pic credit to Netflix |
Enola Holmes merupakan adaptasi dari novel Nancy Springer, dan disutradarai oleh Harry Bradbeer. Film ini mengikuti Enola (Millie Bobby Brown) yang dibesarkan oleh ibunya, Eudoria (Helena Bonham-Carter). Eudoria mengajarkan Enola keahlian dan pelajaran yang tidak umum dipelajari wanita waktu itu, seperti bela diri dan sains. Suatu hari, ibunya memutuskan untuk meninggalkan Enola. Enola yang belum dewasa menjadi anak wali Mycroft (Sam Claflin), kakak dari Enola dan Sherlock (Henry Cavill). Enola memutuskan untuk kabur dan mencari ibunya. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Tewkesbury (Louis Partridge), seorang bangsawan yang lari dari keluarganya.
pic credit to Netflix |
Okay, I just need this to get out of my chest first: Henry Cavill lebih ganteng di sini daripada di DCEU woy. Kalau kata adek gue: "Emang mana yang lebih ganteng, orang pake celana dalam di luar atau di dalem."
Kalau gue menebak ini mengambil latar belakang di Edwardian Era. Edwardian Era sendiri berjalan dari sekitar tahun 1901 hingga 1910, sebelum Perang Dunia I. Gerakan suffrage berkembang cukup pesat di era ini. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok suffragattes sebenarnya memuncak sekitar tahun 1914, di bawah rezim George V. Meskipun gerakan suffrage berkembang di akhir Victorian Era, wanita yang memiliki pendidikan tinggi seperti Eudoria dan Enola sudah ada sejak lama di Inggris, sebut saja Ada Lovelace dan Mary Shelley.
Mungkin ada beberapa penonton juga yang tidak percaya wanita di zaman itu bisa belajar olahraga bela diri. Justru di Edwardian Era lah para wanita belajar jiu-jitsu untuk melindungi wanita lain. Wanita yang menyebarkan jiu-jitsu kepada wanita lain adalah Edith Garrud, instruktur WSPU (Women's Social and Political Union). Enola Holmes juga memiliki tokoh bernama Edith yang diperankan oleh Susie Wokoma, seorang wanita kulit hitam.
Gue agak kaget gak ada yang mempermasalahkan pemilihan casting Wokoma, mengingat ia jelas-jelas terinspirasi dari real person. Mungkin ini karena Garrud sendiri bukan tokoh feminis yang populer. Menampilkan tokoh kulit hitam di Edwardian Era mungkin terasa seperti usaha dangkal yang bagus untuk terlihat memiliki 'diverse cast'. Tapi itu juga bisa usaha untuk whitewashing the history. Benar, tidak seharusnya orang menganggap serius nuansa historis dari film fiksi. Tapi ini film yang kelompok demografisnya adalah anak muda who probably do not know any better.
Gue juga tidak akan mempermasalahkan pilihan casting itu kalau Enola Homes fully for entertainment. Alas, mereka mencoba untuk preaching for social justice and why you should participate in it. Tingkat preachnya sampai level penulisnya menuliskan dialog yang spelling out the message. Seandainya mereka gak preachy, mungkin I will take the faults of the film less seriously.
Walaupun Jack Thorne selaku screenwriter bersusah payah untuk menjelaskan pesan film, ada aspek cerita dan tokoh yang mengkontradiksi pesan tersebut. Ada adegan di mana Edith called out on Sherlock's apolotical position. Edith menyatakan bahwa wajar Sherlock tidak tertarik untuk mengubah tatanan politik, karena ia tidak pernah dirugikan oleh politik. Gue pribadi setuju bahwa orang yang apolitik cenderung priveleged, dan tidak peduli politik sama sekali artinya apatis terhadap kehidupan orang lain. Edith bahkan dengan gamblang ngomong kalau Sherlock kayak burung unta yang ngumpetin kepalanya di bawah tanah.
Di sisi lain, Enola dengan keras kepala menolak untuk berkompromi dengan Mycroft. Ia menolak untuk bergaul dengan cewek yang seumuran dengan dia di sekolah. Enola hampir tidak mengubah pendiriannya, bahkan menyatakan bahwa dunia lah yang harusnya berubah. Lalu, film ditutup dengan Enola yang menyatakan, "My life is my own (...)". Enola's hard headedness can hinder social change too, in real life. Karena di kehidupan nyata orang harus belajar untuk berkompromi dan choose their battle wisely. Gue juga mikir dengan dia menolak untuk belajar di sekolah itu, kemungkinan dia malah membuang kesempatan untuk networking dan menyebarkan feminisme ke kaumnya sendiri. Pilihan dia untuk bersikeras terhadap pendiriannya jadi kontras dengan keputusannya dia untuk menyamar, bahkan ganti gender dan kelas, di sepanjang film.
Nilai-nilai feminisme di film ini juga jadi berkurang jika mengingat film ini seakan-akan membagi tokoh-tokoh wanitanya menjadi dua: progresif dan kuno. Di sisi progresif ada Edith, Eudoria, dan Enola. Di kelompok kuno ada wanita bangsawan, cewek-cewek di sekolah Enola, dan Miss Harrison (Fiona Shaw, yang jadi tantenya Harry Potter). Hampir gak ada wanita yang di tengah-tengah. Mungkin ada satu sih, penjaga kosannya Enola, yang oportunis. Mycroft is also over-villainized? Dia jadi konservatif dangkal yang tipikal. I would've liked it more if he had been a traditional centrist that can challenge Enola's thought.
Overall, Enola Holmes is an entertaining movie with Millie Bobby Brown as a solid lead. It has a pretty cinematography and a nice flow. Unfortunately, its attempt to be political is weak and the message is contradictory. 6,5/10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar