Tampilkan postingan dengan label Art house-Indie-International. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Art house-Indie-International. Tampilkan semua postingan

Rabu, 13 November 2019

Our Little Sister (Umimachi Diary)



Hirokazu Kore-eda merupakan nama yang tidak asing bagi penggemar film festival. Karyanya tahun 2013, Like Father Like Son (yang belum gue tonton padahal udah didownload dari kapan tahu) menerima Jury Prize di Cannes Film Festival. Puncak karirinya sejauh ini adalah menerima Palme d'Or untuk Shoplifter pada tahun 2018. Our Little Sister merupakan filmnya yang dirilis pada tahun 2015, dan diadaptasi dari manga yang berjudul Umimachi Diary oleh Akimi Yoshida.

Film Hirokazu kali ini bercerita tiga orang kakak-beradik dewasa. Yang tertua, Sachi (Haruka Ayase), lalu Yoshino (Masami Nagasawa), dan Chika (Kaho). Mereka telah lama hidup bertiga sejak orang tua mereka bercerai. Tiba-tiba, mereka mendapat kabar bahwa ayah mereka telah meninggal. Saat pemakaman, mereka bertemu dengan adik bungsu mereka dari pernikahan kedua sang ayah, Asano Suzu (Suzu Hirose). Sachi yang merasa sang adik kurang bahagia tinggal bersama istri ketiga ayahnya, mengajak Suzu untuk tinggal bersama mereka bertiga. Suzu menerimanya.



SMALL SPOILER ALERT

Karena gue belum menonton film Hirokazu Kora-eda yang lain, gue belum bisa membuat perbandingan dengan film-film sebelumnya, hehe. Film ini malah mengingatkan gue dengan film Jepang jadul yang berjudul Tokyo Story. Jika Tokyo Story berbicara mengenai orang tua yang diabakan anak-anaknya yang dewasa, maka Our Little Sister menceritakan orang dewasa yang diabaikan orang tuanya saat muda, serta seorang anak yang dikecewakan oleh orang dewasa.

Apa ini gue doang atau gak, film Amerika Serikat yang indie cenderung lebih menyukai dekonstruksi ideal relationship atau cerita mengenai dysfunctional relationship. Sebut saja Marriage Story yang Desember nanti dirilis oleh Netflix (at least based on the trailer), Midsommar, Lady Bird, heck, one of its' biggest franchise is basically a family space opera! Untungnya Hirokazu Kore-eda menghindari tren itu, dan memperlihatkan hubungan saudara yang sehat. 

Kelalaian orang tua mereka tidak muncul lewat hubungan saudara yang tidak sehat, atau apapun yang mencolok. Luka itu justru tumbuh lebih subtle. Seperti Sachi yang sering kali lebih seperti ibu daripada kakak. Hal ini diperlihatkan dari bagaimana ia yang sering memasak dan menegur adik-adiknya. Ada Yoshino yang sering memanjakan pacarnya secara material. Chika yang masih sedikit kekanak-kanakan. Yang terakhir, Suzu, yang menyimpan unek-unek mengenai ibu tirinya, ditambah merasa insecure karena merasa ibunya lah yang menghancurkan pernikahan orangtua kakak-kakaknya. Akibat dari abandonment nyatanya tidak selalu terlihat mencolok dan inilah yang kadang-kadang dilupakan media dan masyarakat awam. Ini poin favorit gue dari film ini. Luka itu kadang-kadang terlalu dalam atau sudah mati rasa sehingga hanya terlihat jika diperhatikan sangat baik-baik saja.

Film ini juga tidak mempunyai alur cerita yang konvensional. Alur ceritanya sama dengan manga yang diadaptasi, di mana ceritanya mengenai kehidupan sehari-hari keempat kakak-beradik itu. Kadang-kadang ada hari yang sekedar rutinitas, ada yang sangat membahagiakan, dan ada yang diisi dengan ketegangan. Ketika kamu berharap bahwa konflik kecil itu akan menjadi konflik utama, konflik itu akan terselesaikan atau hanya digantung. Contohnya, ada cerita mengenai kedatangan ibu the elder sisters. Hal ini memicu konflik karena Sachi belum sepenuhnya memaafkan sang ibu. Suzu juga menjadi tidak nyaman. Tapi, Koru-eda tidak membuat tarik-ulur dengan konflik ini secara berlebihan, dan memberikan resolusi yang heartwarming. Tidak hanya resolusi yang heartwarming, film ini juga menampilkan momen-momen kecil membahagikan seperti memanen buah plum, makan katsu, atau sekedar naik sepeda dengan teman. Meskipun demikian, Hirokazu berhasil menyulap momen kecil itu menjadi tidak hanya membuat senang penonton, tapi juga menghangatkan hati mereka.

Secara teknis, gue jatuh cinta banget dengan musiknya! Kudos for Yoko Kanno. Sayang gue cari di YouTube dan Spotify gak ketemu, huhu. Lantunan pianonya itu ringan, tapi manis gak sampai diabetes. Benar-benar menangkap esensi filmnya. Akting para aktornya bagus, tapi yang lebih bagus lagi adalah chemistry di antara mereka. Benar-benar meyakinkan kalau mereka itu kakak beradik. And the landscape!!! No word to describe the landscape. 

Overall, Our Little Sister has the perfect amount of sweetness, warmness, tension, and melancholy. It captures the subtle effect of parental abandonment and disappointment, while also proving you can break it by being a functional adult and having a healthy and loving relationship with your sisters. 7,5/10. 

Minggu, 21 April 2019

Ave Maryam

diambil dari 21cineplex.com

Ave Maryam merupakan film Indonesia tahun 2019 yang disutradarai dan ditulis oleh Ertanto Robby Soediskam. Film ini telah diputar oleh berbagai film festival internasional, salah satunya adalah Hanoi International Film Festival. 

Berlatar belakang di Semarang tahun 1990-an, film ini bercerita tentang kehidupan Suster Maryam (Maudy Koesnadi) yang merawat suster-suster yang sudah tua. Kehidupannya yang teratur mulai mengalami perubahan ketika Romo Yosef (Chicco Jerikho) datang untuk mengajar orkestra natal. Di saat yang sama, Suster Maryam juga mendapat tugas untuk menjaga Suster Monic yang misterius. Iman dan tekad Suster Maryam diuji ketika Romo Yosef mulai menunjukkan ketertarikan kepada Suster Maryam.

MINI SPOILER ALERT!

diambil dari alinea.id
The visual porn in this movie can not be described with words! Shout out to Ical Tanjung yang jadi penata kamera. Sumpah, gue suka banget framing dan sudut pengambilannya. Cakep banget. Sinematografi film ini menyaingi Marlina menurut gue. 

Film ini mungkin bisa dikategorikan sebagai tipikal film artistik yang slow dan minim dialog. Gue biasanya gak nonton film ini, but the shots in the trailer are just alluring me! Ada satu adegan yang menurut gue terinspirasi dari In The Mood for Love, yaitu ketika Romo Yosef dan Suster Maryam menghentikan mobil ketika hujan. Adegan itu mengingatkan gue ketika Mr. Chow dan Mrs. Chan bertemu di tengah hujan. 

Salah satu aspek yang gue suka adalah bagaimana film ini bisa menggambarkan perubahan yang dibawa oleh Romo Yosef. Menit-menit pertama memperlihatkan keseharian Suster Maryam seperti memasak, merapikan tempat tidur, merawat suster-suster yang tua, berdoa, dll. Keseharian tersebut tenang, teratur, dan bisa diprediksi. Lalu ketika Romo Yosef datang, dia membawa musik yang penuh kehidupan dan gairah. 

Adegan itu, sekaligus adegan mereka berdua merayakan ulang tahun di pantai, sepertinya menjawab mimpi Suster Maryam sebelumnya tentang ombak yang bergelombang. Romo Yosef sebenarnya telah menjawab keinginan dan mimpi Suter Maryam. 

diambil dari tirto.id

Dari unsur dialognya, gue itu rada peevish karena aktornya sama sekali gak ngomong pakai logat Jawa. Sehingga kurang menangkap suasana Jawa Tengah. I think they didn't even try. Di satu sisi, mungkin memang tidak menambah apa-apa dari sisi cerita. Namun gue pribadi merasa kurang bisa hanyut dalam filmnya.

Minimnya dialog juga membuat motivasi para tokoh kurang tergali. Gue in a way bisa mengerti mengapa Suster Maryam bisa tertarik dengan Romo Yosef. Romo Yosef bagaimanapun juga merupakan orang yang baru, merupakan sesuatu yang berbeda dari kehidupan rutinnya. Maudy Koesnadi juga bisa menunjukkan ketertarikan Suster Maryam terhadap Romo Yosef dengan cara yang subtle. Maudy Koesnadi tidak banyak berkata, namun ia sukses berakting dengan bahasa tubuhnya, terutama ekspresi matanya. 

Namun dari Romo Yosef sendiri, kok gue kurang bisa menerima ya dia suka dengan Suster Maryam, haha. Kurang jelas bagi gue permulaan rasa sukanya, atau alasannya. Apakah itu dimulai karena rasa tertarik yang tulus, atau sekedar bentuk rebellion? 

Selain motivasi tokoh, pergumulan iman mereka pun juga kurang dieksplor atau tergali. Gue merasa Suster Maryam dan Romo Yosef (terutama Maryam) agak banting setir ketika tadinya mereka berani untuk menjalin hubungan lebih dekat lagi, lalu mereka seperti merasa berdosa. Mungkin ini juga karena adegannya dipotong. Alasan kenapa Maryam bisa mencapai keputusan akhirnya juga kurang terjawab bagi gue.

Suster Monik yang mendapat porsi yang cukup signifikan di film ini juga kurang jelas perannya, atau hubungannya dengan dua tokoh utama film ini. Ada beberapa indikasi bahwa ia mempunyai masa lalu dengan Romo Yosef, tapi tidak ada penjelasan eksplisit dari film. Entahlah, kalau dia merupakan tokoh yang memang tidak mempunyai tujuan jelas, seharusnya tidak mendapat screen time yang cukup signifikan di film. Akan lebih baik jika porsinya dia untuk menggali Yosef dan Maryam lebih dalam.

In conclusion, Ave Maryam is a visually-pleasing film with emotional ending and fantastic actors. Unfortunately, the story leaves many questions unanswered and its characters' motivations unexplained. 7/10




Minggu, 07 Januari 2018

A Brighter Summer Day



A Brighter Summer Day (牯岭街少年杀人事件, Youngster Homocide Incident at Guling Street) merupakan film drama yang berlatar di Taiwan pada awal tahun 1960-an. Film Taiwan berdurasi 237 menit ini disutradari oleh Edward Yang dan dirilis pada tahun 1991. Film yang merupakan bagian dari Taiwan New Wave ini sebenarnya loosely based on a true event dan menggunakan sekitar 100 aktor amatir. 

Semuanya dimulai ketika Zhang Zhen, atau Xiao Si'r (Chang Chen) tidak berhasil masuk sekolah siang dan terpaksa masuk sekolah malam. Apa yang ditakutkan ayah S'ir terjadi - S'ir jadi bergaul dengan anak-anak 'nakal'. Daerah di sekitar S'ir dikuasai oleh dua gang, yaitu Little Park Boys dan 217. Little Park Boys merupakan gang dari keluarga pegawai sipil sementara gang 217 merupakan gang dari keluarga militer. Meskipun Si'r bukan anggota gang manapun, ia lebih dekat dengan Little Park Boys. 

Ketika Honey, ketua Little Park Boys, bersembunyi dari polisi, ia meninggalkan kekasihnya, Ming (Lisa Yang). Absennya 'pemilik' Ming memicu lebih banyak konflik antara kedua gang tersebut dan menyeret Si'r ke dalamnya.



There are so many things to be discussed and unpacked in this masterpiece by Edward Yang. But first of all, I have to apologize as I know nothing at all about Taiwanese culture, language, and history (except for Dau Ming Si lol). Padahal ketiga film ini krusial sekali untuk memahami A Brighter Summer Day lebih dalam. ketidakfasihan gue membuat ada beberapa hal yang gue miss seperti orangtua Si'r berbicara Shanghainese agar percakapan mereka tidak dipahami oleh anak-anak mereka yang berbicara bahasa Mandarin. Ada juga aspek seperti bagaimana American pop culture mempengaruhi kehidupan anak-anak muda di Taiwan pada zaman itu dan seberapa kontrasnya dengan rumah mereka yang secara fisik peninggalan Jepang namun didiami oleh mereka yang masih punya ikatan ke Mainland China. 

Uncertainty and Instability

Film ini dibuka dengan kekecewaan dan ketidakyakinan atas masa depan sang tokoh utama. Pembuka filmnya hampir exclusively menunjukkan Si'r dan ayahnya saja, bahkan tidak menunjukkan wajah guru Si'r. Lukisan ini seakan-akan menunjukkan bahwa situasi ini hanya dirasakan oleh Si'r dan ayahnya. Selanjutnya kita mendengar daftar nama-nama siswa yang lulus masuk ke berbagai sekolah di Taiwan. Artinya keadaan ini sebenarnya tidak hanya dirasakan oleh Si'r dan ayahnya tapi juga oleh berbagai anak dan orangtua di Taiwan. Mungkin ini hanya aspek kecil tapi menurut gue Edward Yang dengan pintar menunjukkan bagaimana bahwa education is both personal and public problem. Kalau dipakai di konteks jaman sekarang, ketika kita membaca riset mengenai pendidikan, kita hanya melihat angka orang-orang, tapi kita tidak pernah tahu perasaan mereka dan apa yang mereka pikirkan. Adegan ini menunjukkan bahwa orang-orang yang bagian dari stastik itu adalah riil dan bukan sekedar angka saja. Sebaliknya untuk gue pribadi, adegan ini agak mengingatkan bagaimana gue merasa hanya gue yang stress untuk mendapat kursi di PTN, padahal bukan gue saja. Dan jikalau gue gagal, I would not be the only one. 

Ketidakyakinan dan ketidakstabilan yang dialami oleh S'ir dan keluarganya tidak hanya datang dari aspek pendidikan saja tapi juga dari fakta bahwa keluarga S'ir merupakan keluarga pendatang. Sang ayah yang terus memantau berita sepertinya menunggu adanya tanda yang memperbolehkan ia dan keluarganya untuk kembali ke Cina. 

Di awal film, penonton mendapatkan informasi bahwa munculnya gang anak muda (walaupun ada beberapa orang dewasa yang masih anggota gang) sangat dipengaruhi oleh kekalahan National Government terhadap kelompok komunis. Setelah gue browsing sedikit, di era 60an, Taiwan masih mengalami berbagai konflik dengan RRC, apalagi Cold War belum berakhir di era tersebut. 



Sociopoliticalish and pieces of gender problem (don't expect much tho)

Setelah melihat keadaan Taiwan di era awal 60an, menjadi wajar sekali bagaimana anak-anak tersebut 'dekat' dengan kekerasan. Kekerasan merupakan hal yang wajar, bisa dilihat bagaimana ada seorang laki-laki dewasa yang dengan gamblang mengekspresikan kepuasannya ketika ia membantai orang-orang komunis. Bahkan berita seorang guru yang dipukul dengan baseball bat sudah seperti gosip pasar, walaupun memang masih dipandang secara buruk dan sekolah masih berusaha untuk mencegah timbulnya kekerasan lebih lanjut. S'ir pun tidak menjadi traumatis ketika ia melihat seseorang yang sekarat karena diserang oleh pedang.

Beberapa keluarga di Taiwan tinggal di rumah bekas orang Jepang. Beberapa barang mereka ditinggal di loteng rumah tersebut. Barang-barang yang ditinggalkan termasuk senjata, dan ditemukan oleh beberapa teman Si'r. At one point, bahkan mereka tidak segan menggunakannya. Hal ini menunjukkan bahwa rumah pun tidak imun dari kekerasan dan alat senjata. Their parents either don't know or don't care. 

Selain kental dengan casual and not-so-casual violence, film ini juga menghadirkan casual sexism. Salah satu contohnya adalah bagaimana Ming tidak diperlakukan sebagai mahluk mempunyai agency atau otoritas atas dirinya, tapi sebagai barang yang bisa dimiliki. Hal ini terlihat bagaimana adanya sekolompok laki-laki yang memperingatkan S'ir bahwa Ming adalah "our girl" dan bagaimana Little Park Boys bersikap lebih ofensif kepada Si'r ketika mereka memergoki Si'r dan Ming berduaan, seakan-akan mereka tidak bisa berpikir bahwa Ming juga memilih untuk bersama Si'r, atau mempunyai hak untuk memilih dan berpikir. Selain Ming, ibu Si'r juga mendapatkan kata-kata dari suaminya yang menyiratkan pengetahuannya tidak sebanyak suaminya karena ia perempuan, terutama dalam masalah pertemanan antar pria. Meskipun ini tidak menjustifikasi seksisme kasual yang dialami oleh Ming dan tokoh perempuan lainnya di film ini, penonton bisa mengerti bagaimana dan mengapa hal itu bisa terjadi. 

Also, I doubt the accesible porn helps men to really understand women. I could be reaching too high, but I think the few mention of porn here and there build a subtle bridge for the final act. Many men love porn, especially the one's that full of sexy girls. Ironically, they usually hate girls who date and have sex too much (according to their personal measure lol). Hal ini pun terjadi di film ini. 

Jadi jelas bahwa anak-anak tersebut mempunyai certain ideals or fantasies about violence, glory, relationship, women, etc. Sayangnya baik orangtua maupun sekolah gagal memberikan koreksi atau perbaikan atas ide dan fantasi tersebut. They lack a mature guidance outside school and house. Ini tidak hanya disebabkan oleh orangtua mereka yang sibuk bekerja dan perang yang terjadi, tapi juga indifference and prejudice terhadap hal-hal yang lebih modern dan atau bersifat asing. Bagian ini diperlihatkan lewat ayah Si'r yang mempertahankan suatu radio tua dan nilai-nilainya yang kaku, dan bagaimana guru Si'r menjelaskan bagaimana huruf Cina lebih superior daripada alfabet Latin.

Misc

I just love the techniques Edward Yang used for this film. The lack of camera movement (which seems influenced by Yasujiro Ozu) fascinates me in inexplicable way.  Dan jika benar Yang dipengaruhi oleh Ozu, menurut gue lucu dan pintar. Lucu karena dari sisi musik, film ini justru lebih kaya akan lagu-lagu populer Barat (selain lagu-lagu tersebut, film ini tidak menggunakan musik, which fits perfectly with the realism of this film). Pintar karena kalau gue lihat sekilas filmografi Ozu yang lumayan banyak ambil adegan di dalam rumah sementara rumah-rumah di film ini merupakan rumah bekas Jepang. Selain itu ada beberapa adegan yang menggunakan gaya frame within frame yang membuat gue merasa tidak hanya menonton film tapi juga melihat kejadian historis dan mengintip kehidupan pribadi tokoh-tokohnya. Also the actors were so great, it would be hard to guess who's amateur and who's not.

Conclusion

I would like this film better if it was shorter. However, I myself think all of the scenes are important to build Si'r's world. Harus gue akuin ada beberapa saat dimana gue merasa agak bosan, tapi itu tidak sampai membuat gue ingin mengskip atau mempercepat adegan tersebut. A Brighter Summer Day tidak hanya film yang cantik dengan teknik yang menarik atau brilliant, but it can suck you to its world. 9/10 (Amazing)




Untuk review yang lebih berbobot dalam bahasa Inggris: https://www.criterion.com/current/posts/3981-a-brighter-summer-day-coming-of-age-in-taipei

Selasa, 07 April 2015

Happy Together (春光乍洩)

movies.io
Gue bukan pengagum Wong Kar Wai. Gue lumayan suka In the mood for love, tapi sampai sekarang gue gak ngerti kenapa Chungking Express disebut sebagai film romance karena gue gak bisa merasakan romance dari film itu. But anyway, gue tetap membuka pikiran gue terhadap Wong.

Happy Together merupakan film romance tahun 1997 yang ditulis dan disutradarai oleh Wong Kar Wai. Sama seperti kebanyakan film Wong, film ini menceritakan tentang hubungan cinta yang tidak sempurna dan melankolis. Namun yang membuat Happy Together berbeda dengan film Wong lainnya, film ini bercerita tentang pasangan gay. Film ini mendapat sambutan yang positif, bahkan Wong memenangkan Best Director pada Cannes Film Festival. Meskipun judulnya Happy Together, film ini bukanlah film dengan nuansa happy.  

Let's start over. Hal itulah yang selalu dikatakan Ho Po Wing (Leslie Cheung) setiap kali ia ingin melanjutkan hubungannya (yang putus) dengan Lai Yiu Fai (Tony Leung). Meskipun sudah putus berkali-kali, Lai Yiu Fai tidak berdaya untuk menolak permintaan Ho Po Wing. Tidak lama setelah mereka berbaikan, mereka pergi ke Argentina untuk melihat air terjun Iguazu, air terjun yang terdapat pada lampu milik Po Wing. Namun Po Wing yang tidak suka dengan 'keribetan' malah meninggalkan Yu Fai sendirian di Argentina, dengan uang yang sedikit.

Yiu Fai berusaha bertahan hidup dengan bekerja di sebuah night club. Namun, sepertinya Po Wing tidak puas terhadap luka yang ia tinggalkan pada Yufai, karena ia mencium laki-laki lain di depan Yiu Fai. Yiu Fai pun hanya bisa diam terhadap kelakuan Po Wing. Tapi pada akhirnya Yiu Fai tetap menerima Po Wing ketika Po Wing muncul di depan apartemen Yiu Fai dalam keadaan babak belur.

pinterest.com
A Fanfiction-like film

Gue mulai curiga kalau salah satu tujuan Wong Kar Wai bikin nih film karena dia ingin menginspirasi cewek-cewek untuk menulis fanfic homo.

Happy Together adalah film yang perfect untuk seluruh fujoshi di dunia. Everything is in here. EVERYTHING. Sexual tension, angst, chemistry, romance, beautiful quotes, handsome guys, angst, angst, angst... Gila, gue yakin banyak fangirl gak bakal keberatan kalau Tony Leung dan Leslie Cheung diganti entah sama anggota boyband atau bromance dari franchise terkenal macam Sherlock-Watson, Kirk-Spock, Draco-Harry, dll.

Ceritanya tuh sebenarnya...

Cukup biasa. It's an everyday love story. Tidak ada twist ataupun hal yang sangat kontroversial. Tapi di sisi lain, hal yang menawan dari film Happy Together adalah cerita yang everyday love story (well, not exactly everyday). Happy Together tidak bercerita tentang usaha sepasang gay untuk diterima masyarakat, forbidden love story, perselingkuhan, perbedaan kelas sosial, penyakit, dan hal klise lainnya. Film ini justru bercerita tentang orang yang kesepian, egois, mencoba untuk move on, tidak sadar akan perasaan orang lain, haus akan cinta, dan membuat kesalahan. Gue rasa ini menyebabkan banyak orang akan lebih mudah untuk relate dengan film Happy Together dibandingkan film romance klise lainnya.  

Meskipun Yiu Fai dan Po Wing merupakan tokoh utama di film ini, Happy Together tidak pernah menjelaskan ke penonton apakah mereka pernah struggle dengan orientasi seksual mereka, atau apakah mereka takut dengan opini keluarga mereka dan masyarakat mengenai gay. Pandangan masyarakat tentang gay pun tidak diperlihatkan secara gamblang oleh Wong. Tapi ada kemungkinan Wong menyelipkannya secara subtle. Contohnya, salah satu teman kerja Yiu Fai bersikap indifferent terhadap kemungkinan bahwa kekasih Yiu Fai adalah laki-laki. Po Wing sendiri mencium laki-laki lain di tempat terbuka. Hal-hal kecil ini sepertinya mengatakan bahwa pada dasarnya tidak ada yang salah dengan orang mencintai orang lain dengan gender yang sama. Homoseksualitas bukanlah hal yang tabu atau memalukan.  

The characters

Salah satu hal yang gue suka dari film ini adalah baik Yiu Fai dan Po Wing sama-sama kotor, emosional, dan melankolis. Po Wing memang selalu yang pertama memutuskan pertalian di antara mereka, tapi itu tidak menjadikan Yiu Fai tanpa dosa. Yiu Fai sendiri sebenarnya selalu diberi kesempatan untuk pergi meninggalkan Yiu Fai. Seegois-egoisnya Po Wing, dia bukanlah mafia yang punya kekuatan besar untuk memaksa Yiu Fai.
 
Yiu Fai dan Po Wing bertolak belakang. Yiu Fai menginginkan kestabilan dan ia bersedia untuk 'berperang' supaya hubungannya dengan Po Wing lancar. Yiu Fai memang punya sisi spontaneous, tapi akhirnya dia adalah pria yang menghargai masa lalu dan keluarga. Meskipun ia masih sakit hati, keputusannya untuk Po Wing didorong rasa iba terhadap Po Wing, bukan karena kata hati atau personal code. Po Wing benar-benar spontaneous. Dia tidak punya suatu keinginan untuk stabil atau melakukan hal-hal mundane. Begitu dia merasa jenuh atau kesal, dia akan pergi dari 'perang', termasuk hubungannya dengan Yiu Fai. Dia sama sekali tidak peduli dengan keinginan dan perasaan orang lain. Bahkan ketika ia menangisi kepergian Yiu Fai pun itu hanya karena ia kesepian dan membutuhkan seseorang. Begitu dia menemukan seseorang yang tepat, ia tidak menangisi kepergian Yiu Fai.

youtube.com
 Di sisi lain, Yiu Fai dan Po Wing punya beberapa kesamaan. Mereka orang yang tidak takut untuk menyakiti dan disakiti satu sama lain. Mungkin memang ada sedikit perasaan takut untuk disakiti, tapi perasaan itu tidak diperlihatkan secara kuat. Ketika kebiasaan Po Wing marah karena ia merasa terikat oleh Yiu Fai, Yiu Fai tidak takut dengan amarah yang dikeluarkan Po Wing. Po Wing...well, Po Wing sudah jelas tidak punya rasa takut untuk menyakiti Yiu Fai, bahkan ia tahan diperlakukan dengan kasar setelah ia tinggal di apartemen Yiu Fai.

Chang (Chang Chen) merupakan perpaduan antara Yiu Fai dan Po Wing. Dia senang berkeliling dunia dan berpetualangan, tapi ia tidak melupakan keluarganya dan ia peka terhadap perasaan orang lain. Dia tidak bersikap menghakimi terhadap flaw yang ditunjukkan oleh Yiu Fai.

Technical stuffs

I don't know if it's just me, gue rasa Happy Together punya suasana yang...remang-remang. It's rarely sunny in Happy Together. Gue rasa itu melambangkan hubungan yang tidak pernah fully clear antara Yiu Fai dan Po Wing. Mereka tidak pernah punya hubungan yang stabil dalam jangka waktu yang lama. Pencahayaan yang dim juga bisa berarti bahwa kebahagian yang mereka capai tidak pernah tidak dibayangi-bayangi dengan abuse dan ego. Each of their opinions about their relationship never hits the bull because they never have a clear sight on their relationship. Yiu Fai tidak pernah sadar bahwa ia selalu kembali ke hubungan yang gagal dan Po Wing tidak pernah bersikap dewasa, karena mereka dibutakan oleh secuil kebahagiaan.

Efek hitam putih yang digunakan di film ini sepertinya melambangkan melankolisme dan nostalgia Yiu Fai.  Anyway, applause for Christopher Doyle for the wonderful cinematography.

As usual, lagu-lagu yang digunakan oleh Wong Kar Wai keren-keren semua. Gue personally sih suka lagu penutupnya, yaitu Happy Together oleh The Turtles. Lagu itu memberikan sesendok keceriaan setelah luapan angst di sepanjang film.

Tentu saja film Happy Together tidak akan menjadi film yang spektakuler tanpa Tony Leung dan Leslie Cheung. They convince me that they are one hundred percent gay. Apa yang mereka lakukan untuk meyakinkan gue bukan hanya sekedar ciuman. Namun, Wong tidak merendahkan martabat Happy Together dengan menjadikan film ini 11-12 dengan film porno.    

Leslie Cheung dan Tony Leung outstanding baik sebagai individu maupun pasangan. Tony Leung dengan luar biasa (an understatement) memerankan seseorang dengan watak yang agak reserved, tapi juga passionate dan bisa agresif. Tony Leung memang luar biasa, but Leslie Cheung tops the game. Leslie Cheung secara spektakuler memerankan orang yang flamboyan, childish, egois, tapi tidak takut untuk bermain otot. Dia juga bisa menunjukan dengan sangat baik (another understatement) momen ketika Po Wing lemah dan melankolis.   

Conclusion 

JUST FUCKIN' WATCH IT! 9,7/10

P.S: Kurang disarankan buat orang yang belum nyaman dengan adegan pasangan gay bermesraan. 

 

Jumat, 13 Februari 2015

(Some Kind of) Short Reviews: The Bicycle Thieves; Nebraska; and The Grand Budapest Hotel

 
Berhubung gue sibuk banget dengan urusan rumah tangga sama Benedict Cumberbatch sekolah, gue memutuskan untuk nulis review-review pendek dari beberapa film yang baru gue tonton.  Filmnya gak ada yang benar-benar baru sih karena gue gaptek dan bokekTapi daripada gue gak nulis sama sekali, mendingan tulis aja (?)

SPOILER ALERT!!!

The Bicycle Thieves / Ladri di biciclette (Vittorio de Sica, 1948)


The Bicycle Thieves adalah film terkenal dari aliran Neorealisme Italia.  Film ini disutradarai dan ditulis oleh Vittorio de Sica. Film yang dibintangi oleh Lamberto Maggiorani ini menyoroti kemiskinan yang dialami Italia setelah Perang Dunia II.

Antonio Ricci (Lamberto Maggiorani) berusaha keras untuk menafkahi keluarganya.  Keluarga kecil Antonio terdiri dari istrinya, Maria (Lianella Carell), putranya, Bruno (Enzo Staiola) serta bayi kecilnya.  Suatu hari, Antonio berhasil mendapatkan pekerjaan dengan syarat ia harus mempunyai sepeda.  Ia dan istrinya menjual beberapa barang mereka untuk membeli sepeda mereka yang sudah ada di pawn shop.  Namun baru satu hari Antonio bekerja, sepedanya sudah dicuri orang lain.  

Seperti yang sudah saya katakan, film ini menyoroti kemiskinan yang terjadi di Italia setelah Perang Dunia II.  The Bicycle Thieves menunjukkan penontonnya bagaimana hidup sebuah keluarga bergantung pada suatu barang namun mereka bukan satu-satunya keluarga yang memerangi kemiskinan.  Orang sudah miskin dicuri, tapi karena dia dicuri, dia harus mencuri juga.  Alangkah ironisnya jika orang yang ia curi orang miskin juga, karena ini hanya mengakibatkan siklus yang tidak kunjung selesai.  Selain menyoroti kemiskinan, The Bicycle Thieves juga memperlihatkan dinamika hubungan ayah dan putra yang desperate.  Menyedihkan sekali bagaimana sang anak masih bergantung pada ayahnya, namun ketergantungan itulah yang menyebabkan sang anak hampir kehilangan ayahnya.  Selain plot yang menabjubkan, tidak ada aktor yang berakting jelek di film ini.  

Maggiorani dengan hebat membawa sosok yang desperate, tegas, namun seorang family-man.  Ia bisa menjadi keras dan pushy, tapi ia juga bisa bersenang-senang dan menjadi kepala keluarga yang pantang menyerah.  Enzo Staiola sendiri tidak kalah hebat.  Aktingnya terasa raw dan tulus, terutama pada adegan terakhir.  Staiola dan Maggiorani tidak hanya baik sebagai individu, tapi mereka juga mempunyai chemistry yang sangat mengesankan.  Overall, The Bicycle Thieves adalah film yang mampu membuat penontonnya untuk merefleksikan keputusan yang mereka sudah atau akan lakukan. 10/10    

Nebraska (Alexander Payne, 2013)


Alexander Payne kembali dengan tema keluarga pada 2013 dengan film berjudul Nebraska.  Tidak seperti ketiga film sebelumnya, Nebraska tidak ditulis oleh Payne sendiri melainkan oleh Bob Nelson, yang mendapat nominasi Best Origina Screenplay pada Academy Award ke-86.

Meskipun Woody Grant (Bruce Dern) adalah seorang pemabuk dan delusional, anak bungsunya, Davey (Will Forte) sangat peduli kepadanya.  Woody yang percaya ia baru saja memenangkan satu juta dollar, terobsesi untuk pergi ke Lincoln, Nebraska.  Istrinya, Kate (June Squibb), dan putra tertuanya, Ross (Bob Odenkirk) tidak merestui keinginannya.  Namun Davey yang melihat hal ini sebagai hal yang bisa membangkitkan gairah ayahnya setuju untuk mengantarkan Woody ke Lincoln.  Sayangnya di perjalanan, Woody terluka.  Ia harus singgah di rumah saudaranya.  Disana, Woody bertemu dengan orang-orang yang dulu merupakan bagian dari hidupnya.

Second half-nya Nebraska penuh dengan perbincangan mengenai masa lalu Woody.  Ini sepertinya berkaitan dengan komentar Kate mengenai Woody yang tidak pernah memperhatikan keadaan di sekitarnya.  Hal ini mengingatkan kita bahwa tempat yang kita tinggali sekarang mungkin bisa saja menjadi tempat yang nanti hanya berisi memori.  On the dark side, I think Woody had it too easy.  Sure, his wife can be a bitch, and his relatives are punch-worth, tapi ia mempunyai putra yang supportive dan toh pada akhirnya keluarga intinya mendukung dia.  Akan lebih bagus jika ada kontras dimana ada seorang lansia yang tidak punya keluarga yang mempermudah hidupnya.  Nebraska tidak hanya mempunyai plot yang menyenangkan, aktor-aktornya pun sangat lihai dalam memerankan masing-masing karakter dan mempunyai chemistry yang indah di antara mereka.  Overall, Nebraska adalah film yang lucu, hangat, dan engaging. 8/10

The Grand Budapest Hotel (Wes Anderson, 2014)


Why oh why gue gak nonton nih film dari awal.....*jedotin kepala ke lemari*

Setelah sukses dengan Moonrise Kingdom, Wes Anderson kembali dengan film yang tidak kalah menariknya, The Grand Budapest Hotel.  Film yang hits sekali di tahun 2014 ini telah menerima banyak pujian dari kritikus film.

Grand Budapest Hotel mungkin adalah hotel terhebat di Budapest pada tahun 1930an.  Sang pengelola, Gustave H (Ralph Fiennes) merupakan sosok yang perfeksionis dan menomorsatukan setiap tamu Grand Budapest Hotel.  Ia akan melakukan apa saja untuk tamu-tamunya.  Apa saja.  Zero (Tony Revolori) hanyalah lobby boy yang keluarganya baru saja dieksekusi.  Meskipun Zero hanyalah pegawai baru, kesetiannya pada Gustave terbukti saat Gustave dipenjara karena diduga membunuh salah satu regular guest-nya.

Sumpah, gue nyesel banget gak nonton film ini dari awal, karena filmnya super keren.  Gue cuma punya satu pengalaman dengan om Wes Anderson (Moonrise Kingdom) itu pun gue cuma nonton setengah karena gue ketiduran, haha.

The Grand Budapest Hotel mempunyai aspek visual yang indah, iringan musik yang sejalan dengan film, plot yang witty, and last but not least, jajaran aktor yang sangat hebat.  Gue tidak melihat adanya kekurangan dalam film ini walaupun harus gue akuin film ini terlihat agak pretensius dan typical indie film.  Dibalik kelucuan dan kemewahan The Grand Budapest Hotel, ada sedikit kegelapan dan melankolis pada film ini.  Madame D mungkin tipikal orang setengah baya, tapi bukankah sedih juga jika keluarganya (termasuk anaknya sendiri) datang ke pemakamannya hanya untuk mendapatkan warisan?  Zero yang dewasa juga dengan blak-blakan menceritakan kematian Agatha (Saosoire Ronan) dan tuannya sendiri, Gustave.  Ia melakukan itu seolah-olah ia tidak ingin merusak masa-masa bahagia yang ia alami bersama mereka.  Kematian mereka memang tidak dibahas secara mendalam, tapi kematian mereka tetap menimbulkan perasaan pahit dan sedih pada gue.  

Gue rasa ada alasan mengapa saat-saat terakhir Gustave justru diberikan warna hitam-putih.  Mungkin karena jika kita hanya melihat Gustave yang membela Zero kita akan langsung menilai bahwa Gustave adalah seorang saint atau noble.  Atau jika kita ingat bagaimana Gustave bisa apatis terhadap nasib keluarga Zero, kita akan langsung menilai Gustave sebagai antagonis.  Padahal pada akhirnya, Gustave bukanlah sosok yang bisa diberikan warna hitam atau putih saja.

Overall, no words can describe my love for The Grand Budapest Hotel. 10/10             

Rabu, 05 November 2014

In the mood for love

filmaffinity.com
In the mood for love merupakan bagian kedua dari trilogi informal Wong Kar Wai dan juga karya yang paling terkenal dari sang sutradara.  Film ini memenangkan berbagai penghargaan, bahkan sampai dinominasikan Palme D'Or, yang notabene salah satu penghargaan film bergengsi.  Meskipun film ini tidak mendapat Palme D'Or, Tony Leung berhasil mendapat penghargaan Best Actor di Cannes Film Festival.  Film berdurasi 98 menit ini mengajak penonton untuk melihat kehidupan baru Li-zhen dari Days of Being Wild.

Li-zhen (Maggie Cheung) pindah ke sebuah apartemen di hari yang sama dengan Chow Mo-wan (Tony Leung).  Suami Li-zhen sering pergi ke luar negeri sedangkan istri Mo-wan sering lembur.  Meskipun pemilik kedua apartemen sering bermain mahjong bersama, baik Li-zhen dan Mo-wan lebih menyukai untuk sendiri saja.  Li-zhen dan Mo-wan sering makan malam di tempat yang sama, namun mereka biasanya hanya saling menyapa.  Lama-kelamaan, keduanya berinteraksi dan sering bertemu.  Dalam salah satu pertemuan mereka, mereka membahas kecurigaan bahwa suami-istri mereka saling berselingkuh.

SPOILER ALERT!

screenmusings.org

The Affair
 Biasanya dalam film-film perselingkuhan, penonton akan melihat adegan-adegan hot, dilema pada orang-orang yang berselingkuh, dan 'the helplessly-betrayed people'.  Biasanya orang-orang yang dikhianati dtampilkan sebagai orang yang plain, datar, membosankan, mainstream, dll.  Mereka juga korban yang tak bisa mengontrol keinginan dan perasaan pasangan mereka.  Tapi Li-Zhen dan Mo-Wan bukanlah korban.  Mereka 'membrontak' in their own ways.  Mereka tidak mengikuti ekspektasi orang.  Alias, mereka tidak membalas pasangan mereka dengan ikut berselingkuh.  Li-Zhen dan Mo-Wan justru membalas dengan berpegang teguh dengan moral dan etika yang mereka punya.  Meskipun Li-Zhen dan Mo-Wan jarang mengekspresikan rasa sakit dan iri hati, mereka menyalurkan perasaan negatif itu dengan trying hard to not stoop as low as each of their spouses.  Dengan melakukan hal itu, mereka seolah-olah meyakinkan diri mereka bahwa mereka masih punya moral dan etika.  

Namun seperti manusia biasa, toh mereka tidak bisa sepenuhnya lepas dari godaan.  Ada kalanya mereka jatuh kepada godaan itu, entah sadar ataupun tidak.  Ketika mereka sadar, mereka akan menarik diri mereka, terutama Li-Zhen.  Tapi ada kalanya mereka benar-benar tidak bisa menahan godaan itu sehingga mereka mencari-cari suatu dalil.  Mereka meyakinkan diri mereka bahwa tidak apa-apa mereka bertemu di malam hari secara sembunyi-sembunyi karena mereka kesepian.  Tidak apa-apa mereka bertemu di suatu hotel karena mereka mendiskusikan sesuatu.  Itu yang membuat gue mempertanyakan sesuatu: apa yang membuat suatu perbuatan dikatakan perselingkuhan?  Agak lucu bagaimana Li-Zhen dan Mo-Wan pergi ke hotel tapi mereka tidak melakukan apa-apa kecuali berdiskusi.  Walaupun mereka tidak melakukan hal intim, apakah mereka sudah bisa dikatakan berselingkuh? 

Some things that I don't understand

Gue bertanya-tanya apa yang didapatkan Li-Zhen dan Mo-Wan dari 'pemberontakan' mereka.  Li-Zhen dan Mo-Wan tidak terlihat bahagia dan puas bagi gue.  Mereka tidak memenangkan apa-apa dari 'pemberontakan' mereka.  Toh pasangan mereka kurang-lebih tidak peduli dengan mereka.  Jikalau mereka 'menang', apa yang bisa mereka rayakan jika tetangga dan teman mereka tidak mengerti perjuangan mereka untuk menjadi orang baik?  Memang jika Li-Zhen dan Mo-Wan mengambil resiko lebih tinggi pada affair mereka, ada kemungkinan besar mereka akan digosipkan - bahkan dijauhi - oleh masyarakat.  Di sisi lain, masyarakat tidak peduli dan kurang tertarik pada orang-orang 'baik'.  I think it's like a double-edged sword.  When you're bad, people talk shits about you.  When you're good, people just don't care.   

knockedover.wordpress.com

Gue juga bertanya-tanya apakah benar-benar ada cinta di antara Li-Zhen dan Mo-Wan atau tidak.  Mereka tidak pernah benar-benar passionate atau into each other ketika bersama.  Memang orang yang jatuh cinta tidak harus benar-benar terlihat sedang jatuh cinta.  Tapi agak susah melihat cinta yang ditunjukan secara subtle.  Mereka lebih terlihat seperti orang asing yang kesepian dan memiliki beberapa hal yang sama.  There's a bond or some fondness, but I'm not sure whether it's romantic or not.  

Angkor Wat    

Selain adegan 'latihan' Li-Zhen dan Mo-Wan, adegan kesukaan gue yang lain adalah adegan di Angkor Wat.  Adegan itu terasa emosional dan indah bagi gue.  Words just can't describe what I think and feel for that scene.  Mungkin karena gue mengerti bagaimana rasanya punya rahasia yang ingin sekali lo ceritakan, tapi lo juga takut reaksi orang terhadap rahasia itu.  Tapi tetap aja lo ingin menceritakan rahasia lo.  Adegan di Angkor Wat cukup berhasil mengekspresikan perasaan itu.  Angkor Wat sendiri merupakan tempat yang indah, apalagi ditemani sinematografi dan musik yang cakep.  Seriously, words can't describe this scene (in my opinion). 

Other stuffs

Sesuai dengan judul filmnya, Wong Kar Wai berusaha untuk mendorong penonton untuk terhanyut dalam situasi dan nuansa yang romantis dan melankolis dalam In the mood for love.  Longing gaze antara Leung dan Cheung merupakan unsur utama dalam pembangunan situasi-situasi tersebut.  Warna-warna yang digunakan juga cocok sekali untuk membangun mood romantis.  Film ini lebih kuat dalam hal visual daripada dialog and I usually really hate those kind of films. Lagu-lagu yang digunakan juga bagus-bagus banget dan ikut membangun mood dan emosi.  Gue baru tahu kalau lagu Bengawan Solo dinyanyikan dengan bermacam-macam bahasa, termasuk cantonese.  Selain Bengawan Solo, banyak lagu-lagu traditional pop lainnya.  Anyway, two thumbs up for the clothes designer!  Baju-bajunya Li-Zhen modis banget dan cocok dengan figur tubuhnya Maggie Cheung!

Overall

In the mood for love bukanlah tipikal film perselingkuhan.  Film ini justru menunjukkan betapa berat dan susahnya untuk memegang etika dan etiket yang ada dengan teguh.  Kadang-kadang kita tidak mendapatkan apa-apa atas perjuangan yang kita alami.  Wong Kar Wai tidak memberikan banyak dialog di film ini, namun sinematografi dan musik yang ada bisa menggantikan kekurangan dialog tersebut.  Tapi karena kurangnya dialog dan konflik, beberapa orang mungkin akan menganggap film ini membosankan.  I'm not into this kind of arthouse, but In the mood for love is good enough for me. 8,5/10

Kamis, 28 Agustus 2014

The Kings of Summer

...and be our own man. -Joe Toy
cinemaforensic.com
I love coming-of-age films.  I don't experience the best in my high school and junior high school, but I really enjoy coming-of-age films.  Apalagi kalau yang main cowok-cowok ganteng, bisa jadi waktu fangirling dah.  Sayang nih pelem kagak ada cowok ganteng kayak Leo di Basketball Diaries.

The Kings of Summer merupakan film coming-of-age, komedi, dan drama tahun 2013 yang sempat nangkring di Sundance Film Festival.  Film ini disutradarai oleh Jordan Vogt-Roberts dan ditulis oleh Chris Galletta.  Film berdurasi 94 menit ini mendapat respon yang cukup positif dari para kritikus film.

Joe Toy (Nick Robinson) merasa sumpek dengan kelakuan ayahnya, Frank (Nick Offerman) yang dirasa terlalu mengontrolnya.  Di sekolahnya, Joe juga mengalami bullying, bahkan ia dipermalukan di depan gadis yang ia taksir, Kelly (Erin Moriarty).  Teman Joe, Patrick (Gabriel Basso) juga merasa tertekan oleh sifat orang tuanya yang aneh dan anggapan mereka bahwa Patrick masih anak kecil.  Ketika emosinya memuncak, Joe merencanakan untuk membangun sebuah rumah di dekat hutan.  Joe mendapatkan ide lokasi rumahnya setelah ia 'berjalan-jalan' dengan Biaggio (Moises Arias), seorang bocah eksentrik.  Mereka bertiga setuju untuk membangun rumah secara diam-diam dengan peralatan dan perlengkapan seadanya.  Setelah rumah itu selesai, mereka segera meninggalkan orang tua mereka dan hidup di tengah alam.

emptykingdom.com
Kalau dari segi cerita, entah kenapa film ini mengingatkan gue dengan My Neighbor Totoro.  Mungkin karena kedua film ini latar tempatnya tuh di hutan dan kurang mengandalkan konflik dan tensi.  Memang ada beberapa konflik, tapi konflik-konflik itu diperlihatkan dengan kurang intens dan penyelesaiannya cenderung cepat.  Sebagian besar film diisi dengan keseharian dan petualangan mereka di hutan, sama seperti film My Neighbor Totoro.      

The Kings of Summer juga agak berbeda dengan film coming-of-age lainnya.  Film ini tidak membicarakan first kiss, losing virginity, bullying, status quo, dan hal lainnya secara intens.  Malah hal-hal itu boleh dibilang menjadi side story saja.  Galleta menuliskan cerita tentang tiga orang remaja yang memaksa diri mereka untuk dewasa.  Joe, Patrick, dan Biaggio 'mewakili' remaja-remaja yang sudah tidak tahan lagi untuk pergi dari rumah mereka.  Mereka hanya berfokus pada kebebasan yang ditawarkan di luar rumah.  Mereka lupa bahwa jika mereka sudah di luar rumah, mereka tidak bisa lagi bergantung pada orang tua mereka.  Seiring berjalannya waktu, Joe, Patrick, dan Biaggio sadar bahwa no parents dan kebebasan tidak seenak yang mereka kira.  Mereka harus berjuang lebih keras tanpa orang tua mereka walaupun mereka belum dewasa.  Usaha mereka untuk menjadi pria akhirnya sia-sia karena pada dasarnya mereka masih remaja dengan sedikit pengetahuan dan pengalaman.

SPOILERNYA MULAI YAAA

filmsandpies.blogspot.com

Gue cukup menikmati petualangan-petualangan yang mereka bertiga alami.  Sayang petualangan itu harus diakhiri dengan cinta segitiga yang klise dan pengen bikin gue muntah.  Bitch please, even The Breakfast Club didn't do love triangle stuff.  Tapi di sisi lain, cinta segitiga ini justru memperlihatkan sisi realistis persahabatan: your best friends don't always sacrifice and or stick for you.  Hollywood sangat sering memperlihatkan kita sahabat-sahabat yang too nice and too selfless while not all of us are blessed with that kind of best friend.      

I don't know about you, but I don't like the actors.  Bukan karena mereka gak ada yang seganteng Judd Nelson kok, tapi mereka memberikan aura awkward di sepanjang film.  Pokoknya gue merasa canggung lihat akting mereka, apalagi aktingnya si Nick Offerman, yang gak bisa meyakinkan gue kalau dia tuh lagi khawatir atau marah.  Beberapa blogger film memuji aktor-aktornya, tapi gue tetap merasa canggung nonton mereka akting.  Kalau dari segi individual aja udah awkward, apalagi waktu berinteraksi dengan tokoh lainnya kan?  Di film ini, ceritanya sih Patrick dan Joe udah temenan dari kecil.  Tapi gue rasa mereka bukan temen sejak kecil, melainkan temen dari SMP yang suka bercanda, bukan yang deket-deket banget.  Sebenarnya gak apa-apa sih kalau ceritanya Joe dan Patrick tuh baru deket waktu SMA, tapi di film ini Joe dan Patrick sudah temenan dari kecil dan Nick Robinson serta Gabriel Basso tidak bisa menunjukkan bahwa they've been pals since they used diapers.

Hal terbaik dari film ini jelas sinematografinya.  Gue suka banget pewarnaan yang digunakan di film ini.  Latar hutan dengan pepohonan rindang melakukan duet yang harmonis dengan sinematografi film ini.  *komen gue hiperbola ya*  Ada juga beberapa adegan slow motion yang gue personally kurang suka, tapi keren juga sih.  Namun, gue kurang suka jenis musik yang digunakan di film ini.  The music is too modern and edgy for me.  Gue pribadi bakalan lebih suka kalau film ini pake lagu-lagu alternative atau rock tahun 80an sampai 90an.

Overall, the film is pretty forgettable for me because the film is not as fun and passionate as I expected.  The story has some messages, but story with less enormous conflict is not everyone.  Oh, the jokes are as fresh as Stewart's acting in Twilight.  I only like the jokes that are told by Joe's dad.  6,7/10  


Sabtu, 16 Agustus 2014

Submarine (2010)

I often imagine how people would react to my death. -Oliver Tate
dwhs.co.uk

Submarine merupakan film coming-of-age, komedi, dan drama tahun 2010.  Film ini disutradarai dan disutradari oleh Richard Ayoade.  Film ini diadaptasi dari novel yang berjudul sama yang ditulis oleh Joe Dunthorne.  Film berdurasi 97 menit ini diputar di berbagai festival film dan mendapat respon yang positif dari para kritikus film.

Oliver Tate (Craig Roberts) suka sekali menyendiri karena menurutnya dengan menyendiri ia mempunyai waktu untuk merenungkan berbagai hal.  Suatu hari, Oliver mendorong Zoe, seorang korban bully ke genangan airDihantui rasa bersalah, Oliver menulis surat untuk Zoe.  Ternata ia tertangkap basah oleh Jordana Bevan (Yasmin Paige), seorang gadis yang juga tidak populer seperti Oliver.  Jordana memeras Oliver dengan menyuruh Oliver untuk membawa kamera dan diarinya ke suatu tempat.  Ketika mereka bertemu, Jordana langsung mencium Oliver sambil memfoto momen itu.  Ternyata, Jordana melakukan itu untuk membuat mantan pacarnya cemburu.  Namun rencana itu malah backfire dan membuat Oliver menjadi pacar Jordana.

Di saat yang sama,orang tua Oliver yaitu Lloyd (Noah Taylor) dan Jill (Sally Hawkins), mengalami perguncangan dalam pernikahan mereka.  Pernikahan mereka semakin terguncang ketika Jill menghabiskan waktu dengan cinta pertamanya, Graham (Paddy Considine).  Oliver berpikir keras untuk menyelamatkan pernikahan orangtuanya sekaligus menghibur ayahnya.  Namun permasalahan Oliver bertambah ketika ibu Jordana terkena kanker.  

SPOILER ALERT!

randomlifeblog.com
I didn't expect much from Submarine.  Gue kira Submarine tuh jenis film sok quirky dan cute, penuh percakapan sok filosofis, and that's it.  Ternyata gue salah.  

Joanna, Oliver, and the relationship between them

Hal yang gue kurang suka dari tokoh-tokoh quirky tuh betapa jarangnya mereka menunjukkan empati dan terkadang mereka terlalu disconnected dengan dunia sekitar mereka.  Oliver tuh tokoh yang quirky, tapi dia masih mampu untuk menunjukkan bahwa dia masih terhubung dan peduli dengan realita di sekitarnya.  Hal itu ditunjukkan bagaimana ia berusaha untuk menyelamatkan pernikahan orang tuanya dan surat permintaan maafnya untuk Zoe.  Sama seperti tokoh quirky lainnya, Oliver mengalami kesulitan dalam mengelola emosinya.  Oliver berusaha untuk dekat dengan Jordana secara emosional dan fisik, namun Jordana menolak usahanya.  Namun ketika Jordana yang melakukan hal-hal itu, Oliver justru menolak usaha Jordana karena ia berpikir bahwa Jordana menjadi semakin sensitif dan emosional.  Hal paling disturbing yang pernah dipikirkan Oliver tuh ketika ia mendapat ide untuk membunuh anjing Jordana dengan tujuan 'menyiapkan' sang pacar untuk kematian ibunya.  Dude, it's fine if you're quirky or neurotic, tapi gak segitunya juga.

Jordana sendiri juga bisa menunjukkan bahwa dia masih connected dan peduli dengan dunia sekitarnya.  Ini ditunjukkan lewat bagaimana ia tidak ragu-ragu untuk menghibur ayahnya yang sedang menangis.  Gue rasa Jordana agak takut untuk emotionally attached atau benar-benar peduli dengan seseorang di luar keluarganya.  Karena itu ia bersikap agak dingin dengan Oliver di awal film.  Hal yang gue suka dari Jordana adalah bahwa alasannya untuk marah dan putus dengan Oliver tuh jelas.  Cewek mana yang gak marah kalau pacarnya tuh lupa janjinya terus gak melakukan komunikasi selama berhari-hari?

Gue memperhatikan bahwa Jordana dan Oliver tidak pernah bertukar kata cinta atau bahkan memuji satu sama lain.  Hal ini membuat gue tidak keberatan dengan kecepatan hubungan antara Jordana dan Oliver.  Ini juga membuat hubungan antara Jordana dan Oliver bukanlah hubungan quirky yang pretensius.  Yang terjadi di antara mereka hanyalah sparks dan ketertarikan.  Awalnya, mereka tidak ingin melibatkan perasaan atau hal-hal romantis yang berlebihan, karena mereka hanya menginginkan kesenangan dan easy relationship.  Hubungan mereka memang pada akhirnya tambah serius, namun peningkatan keseriusan dalam hubungan mereka tidak meroket mendadak.  Tidak ada pula hal-hal cengeng dan angst yang berlebihan pada akhirnya.

sosreelthoughts.com

The Irony

Menurut gue agak ironis bahwa Oliver berusaha menyelamatkan pernikahan orang tuanya sedangkan ayahnya bersikap pasrah.  Ironis juga bagaimana Oliver terlalu berfokus pada pernikahan orang tuanya sehingga hubungannya dengan Jordana malah berantakan.  Keironisan ini sepertinya bisa me-mislead penonton, karena dua kasus ini berakhir bahagia and I think that fact is too good to be true.  Keironisan ini juga menunjukkan sifat manusia yang ingin mengontrol atau memperbaiki kehidupan orang lain tanpa menjaga kehidupannya sendiri.

Technical Stuffs   

Sinematografinya cute dan bagus banget, as expected from music video director.  Latar tempat yang indah juga mendukung sekali sinematografi dan visual stuffs di film ini.  Latar tempat yang gak romantis pun akhirnya jadi romantis gara-gara film ini.  Gue suka banget bagian dimana Oliver membayangkan bagaimana jika kehidupannya difilmkan dan juga seandainya kematiannya diberitakan di televisi.  Ketika aktor berbicara dengan background berwarna hitam, gue jadi teringat film Le Gai Savoir.  

Terima kasih untuk siapapun yang milih Alex Turner dan Andrew Hewitt untuk mengurus departemen musik di film ini.  Gue tertarik nonton film ini gara-gara nonton fanmade video Stuck on a Puzzle.  Lagu itu lagu favorit gue dari album soundtrack Submarine.  Intronya yang unik dan sangat menghantui langsung membuat gue muterin tuh lagu jutaan kali.  Sebenarnya lagunya bagus semua dari tuh album.  Gak ada lagu yang gue benci dari awal film sampe ending credit.

Aktingnya bagus.  Gak ada aktor yang spektakuler dari Submarine, tapi semua aktor mampu memerankan tokoh masing-masing dengan natural.  Aktor terbagi gue sih Yasmin Paige karena tokohnya mempunyai berbagai dimensi.  Dimensi yang bermacam-macam inilah yang membuat Paige memperlihatkan kemampuannya untuk berakting.  Ekspresi yang dibuat Paige juga cukup variatif.  Craig Roberts juga berakting dengan natural, namun ekspresi wajahnya cukup monoton di sepanjang film.  Mungkin emang dari sononya alias skrip film.

Overall, Submarine is more than a cute film and surprisingly is more realistic than the usual quirky movies. 9,2/10   

 

Sabtu, 19 Juli 2014

Chungking Express

I'm no different from a can of pineapple. -He Qiwu
reykissna.blogspot.com

Film Chungking Express merupakan film drama Hong Kong tahun 1994 yang disutradarai dan ditulis oleh Wong Kar Wai.  Film ini merupakan film pertama Wong Kar Wai yang gue tonton.  Film berdurasi 98 menit ini merupakan salah satu karya Wong yang terkenal. 

Chungking Express dibagi dalam dua segmen.  Pada segmen pertama, He Qiwu (Takeshi Kaneshiro) patah hati karena baru saja putus dengan pacarnya.  Ia bersumpah untuk memakan 30 kaleng nanas yang expired pada tanggal 1 Mei jika ia tidak mantan pacarnya tidak menerimanya kembali.  Di suatu bar, ia bertemu dengan seorang wanita misterius (Brigitte Lin) yang memakai wig pirang.  Wanita misterius itu merupakan seorang drug dealer yang ditipu oleh pekerjanya.  Untuk mengusir rasa kesepiannya, He Qiwu berusaha memikat si wanita misterius itu.

Pada segmen kedua, seorang polisi dengan nomor 663 (Tony Leung) berlangganan di suatu snack bar.  Salah satu pekerja snack bar, Faye (Faye Wong), merasa tertarik kepada polisi itu.  Polisi ini baru saja putus dengan pacarnya yang bekerja sebagai pramugari.  Si pramugari sempat menetipkan surat dan kunci apartemen mereka kepada paman Faye, yang juga bekerja sebagai bos.  Faye memutuskan untuk 'menghibur' si polisi dengan diam-diam membersihkan rumahnya dan memberikan suasana baru pada rumah si polisi.  Setiap kali si polisi datang ke rumah, Faye akan bersembunyi.

graffitiwithpunctuation.net
Beberapa orang mungkin memuji adegan pembuka film ini, but frankly, I don't like it.  Adegannya memusingkan dan bikin mata gue sakit.  Gue juga kurang ngerti apa yang ingin disampaikan Wong Kar Wai lewat teknik kamera seperti itu.  Mungkin adegan itu bersifat eksperimental?  Atau mungkin adegan itu melambangkan bagaimana manusia tidak mampu melihat beberapa hal dengan jelas?  Whatever that scene means, that scene made me dizzy.

At first, gue bingung maksud cerita Chungking Express itu apa.  Tapi setelah gue pikir-pikir lagi, cerita film ini simpel kok.  Menurut gue, Chungking Express agak mirip dengan Blue Velvet, karena ada beberapa orang yang gak ngerti cerita dua film ini, padahal kedua film ini ceritanya simpel.  Terkadang, beberapa penonton berpikir kejauhan padahal konsep filmnya simpel.  Cerita dari Chungking Express hanyalah dua polisi yang patah hati lalu menemukan seorang wanita.  


Tokoh yang diperankan Brigitte Lin langsung memikat gue.  Tokohnya Brigitte Lin mempunyai aura misterius dan karisma yang langsung menarik perhatian gue.  Tokoh yang diperankan Brigitte Lin pun juga tokoh yang paling dewasa dalam menghadapi masalahnya.  Ketika ia ditipu oleh pekerjanya, ia tidak melakukan aksi konyol seperti He Qiwu, ia tidak berbicara dengan boneka seperti polisi 663, ia juga tidak bersembunyi dari masalahnya seperti Faye.  Gue memprekdisikan Brigitte Lin sulit untuk mengekspresikan tokohnya karena ia menggunakan kacamata hitam di sepanjang film.  Namun, dia tetap berakting dengan bagus lewat monolog dan dialognya, serta bahasa tubuhnya.

Faye is one of those Manic Pixie Dream Girls.  Gue kurang suka tokoh-tokoh seperti itu, karena mereka terasa pretensius.  Bagi gue, Faye hanyalah boneka quirky.  Dia hanya menghias film ini tanpa tujuan dan sifat yang jelas.

criterion.com

Sedangkan polisi 663 dan He Qiwu layaknya Tom Hansen yang labil gara-gara ditinggal ceweknya.  Secara umum, polisi merupakan orang-orang yang telah melewati latihan untuk menjadi disiplin dan menyelesaikan masalah.  Namun reaksi kedua polisi dalam film ini tidak jauh berbeda dari orang-orang biasa yang sedang patah hati.  Kedua tokoh ini menunjukkan bahwa pada akhirnya, orang sekuat apapun tidak bisa kabur dari efek patah hati.  Tidak semua patah hati membuat kita melakukan hal-hal konyol, tapi patah hati memang bisa membuat kita berantakan dan melakukan hal-hal konyol.

Gue gak mengerti mengapa beberapa orang menganggap Chungking Express sebagai film romance.  Tidak ada emosi atau gairah dalam konteks romance antara empat tokoh utama dalam film ini.  Di cerita pertama jelas He Qiwu hanya mencari wanita untuk menyingkirkan rasa kesepiannya.  Si wanita misterius juga bersikap acuh tak acuh pada He Qiwu.  Sedangkan hubungan antara Faye dan polisi 663 adalah hubungan yang gue sebut sebagai quirky relationship.  Memang ada ketertarikan antara Faye dan polisi 663, namun interaksi antara mereka terasa aneh bagi gue.  Faye mengekspresikan simpatinya pada polisi 663 dengan membersihkan rumahnya.  Namun polisi 663 kurang mengekspresikan perasaannya kepada Faye.  Malah dia masih dibayang-bayangi oleh mantan pacarnya. Selain itu, gue rasa aneh aja kalau lo lebih memilih untuk bersembunyi daripada menghabiskan waktu dengan orang yang lo suka.  Mungkin Faye terlalu malu untuk berinteraksi dengan polisi 663?  Menurut gue, kalau rasa suka lo atau cinta lo kepada seseorang memang kuat, pasti itu mengalahkan perasaan malu lo.  So, apapun yang ada di antara Faye dan polisi 663 hanyalah ketertarikan atau saling naksir.       

Gue suka banget lagu-lagu dari film ini.  Lagu yang paling ngena sih California Dreaming, yang merupakan lagu kesukaan Faye.  Gue juga suka Dreams, tapi lebih suka lagu aslinya yang dinyanyikan oleh The Cranberries.  Sebenarnya sih lagu Dreams yang asli dengan yang di-cover oleh Faye Wong sama persis, hanya beda bahasa.  Di film ini, Faye Wong menanyikan lagu Dreams dalam bahasa Cantonese.

Seperti yang gue tulis sebelumnya, Chungking Express menceritakan kedua polisi yang sedang patah hati lalu menemukan wanita yang mengalihkan mereka dari rasa sakit mereka.  Film ini tidak menceritakan berbagai konflik ataupun memperlihatkan orang-orang yang sedang jatuh cinta.  Chungking Express menceritakan bagaimana takdir atau pilihan-pilihan kita bisa mempertemukan kita dengan orang tertentu when we least expect it.  It's not as great as I expected, but I still recommend it for people who want to see a unique film.  7,5/10