The Grady Twins terinspirasi dari foto Diane Arbus yang berjudul Identical twins, Roselle, New Jersey, 1967.  Kubrick sendiri pernah bertemu dan belajar dengan Arbus.


Nah, tadi kan gue bilang kalau 1,5 jam pertama Kubrick berhasil nakutin dan menipu gue, tapi setelah itu, gue malah jadi ngantuk karena tahu kalau musik yang dipakai hanyalah trik.  Mungkin efeknya akan berbeda kalau gue nonton film ini siang dan gak sendiri....gue aja nonton film Thailand siang-siang dan rame-rame tetap takut-_-  So, as a horror movie, I don't really like it, but as a movie, I really love it! (?)  8,5/10

P.S : Film ini emang gak menegangkan kalau lo tonton siang, makanya nonton film ini sendirian pas malam, dan matiin lampu!  Dijamin horornya terasa...

pic cr : impawards.com
            tumblr.com
            bloody-disgusting.com
            leedsstudent.org
            perezhilton.com 
            leedsfilm.com 
            kubricsfilm.tumblr.com
            gonemovies.com

Minggu, 05 Mei 2013

The Breakfast Club

You see as you want to see us. -Brian Johnson

 Sinopsis 

Hari Sabtu adalah hari yang cocok untuk bersantai...dan juga untuk detensi.  Brian "Brian" Johnson (Anthony Michael Hall), Andrew "Athlete" Clark (Emilio Estevez), John "Criminal" Bender (Judd Nelson), Claire "Princess" Standish (Molly Ringwald), dan Allison ''Basket-Case" Reynold (Ally Sheedy) berkumpul di sekolah untuk melaksanakan detensi.  Detensi mereka diawasi oleh Richard Vernon (Paul Gleason).

Jelas sekali kelima murid ini berasal dari kelas sosial yang berbeda.  Satu-satunya 'gang' yang bisa 'klik' adalah Claire dan Andrew karena mereka sama-sama populer.  Well, tidak ada yang menyangka kalau seorang criminal yang cerewet bisa menyatukan mereka semua.


I looooooooove this movie so much!  Adegan pembuka film ini adalah salah satu adegan pembuka favorit gue.  John Hughes menggunakan narasi yang cukup jarang dipakai.  Dia tidak menarasi seluruh film, tapi hanya menarasi di pembuka dan penutup.  Dia memberikan cuplikan tentang film apa yang akan kita tonton, tapi tidak memberi spoiler seutuhnya.  John Hughes juga tidak secara verbal mengatakan siapa dengan karakter apa, semuanya terindikasi dengan cara mereka berkomunikasi dengan orangtuanya.  It's a genius way. Dan gue juga 'ngeh' sama humornya John Hughes.

Penampilan lima anggota Brat Pack di film ini juga bagus.  Terutama Sheedy.  Gue suka banget penampilannya!  Bahasa tubuhnya canggung, tapi juga meneriakkan jiwa pemberontak.  Tatapan matanya yang creepy tapi juga bisa vulnerable, pokoknya bagus banget deh aktingnya.  Molly Ringwald juga berhasil menjadi seorang...b*tch, perhaps?  

The character that I love the least is Claire.  She's too b*tchy for me too like her.  Kalau dia menghadapi child abuse seperti John, mungkin gue lebih bisa berempati sama dia.  Tapi masalahnya dia itu gak seberat John atau Allyson, dan kelakuannya drama queen banget.  But, I must admit that Ringwald did a very good job.  

Hall did a very good job too.  Nope, not as amazing as Sheedy.  Permasalahannya juga cukup klise sih, dan gue juga merasa dia kurang mendalami karakternya.  John Hughes juga harusnya menambah sedikit konflk agar penampilan Hall bisa menjadi lebih emosional.  But at least Brian wasn't as annoying as Hermione. 

Judd Nelson is a classic asshole/bad boy.  Aktingnya Nelson bagus banget, terutama di adegan dimana Vernon ngancem Bender. 

Nah, gue kurang suka aktingnya Estevez.  Kurang dalam dan emosional.  Mungkin memang karakter athlete dan criminal memang harus seperti itu?  Entahlah.  Meskipun kurang dalam dan emosional, akting mereka juga gak terlalu parah.  Masih bisa dikategorikan...biasa.  Tapi, mereka juga membawakan energi dan bahasa tubuh yang tepat untuk karakter-karakter yang mereka mainkan.

Gleason dan John Kapelos (Carl, janitor di sekolah) juga berhasil menjadi pameran pembantu.  Memang penampilan mereka singkat, tapi bukan berarti penampilan mereka tidak diperhitungkan.  

Musik dan soundtracknya juga keren banget.  Cocok banget untuk kategori film remaja.  Adegan yang dibuka dengan lagu Don't You (Forget About Me) - Simple Minds bisa jadi keren banget.  Soundtrack dan musiknya memberikan semacam energi yang mengalir dalam film ini.  

Tapi, yang namanya film, sering ada hal yang gue gak suka.  Kalau film ini?  Endingnya yang klise.  Emang harus ya tiap film remaja atau persahabatan itu dihubungkan dengan hal-hal romantis?  Tapi emang kalau endingnya gak ada love line, kurang 'nendang' sih.  Yang harusnya jadi pasangan itu Allison-Andy aja, jangan si Bender-Claire.  Kalau bad boy ketemu cewek cantik kan udah biasa.  Tapi gue juga senang Hughes mengakhiri film ini dengan cara yang tidak terlalu me-reveal, karena film ini tidak diberikan epilog.  Tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada hari Senin.  Boleh dibilang, gue suka gak suka sama ending film in.


Oh iya, transformasi Allyson.  Perlu banget?  Menurut gue Ally Sheedy udah cantik kok dengan dandanan serba hitamnya.  Malah dia kelihatan lebih original.  Kalau dandanan pink, malah jadi kayak badut-__-

Overall, it's the best brat pack movie!  8,7/10

pic cr : gear4
            telstar 
            judgementalobserver