Hello readers! It's been a long time since I'm working on TMP. I've been busy and just not in the mood for writing but I know you do not come here to listen to my life story. Thursday Movie Picks is hosted by Wandering through the Shelves. For further details you can check here. Without further a do, here are the movies I picked for this week's theme, Gangster. Bonnie and Clyde (dir. Arthur Penn, 1967)
Bonnie Parker (Faye Dunaway) caught Clyde Barrow (Warren Beaty) trying to steal his mother's car. But charmed by him, she followed Clyde's world of robbing from small shops to bank. This is actually a romantic film that masqueraded itself as a gangster film. The focus of this story is how Bonnie and Clyde handled being chased by the police and the turbulence in their relationship. Bonnie and Clyde is a lovely film that is elevated by its two leads and their chemistry.
A Brighter Summer Day (dir. Edward Yang, 1991)
Xiao Si'r (Chang Chen) was forced to go to a school full of delinquents as his grades weren't enough to go to a better school. Later, he was caught between the feud of two gangs, Little Park Boys, children of civil servants, and 217s, children of military officers. His life was more complicated when Ming (Lisa Yang), the girlfriend of one of the leaders, came to his life.
A Brighter Summer Day is an exquisite realist film. Edward Yang built his protagonist's world carefully to lead us into a tragic climax.
A Bittersweet Life (dir. Kim Jee Woon, 2005)
Kim Sun-woo (Lee Byung-hun) was assigned to keep an eye for his boss' girlfriend, Hee-soo (Shin Min-ah). He developed feelings for her, and decided to disobey his boss by sparing Hee-soo's life and a man she secretly dated behind Sun-woo's boss. His choice triggered a series of violence events for him.
A bittersweet life is filled with bittersweet music and stunning cinematography. Lee Byung-hun also gave an emotional performance and captured his character perfectly. There is this fluidity I can't explain that didn't make this film rigid.
Bonus: Sunny (dir. Kang Hyung Chul, 2011)
Nami accidentally met an old high school friend, Chunhwa, in a hospital. They re-connected quickly. As Chunhwa's days numbered, she asked Nami to gather their old gang, Sunny. As she reminisced her past, she was taken back to her high school days in the middle of a political era in South Korea.
I was initially going to pick this over Bonnie and Clyde, but I fear that it will not fit the Gangster genre, lol. Although technically, if the definition of gangster is a group of people who do illegal things, this is a gangster movie. Sunny is (mostly) a feel good film that can make you cry, laugh, and looking back at your own teenage years.
Sunny merupakan film komedi drama dari Korea Selatan tahun 2011 yang disutradarai dan ditulis oleh Kang Hyung Chul. Film ini merupakan film dengan pendapatan tertinggi di Korea pada tahun 2011. Sunny juga menerima banyak penghargaan di Korea dan telah mengalami remake di Vietnam dan Jepang.
Sinopsis
Semuanya berawal ketika ImNami (Yoo Ho Jung) tidak sengaja bertemu dengan temannya di SMA, Ha Chun Hwa (Jin Hee Kyung). Pertemuannya dengan Nami serta penyakitnya yang parah membuat Chun Hwa sangat ingin bertemu dengan teman-teman mereka yang lain. Gang mereka disebut Sunny. Beruntung, Nami bertemu dengan salah satu anggota yang lain, Kim Jangmi (Go Soo Hee), setelah mendapat kartu namanya lewat guru SMA mereka. Nami dan Jangmi memutuskan untuk melacak teman-teman mereka dengan menyewa detektif privat. Nami tidak berteman dengan Chun Hwa dan Jang Midari awal. Nami (Shim Eun Kyung) baru saja pindah ke Seoul dari daerah Jeolla-do. Karena aksennya yang kuat dan jelas berbeda, dia menjadi bahan tertawa dan calon bully pemimpin suatu gang, Sangmi (Chun Wo Hee). Chun Hwa (Kang Sora) serta Jangmi (Kim Min Young) dengan cepat mengintimidasi gang lawan mereka. Selanjutnya, mereka mengajak Nami untuk makan siang dan bertemu dengan teman-teman mereka yang lain. Ada HwangJinhee (Park Jinjoo), yang suka berkata kasar, Seo Geum Ok (Nam Bora), anak pintar yang suka memukul orang, Ryu Bokhee (Kim Bomi), yang bermimpi menjadi Miss Korea, serta Jung Suji (Min Hyorin), gadis cantik yang dingin dan misterius.
Courtesy CJ Entertainment, Toilet Pictures, Aloha Pictures
Background and Amateur Analysis Film ini berlatar belakang pada Korea Selatan era 1980an. Kalau berdasarkan lagu yang menjadi soundtrack, maka ini setidaknya tahun 1986. Jika ingin dipersempit lagi, berdasarkan demo besar-besaran yang dilakukan, kemungkinan besar film ini terjadi sekitar June Struggle, sebuah fase gerakan besar-besaran demi demokratisasi Korea. Sebelum terjadi June Struggle, Korea juga mengalami fase gejolak politik yang cukup besar pada tahun 1980 di Gwangju. Munculnya gelombang politik ini salah satu penyebabnya adalah meninggalnya Presiden Park Chung Hee, yang dianggap diktaktor oleh beberapa orang. Salah satu kenalan saya mengatakan kehidupan pribadi di zaman Park hampir tidak ada, dan Korea tidak terekspos dengan budaya pop dunia luar. Bahkan, Park memaksa agar orang Korea untuk menggunakan hangeul saja dan tidak menggunakan huruf mandarin. Meskipun dianggap diktaktor, Park sangat berpengaruh terhadap improvement ekonomi Korea karena ia mendorong industrialisme di Korea. Improvement ini juga yang melahirkan chaebol (boleh dibilang Crazy Rich Korean). Poin terakhir ini mungkin sempat disinggung Sunny ketika kakak Nami menyebut agar ayahnya untuk berhenti bekerja karena atasannya adalah "diktaktor". Ayah Nami langsung membalas selama ia menggunakan uangnya, ia tidak boleh mengeluh soal darimana uang itu berasal. Menurut saya, adegan itu betul-betul menangkap dilema dari "warisan" Park kepada Korea. Ini juga food for thought bagi kita, apakah kita harus menutup asal uang kita atau tidak. Meskipun seklias gang Sunny apolitical, mereka tidak bebas sama sekali dari politik. Hal ini terlihat dari Nami yang tiba-tiba menyebut demokrasi ketika berbicara dengan Suji, dan ketika Sunny melabrak gang lawan di tengah konfrontasi antara aktivis dan tentara militer. Adegan tersebut bukan adegan yang berdarah-darah, namun justru salah satu adegan yang lucu. Salah satu hal yang membuat lucu adalah bagaimana adegan tersebut memperlihatkan bahwa gang war dan perang aktivis-militer itu cukup tipis perbedaannya. Sebenarnya juga bisa dibilang cukup sedih, karena artinya mereka sudah cuek dan terbiasa dengan kekerasan, bahkan sudah tahu cara menghadapinya. Bicara soal kekerasan, Sunny menunjukkan tiga macam kekerasan berdasarkan orang yang terlibat. Pertama, antar golongan/kelompok sosial, kedua peer violence, dan ketiga antargenerasi. Yang pertama tentu saja aktivis-militer, yang kedua perang antar gang. Kekerasan antar generasi boleh dibilang, diperlihatkan mempunyai nuansa yang berbeda di film ini. Jenis pertama dan kedua mempunyai sense of equalness, dimana tidak ada pihak yang takut menyerang, meskipun ada yang kalah dan menang. Namun kekerasan antar generasi digambarkan mempunyai nuansa yang lebih sedih dan kejam. Ketika Sangmi, lawan gang Sunny, dipukul oleh guru mereka, anggota Sunny tidak ada yang cuek, bahkan ikut merasa iba. Begitu juga ketika gang Sunny dihukum dan dipukul oleh guru tersebut, mereka menangis dan tidak melawan, bahkan berusaha menghindari si guru. Adegan ini sangat bertolak belakang ketika mereka dengan berani menyerang gang lawan di tengah-tengah keributan antara aktivis dan tentara. Kekerasan antar generasi ini berlanjut ketika Nami, Chun Hwa, Jangmi, dan Jinhee di masa depan menyerang gang yang mem-bully anaknya Nami. Gue kecewa karena mereka tidak ditegur secara keras oleh filmmaker, meskipun mereka ditangkap polisi. Mereka memang tumbuh menjadi orang yang in generally emotionally healthy, dan Nami ibu yang tidak menggunakan kekerasan, tapi bukan berarti mereka tidak segan-segan melakukan kekerasan terhadap generasi muda. Ini menunjukkan kekerasan oleh orang tua dan figur otoritas mereka sangat membekas, walaupun dunia sekarang kurang menolerir hal tersebut. Perang antar gang yang gue ceritain di atas disebabkan karena Nami dikeroyok oleh gang lawan. Meskipun yang diserang cuma Nami, Chun Hwa bersikeras untuk melawan gang tersebut secara bersama-sama. Ini mencerminkan semangat kolektivisme dalam film ini, dan mungkin masyarakat Korea secara umum. Bahkan ada montage dimana makan siang dilewati bersama gang, hampir tidak ada murid yang beridiri sendiri. Suji seklias memang terlihat individualis, namun perlu diingat ia tetap anggota Sunny, dan akhirnya tetap ikut dengan acara-acara gang tersebut. Semangat kolektivisme ini boleh dibilang berlebihan, bahkan mengarah ke hegemonisme, karena hampir semua orang di kelas Nami memakai Nike. Saking risihnya, Nami mengeluh bahwa ia satu-satunya gadis yang tidak memakai sepatu Nike atau tas Nike. Hegemonisme ini juga terlihat dari murid-murid yang mentertawakan Nami karena absennya, dan bagaimana Nami berusaha untuk menghilangkan aksennya agar terlihat seperti gadis Seoul. Nami juga tidak terlihat mempunyai teman dari kelompok lain. Ini memunculkan semacam sense of we vs the rest of people atau Nami adalah gang, dan gang itu adalah Nami. Lagi-lagi ini tercermin oleh konflik aktivis, dimana seakan-akan yang konflik itu hanya aktivis dan tentara. Salah satu orang yang digambarkan "netral" atau tidak berpihak mungkin adalah anggota keluarga Nami, yaitu orangtuanya dan neneknya. Mengingat orang tua Nami tidak setuju dengan posisi kakak Nami sebagai aktivis, ditambahkan tekanan dari pihak kepolisian, kenetralan mereka perlu dipertanyakan. Kenetralan mereka pun sebenarnya terlihat self-serving bagi gue karena mereka mengacuhkan perbuatan anak-anak mereka tanpa memahami konteks serta penjelasan dari mereka. "Kenetralan" mereka bukan karena mereka memang netral, tapi karena mereka tidak mau tahu.
Courtesy CJ Entertainment, Toilet Pictures, Aloha Pictures via modernkoreancinema.com
Kang Hyeong Chul menulis Sunny dengan flow yang lancar dan natural. Mungkin pembukanya terlalu lama dan akan lebih baik jika bergerak cepat ke masa lalu Nami. Kang juga menggunakan teknik maju-mundur dengan begitu baik. Teknik maju mundur yang rapi ini membawa hasil juxtaposition atau perbandingan yang begitu emosional bagi gue. Agak mengingatkan gue dengan hasilnya Blue Valentine meskipun gak sesedih itu, haha.
Mungkin yang gue suka adalah sub-plot Nami dengan cinta pertamanya dia. Bagi gue sub-plot itu walaupun gak jelek, kurang membawa bobot kepada kepribadian Nami maupun persahabatannya. Padahal sudah jelas persahabatan merupakan inti tema Sunny. Durasi sub-plot bisa digunakan untuk menggali lebih dalam hubungan Nami dengan anggota lainnya atau memberikan tambahan "tes" kepada gang Sunny.
Gue gak ada banyak masalah dengan sinematografi serta aktor-aktornya. Mereka secara umum bagus aktingnya dan dapet banget chemistry sebagai grup. Extra kudos buat Shim Eun Kyung (Nami) dan Kang Sora (Chun Hwa). Kang Sora berhasil meyakinkan gue kalau dia memang gang leader dengan karismanya dia selama di film. Yang bikin ngakak juga neneknya Nami sih, lol.
Konklusi
Cerita Sunny memang bukan cerita yang dalam, kompleks, ataupun out of the box. Ia cerita simpel bagaimana seorang gadis hidup di tengah hiruk pikuk politik dan politik di sekolahnya. Namun ia membuktikan bahwa bukan selalu ide yang membuat film itu bagus, tapi cara mempresentasikannya kepada penonton. 9,3/10 (Amazing). P.S: Coba tonton Reply 1988 (drama Korea) kalau lo suka film ini.
The first Korean zombie film. Kira-kira kalimat itulah yang digunakan untuk mempromosikan Train to Busan di bioskop-bioskop luar Korea. Salah satu film box office dari Korea ini sempat diputar di Cannes Film Festival. Film yang disutradarai Yeon Sang Ho dan ditulis oleh Park Joo Suk ini juga akan mendapat prequel animasi yang juga dibuat oleh sang sutradara berjudul "Seoul Station". Kesibukan Seok Woo (Gong Yoo) dalam pekerjaan membuat hubungannya dengan putrinya, Su An (Kim Su An). Merasa bersalah karena tidak membelikan hadiah ulang tahun yang pantas, Seok Woo menuruti keinginan Su An untuk pergi ke Busan mengunjungi ibunya. Perjalanan mereka di KTX mendapat goncangan ketika di zombie mulai muncul di kereta mereka. Seok Woo dan Su An harus bertahan hidup di kereta penuh zombie bersama Sang Hwa (Ma Dong Seok) dan istrinya yang hamil, Sung Kyung (Jung Yu Mi).
indiewire.com
A zombie film with social commentary Saya rasa film zombie atau film blockbuster yang mengandung social commentary atau kritik sosial bukanlah sesuatu yang baru. Namun saya menyukai bagaimana Train to Busan membungkus semua kritik dan observasi sosial secara subtle enough. Film ini juga takes time untuk menunjukkan keberagaman kelas sosial dan background dalam suatu wadah kecil, which is the KTX in this film. Kita bisa melihat bahwa ada tim baseball, sepasang kakak-beradik tua, ayah dan anak, suami-istri, pengusaha, and last but not least, the train crews. Keberagaman kelas dan class privilege dapat terlihat juga. Ada penumpang yang mampu mendapat informasi lebih karena koneksi mereka, sedangkan banyak penumpang yang tidak memiliki akses tersebut. Ini menunjukkan bahwa class privilege bukan sekedar bonus, tetapi juga menyangkut masalah hidup dan mati. Class privilege juga berarti kata-kata anda mempunyai 'berat' lebih banyak daripada orang yang dibawah anda. Sayangnya, orang yag memiliki class privilege juga hanya mau menyelamatkan diri mereka sendiri dan tidak menggunakan privilege tersebut secara optimal. Usage of modern technology Mungkin cara film ini menggambarkan penggunaan teknologi adalah salah satu keistimewaan Train to Busan. Instead of showing cool weapon or research, film ini menunjukkan bagaimana teknologi, specifically communication device, membantu kita dalam mendapat informasi dan menyelamatkan kita dalam propaganda. Ada salah satu adegan yang brief yang menunjukkan bahwa pemerintah berbohong kepada rakyatnya dengan mengatakan bahwa zombie, yes the zombies, are mere protesters who damage public good. Pemerintah di berita-berita juga mengatakan bahwa mereka tidak harus cemas terhadap keselamatan mereka. Untungnya dengan keberadaan internet, ketidakberadaan televisi bukanlah penghalang dalam mendapatkan berita. Tidak hanya berita dalam bentuk tulisan, tapi juga video amatir. Ini mungkin juga yang menyebabkran orang beralih ke internet untuk mendapatkan berita. Ironisnya, meskipun banyak orang yang mengatakan internet lebih rentan terhadap hoax, sumber berita di internet lebih beragam dan membuatnya lebih sulit untuk 'dicuci' oleh pemerintah daripada berita di televisi, yang harus lulus sensor dari pihak pemerintah. Kurangnya senjata yang keren seperti di film World War Z, ataupun senjata pada umumnya, membuat sisi survival dalam film ini lebih kental dan menegangkan. Bayangkan, sudah terjepit pada ruangan yang sempit, kurangnya stasiun untuk berhenti, tidak ada senjata lagi.
*SPOILER ALERT*
Ego vs Comunnity
Maap ye karena gue kurang pintar, gue gak tahu harus menggunakan kata apa selain community, hehe.
Sama seperti kebanyakan film yang mengandung unsur survival and disaster, film ini terus saja memperdebatkan manakah yang akan menyelamatkan kita, mementingkan diri sendiri atau komunitas.
Film ini memang tidak mementingkan sisi scientific layaknya tayangan zombie lainnya seperti The Walking Dead atau World War Z. Tidak ada pembicaraan bagaimana virus tersebut muncul (hanya dijelaskan secara ambigu), bagaimana menemukan obat, bagaimana orang bisa tertular, dll. Karena gue orangnya kurang peduli dengan science and medic stuff, gue tidak memandang itu sebagai kekurangan. Gue malah senang karena hal tersebut membuat penontonnya fokus pada kritik sosial dan drama yang ada di film ini. Salah satu hal yang gue kritik dari sisi scientific-nya adalah film ini kurang konsisten dalam menentukan waktu yang dibutuhkan manusia untuk berubah menjadi zombie.
Seperti yang sudah disebutkan tadi, penyebab munculnya virus memang dijelaskan secara ambigu, tapi penyebab zombie ada dalam kereta sudah jelas. Seorang gadis yang digigit zombie memilih untuk masuk kereta dan menginfeksi orang-orang lain. Seandainya si gadis menerima takdirnya dan tidak menaiki kereta, orang-orang yang dalam perjalanan ke Busan mungkin akan mempunyai takdir yang berbeda.
From this, it can be concluded that while being egalitarian doesn't always benefit us, selfishness is the root of problem.
Sexism
Gue kira setelah maraknya tokoh-tokoh wanita yang kuat seperti Furiosa, Black Widow, dan Michonne, kru Train to Busan mungkin akan sadar menambahkan satu karakter wanita yang kuat akan membuat film ini lebih appealing. Saya hanya bisa menahan kesedihan ketika film selesai dan tidak ada female heroine. Mending sekedar tidak ada female heroine, tapi ada kesetimbangan antara bagaimana tokoh-tokoh pria mati di film ini dengan tokoh wanitanya. Tokoh utama yang pria (setidaknya yang protagonis) mati karena mereka sedang berkorban. Tidak ada yang mati karena sedang lengah atau ceroboh. Tokoh yang wanitanya? Cuih, mereka mati karena sedang lengah, ceroboh, dan ada yang mati karena kebodohan. Tidak ada tokoh wanita yang mati karena sedang berkoban. Wanita yang selamat hanya seorang wanita hamil yang cantik dan seorang gadis kecil. Wanita tua dan wanita yang mengenakan rok pendek tidak selamat. Hal ini mengimplikasikan bahwa wanita-wanita tersebut bisa selamat karena umur, kepolosan, dan kemampuan mereka untuk punya anak. I'm just kinda pissed off that the writer is a fucking coward for not killing the pregnant character and the kid. If they were the ones who got killed, the film would be more interesting.
Other stuff
Setelah membaca salah satu review, gue jadi sadar bahwa tokohnya Gong Yoo bukanlah tokoh tipikal dari film-film zombie. Dia bukanlah Rick Grimer yang punya natural leadership dan tokoh yang masih punya moral dibandingkan let's say Shane. Dia juga bukan Brad Pitt yang punya hubungan baik dengan keluarganya, ataupun akan sukarela menyuntik dirinya dengan penyakit. Instead, he's a selfish bastard who will do anything to ensure the safety of his daughter and him. Yang bagusnya, semua itu ditunjukkan dengan aksi-aksi kecil, bukan dengan menipu salah satu penumpang misalnya.
Antagonis di film ini adalah salah satu pria yang boleh dibilang influential dan punya class privilege. Pria tersebut tidak hanya ignorant, tapi juga outright a more evil bastard than Gong Yoo's character. Sama seperti seorang reviewer yang mengatakan bahwa Lotso dari Toy Story 3 merupakan Woody yang jahat, pria ini boleh dibilang juga versi jahatnya Gong Yoo. Tapi sama seperti Woody yang masih punya sahabatnya, Gong Yoo disini masih punya anaknya.
Aktor-aktornya cukup bagus kok. Kudos for Gong Yoo for having a great comeback. Tapi tokoh yang paling menarik adalah tokohnya si Ma Dong Seok, kocak aja lihat dia anjir, haha. Apakah gue doang yang kurang suka sama aktor ciliknya? Lumayan bagus sih, tapi karena gue udah lihat yang lebih hebat jadi katingnya Kim Su An kurang memberikan impact bagi gue. I can see why Sohee's (ex-member of Wonder Girls) gives mixed reaction though, but it's very clear I prefer Choi Wook Shik to her.
Conclusion
Inilah yang akan terjadi jika lo mencampur makjang (melodrama Korea) dengan Snowpiercer dan The Walking Dead. Penggunaan kereta dan kurangnya space menyebabkan film ini mempunyai nilai plus lebih dibandingkan film zombie lainnya. Sayangnya film ini kekurangan gore dan mempunyai terlalu banyak melowness yang akan membuat beberapa orang get turned off. Also, this 2016 film fails to escape from sexism. 7/10 (good)
P.S: Considering Bong Joon Ho directed both The Host (a monster Korean film) and Snowpiercer, AND, his film is not sappy and has great black humor, I would love to see his version of this film.
The Man from Nowhere atau Ahjussi *yang berarti paman atau mister dalam bahasa Korea* merupakan film action Korea yang disutradarai oleh Lee Jung Bum. Film ini merupakan film dengan pendapatan kotor paling tinggi di Korea Selatan pada tahun 2010. Film ini juga telah memperkukuh karir Won Bin dan start yang kuat bagi aktris cilik Kim Sae Ron. Beberapa adegan dari film ini telah diparodikan oleh sejumlah variety show di Korea Selatan.
Cha Tae Sik (Won Bin) merupakan seorang pria anti-sosial yang mempunyai pawn shop. Tetangganya mengira dia seorang pedofil atau mantan anggota mafia karena sifatnya yang stoic. Satu-satunya orang yang dekat dengan Tae Sik adalah So Mi (Kim Sae Ron). So Mi hidup dengan ibunya yang seorang drug addict. So Mi tidak tahu ayahnya kemana dan karena status ekonominya tidak stabil, So Mi sering mencuri dan di-bully. Meskipun Tae Sik diam dan dingin ketika So Mi datang ke rumahnya, ia tetap mendengarkan dan memberi makan So Mi.
Suatu malam, ibu So Mi (Kim Hyo Seo) mencuri narkoba dari sebuah kelompok mafia yang berbahaya. Kebetulan mafia itu juga sedang diselidiki oleh polisi. Mafia itu akhirnya menemukan rumah So Mi. Mereka menyiksa ibu So Mi dan menculik So Mi. Sebelumnya, mereka membunuh seseorang di rumah Tae Sik. Tae Sik menelpon polisi, namun mereka tidak mempercayainya. Tertekan, Tae Sik setuju untuk melakukan perintah yang diberikan mafia agar So Mi dan ibunya bebas.
Ternyata tugas Tae Sik mengantarkan narkoba ke salah satu klien Man Seok (Kim Hee Won) dan Jong Seok (Kim Sung Oh), mafia yang telah menculik So Mi. Namun Tae Sik malah tertipu karena polisi datang ke tempat klien Man Seok dan Jong Seok. Tae Sik gagal kabur dengan mobilnya dan polisi menemukan mayat ibu So Mi di bagasi mobil, tanpa organ dan kornea mata.
contemplatrix.wordpress.com
I have a love-hate relationship with action films. Gue suka film action macam Kill Bill, Kung Fu Hustle, and even The Matrix. But sometimes I really hate it, karena biasanya di film action Hollywood mereka cuma tembak-tembakan terus tepar. I'm glad that The Man from Nowhere is not an action film with shoot-get-shot-and-die type. Film ini punya estetika visual tersendiri dan adegan-adegan berantemnya lebih seru daripada film-film Hollywood. Pokoknya banyak adegan-adegan yang menurut gue super indah. Salah satunya sih adegan dimana Won Bin adu tatapan dengan Thanayong Wongtrakul di tengah-tengah klub yang ramai. Tingkat kekerasannya juga lebih tinggi daripada pelem Hollywood. Dalam hal visual, The Man from Nowhere agak beda dan lebih bagus daripada film-film action Hollywood.
Sayangnya, hampir semua tokoh-tokoh disini terasa one-dimension dan stereotipikal. Contohnya Cha Tae Sik. Cha Tae Sik tipe tokoh sexy-cold-blooded-East-Asian-guy-who-can-kick-asses. Dingin, seksi, punya keahlian, dan tentu saja punya kenangan buruk yang bisa menjelaskan sifatnya yang dingin. He's not more than that and he's certainly not a complex character. Boleh dibilang sebenarnya Cha Tae Sik ini bukan seorang protagonis tapi seorang anti-hero. Sebenarnya apa sih anti-hero? Anti-hero merupakan tokoh yang mempunyai cara hidup dan berpikir seorang protagonis. Well, hal itu cocok sekali dengan Tae Sik. Tapi gue kecewa karena biasanya anti-hero itu tokoh yang kompleks, tapi Tae Sik malah tokoh yang stereotipikal.
So Mi juga merupakan tokoh yang one-dimension dan stereotipikal. Dia merupakan tokoh dengan tipe a-troubled-child-with-troubled-single-parent. Dia anak yang bermasalah dan...dia mempunyai single parent yang juga bermasalah, wow, sangat mengejutkan *gasp* Gue rasa So Mi merupakan salah satu bagian yang penting dalam hidup Tae Sik karena dia satu-satunya orang yang dapat membuatnya tetap waras.
Gue mendengar banyak pujian untuk aktingnya Won Bin dalam film ini. Bahkan Won Bin mengalahkan Choi Min Sik yang berakting dengan cemerlang di film I Saw the Devil. Tentu gue punya ekspektasi yang tinggi untuk seseorang yang dapat mengalahkan Choi Min Sik. Tapi gue malah dikecewakan oleh Won Bin. Salah satu kesialan mendapat tokoh dengan sifat yang stoic adalah lo gak bisa mengekspresikan emosi dan menunjukkan skill lo ke penonton. Jadi kalau ekspresi dan gestur Won Bin datar melulu, itu sebenarnya wajar karena emang dari sononya begitu. Namun Won Bin diberikan kesempatan lewat beberapa adegan untuk menunjukkan keahliannya sebagai aktor. Gue rasa dia gagal dalam beberapa adegan itu kecuali adegan terakhirnya. Sumpah, adegan terakhirnya itu mengharukan banget. Sayangnya, Won Bin, abs lo gak bisa mempengaruhi pendapat gue soal akting lo. Yup, gue gak terpengaruh sama sekali.
lens-views.com
MUST. STAY. FAITHFUL. TO. SONG. JOONG. KI.
Kim Sae Ron bukanlah Danny Lloyd dari film The Shining dan bukanlah Macaulay Culkin dari Home Alone, tapi kemampuan aktingnya cukup bagus. Won Bin tidak mampu menyentuh hati gue, tapi Kim Sae Ron benar-benar bisa mengambil hati gue di film ini. Adegan yang membuktikan dia bisa akting adalah adegan dimana dia sakit hati setelah Tae Sik tidak mau mengaku sebagai ayahnya. Lalu dia meminta maaf karena dia merasa bahwa dia juga telah mempermalukan Tae Sik. Adegan itu... *brb, ngusir ninja yang lagi motong bawang* Chemistry-nya dengan Won Bin juga pas, mereka tidak terlihat canggung ketika berdua.
Jarang sekali film action mengambil tema persahabatan dengan age gap yang cukup besar sebagai sub-plot. Biasanya mereka mengambil romance atau persabatan yang mungkin diwarnai pengkhianatan. Itu juga yang gue suka dari Ahjussi. Sub-plot ini sukses menyimbangkan segala kekerasan, darah, dan ketegangan yang ada di film ini. Persahabatan antara Tae Sik dan So Mi menciptakan 'hati' untuk film Ahjussi. So, kudos for Lee Jung Bum. Dia pantas mendapatkan penghargaan yang telah dia terima lewat film The Man from Nowhere.
Overall, The Man from Nowhere is a good film with excellent visual and cinematography despite the clicheness in story and characters. I really recommend it to everyone who loves action and South Korean films. But if you hate blood, you should think twice before you watch this film. 8,7/10
Artikel ini bukan tentang lagu yang dinyanyiin calon suami gue alias Nam Woohyun alias Infinite. Nope, The Chaser yang ini merupakan film misteri dan thriller 2008 yang ditulis dan disutradarai oleh Na Hong Jin. Film yang masuk Festival Film Cannes ini juga dinominasikan penghargaan film, bahkan memenangkan beberapa di antara mereka. Film ini mengadaptasi pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh Yoo Young Chul, seorang pembunuh berantai yang juga melakukan berbagai kejahatan selain membunuh. The Chaser sukses dalam segi pendapatan dan juga segi apresiasi, bahkan sampai dibanding-bandingkan dengan film Korea yang legendaris, yaitu Oldboy (2003).
Joong Ho (Kim Yoon Suk) merupakan seorang mantan detektif yang menjadi mucikari. Status finansialnya memburuk saat dua 'pekerjanya' menghilang. Dalam keadaan yang tertekan, ia akhirnya memaksa Kim Mi Jin (Seo Young Hee) untuk melayani salah satu klien, walaupun Mi Jin masih sakit. Saat kembali ke kantornya, ia sadar bahwa klien yang sedang dilayani Mi Jin merupakan orang terakhir yang dilayani oleh dua 'pekerjanya' yang menghilang. Ia menyadarinya ketika ia memeriksa nomor HP klien Mi Jin. Sang klien, Ji Young Min (Ha Jung Woo) ternyata memesan Mi Jin bukan untuk melakukan seks, tapi untuk menyiksanya. Mi Jin yang terperangkap ternyata tidak langsung parah namun memberikan perlawanan. Di tengah-tengah penyiksaan Mi Jin, Young Min diganggu oleh sepasang suami-istri dari suatu gereja. Young Min segera membunuh mereka dengan keji dan kabur menggunakan mobil mereka.
Namun takdir malah mempertemukan Young Min dengan Joong Ho. Joong Ho yang tidak sengaja menabrak mobil Young Min, meminta nomor HP Young Min agar bisa diurus di asuransi. Ia menyadari ada sesuatu yang aneh karena Young Min tidak segera memberikan nomor HP. Apalagi noda darah di baju Young Min membuat Joong Ho semakin curiga. Terjadi kejar-kejaran antara Young Min dan Joong Ho yang berakhir dengan Young Min yang babak belur. Polisi tadinya ragu kalau Young Min memang menjual pekerjanya Joong Ho. Tapi Young Min malah mengaku kalau ia tidak menjual mereka, tapi membunuh mereka. Keadaan di kepolisian menjadi rumit karena pengakuan Young Min bertabrakan dengan insiden Walikota Seoul yang dilempari feses.
Kepolisian mengirim tim forensik ke rumah Mi Jin untuk memeriksa kecocokan DNA dengan darah yang ada di baju Young Min. Di rumah Mi Jin, Joong Ho menemukan Eun Ji (Kim Yoo Jung), putri Mi Jin. Awalnya, Joong Ho merasa terpaksa menemani Eun Ji. Namun seiring berjalannya waktu, Joong Ho malah merasa bersalah dan bertanggung jawab pada Eun Ji.
pic cr: veehd.com
FILM INI LEBIH BAGUS DARIPADA MV THE CHASER - INFINITE *YAIYALAH* TAPI GUE TETEP SETIA SAMA KAMU KOK NAMU :*
Meskipun sama-sama ada unsur thriller sama misteri, The Chaser gak terlalu mirip sama Oldboy. Kalau Oldboy itu misterinya lebih ke arahmengapa-gue-dikurung sedangkan The Chaser lebih kearah misteri pembunuhan. Tapi dua-duanya bagus kok. Mungkin beberapa orang harus bersabar untuk menunggu segala ketegangan dan atau misteri dari film ini. Namun, lama-kelamaan, film ini akan semakin menegangkan.
Film ini bergenre misteri, namun sebenarnya tidak ada lagi misteri yang ditawarkan. Sepanjang film kita akan menonton para polisi dan Joong Ho mengumpulkan bukti yang bisa memberatkan Young Min. Ini agak mengingatkan gue pada film Red Dragon karena penontonnya udah tahu pelakunya, kita hanya mengikuti bagaimana para penyelidik mengumpulkan bukti dan kesimpulan. Anyway, pencarian bukti kriminal Young Min sangat rumit karena Young Min sering mempermainkan polisi, entah itu pura-pura tidak tahu alamat sampai tiba-tiba tidak mau mengakui pembunuhannya di depan seorang pejabat.
Gue gak ngerti kenapa *kayaknya* Kepolisian Korean punya image yang buruk, entah di film ini, Memories of Murders, sampe Miracle in Cell no. 7. Di tiga film ini, para polisi memaksa 'tersangka' untuk mengakui kesalahan mereka atau memberikan semacam bukti atas kesalahan yang mereka lakukan. Emang gak semua film Korea menggambarkan kepolisian Korea seperti itu, tapi hal ini membuat gue bertanya-tanya sebenarnya seberapa buruk atau baik kepolisian Korea. Memories of Murders dan Miracle in Cell no. 7 memaksa 'tersangkanya' hanya untuk cepat-cepat menyelesaikan kasus (walaupun ada sedikit unsur agenda pribadi film MIC7),sedangkan The Chaser penggabungkan antara pemaksaan dan agenda politik.
Gue mau mengadakan sedikit perbandingan antara The Chaser dan Memories of Murders. Kalau Memories of Murders itu lebih emotional dan sinematografinya lebih artistik serta sisi forensik dan krimonologinya cukup kental. The Chaser itu lebih sadis dan menegangkan, sinematografinya artistik juga sih, cuma lebih sering main di sudut pengambilan gambar. Ada salah satu adegan pembunuhan yang menurut gue somehow mirip adegan anime di Kill Bill vol. 1. Tahu kan adegan dimana O-ren Ishii (Lucy Liu) ngumpet di bawah kasur terus ada hujan darah? Nah, kalau di The Chaser, Young Min membunuh salah satu korbannya dengan begitu keji dan tanpa perasaan, tapi Na Hong Jin menggunakan efek slow motion pada darah yang mengalir. Musik pengiringnya juga bagus dan emosional banget. Baik adegan film ini dengan adegan di Kill Bill, keduanya sama-sama sadis, tapi emosional dan indah, sehingga ada semacam ironi dan kontradiksi.
SPOILERNYA BARU DIMULAI SEKARANG KOK
pic cr: obscureandcure.blogspot.com
Film-film Korea Selatan cukup sering menggunakan aktor anak-anak, mulai dari film komedi Speedy Scandal sampe film action kayak Ahjussi (The Man from Nowhere). Well, film The Chaser pun menggunakan aktor anak yang bernama Kim Yoo Jung. I don't know if it sounds cliche or not, tapi kehadiran tokoh Eun Ji yang diperankan oleh Kim Yoo Jung justru menambah kepahitan dan sisi emosional pada film ini. Eun Ji merupakan karakter yang tidak melakukan kesalahan, namun malah ia yang kehilangannya paling besar. Ada salah satu adegan dimana seorang saksi secara gak sengaja memberi tahu Eun Ji kalau ada kemungkinan bahwa ibunya dibunuh. Lalu Joong Ho dan Eun Ji menatap satu sama lain dengan ekspresi terkejut. Gue rasa Joong Ho terkejut karena ia tidak menyangka bahwa si saksi akan mengatakan hal itu di depan Eun Ji. Sekasar-kasarnya Joong Ho, ia tidak mau merenggut harapan Eun Ji, sekecil apapun. Selain itu, juga ada beberapa adegan yang menunjukkan bahwa Joong Ho mau 'menanggung' Eun Ji, walaupun sebenarnya ia tidak bersalah atas kesialan yang menimpa Eun Ji.
Applause for Kim Yoon Suk's performance! Gak sehebat Choi Min Sik di film Oldboy dan I Saw the Devil sih, tapi aktingnya keren banget. Gue suka tokohnya yang mempunyai sifat 'senggol-bacok' dan suka ngomong kotor. Ia mungkin bukan (mantan) detektif dengan gadget keren atau otak yang benar-benar cepat tanggap kayak Patrick Jane ato om Sherlock Holmes, namun ia jelas mempunyai insting seorang (mantan) detektif. Di film ini, Joong Ho jelas seorang anti-hero, bukan protagonis. Joong Ho mempunyai pekerjaan dan prinsip yang cukup berbeda dengan untuk ukuran protagonis. Tapi itu yang membuat gue suka banget sama karakternya, karena ini membuktikkan bahwa walaupun ada orang luarnya tuh sensi kayak cewek lagi PMS ataupun ngomongnya udah kayak abang-abang terminal, dia bukanlah a real jerk.
Gue agak malah agak kecewa dengan penampilannya Ha Jung Woo. Memang ada beberapa permainan psikologis & otak dan aktingnya gak jelek-jelek amat, tapi gue tetap kurang puas dengan penampilannya dia. Entahlah, dia masih belum menyaingi Lee Woo Jin (Yoo Ji Tae) dari film Oldboy (2003). Gue rasa hal ini karena tokoh Young Jin kurang mendapat screentime aja. Tapi di sisi lain, kalau Na Hong Jin memberikan Young Jin lebih banyak screentime, mungkin film ini bakalan lebih panjang dengan adegan yang bertele-tele.
Overall, The Chaser is a film with a balance in art, emotion, beauty, thriller, and violence. 10/10
Menurut wikipedia, Lee Chang-dong adalah salah satu sutradara terkemuka di Korea. Saya belum menonton filmnya yang paling terkenal, yaitu Poetry (2010), dan Secret Sunshine (2007) adalah film pertama Lee yang saya tonton. Film ini meraih berbagai penghargaan film internasional, dan yang paling besar adalah Cannes Film Festival kategori Best Actress untuk Jun Do-yeon. Secret Sunshine juga dinominasikan Palme D'or, salah satu penghargaan film terbesar di dunia. Apa yang menyebabkan Secret Sunshine menerima banyak penghargaan dan pujian?
Film diawali dengan Lee Shin-ae (Jun Do-yeon) yang pindah ke kota Miryang bersama putranya. Shin-ae pindah ke Miryang karena almarhum suaminya yang baru saja meninggal, ingin sekali pindah ke Miryang, kampung halamannya. Di perjalanan, mobil Shin-ae rusak dan harus diderek. Orang yang membantunya adalah warga Miryang sendiri yang bernama Kim Jong-chan (Song Kang-ho). Meskipun Shin-ae tidak terlalu memperhatikan Jong-chan, Jong-chan bersikeras untuk membantu Shin-ae dan anaknya. Shin-ae memulai hidupnya dengan membuka les piano sambil mencari tanah untuk investasi. Usahanya untuk memulai kembali mengalami kemunduran karena putranya diculik. Tragisnya lagi, putranya tetap dibunuh walaupun Shin-ae telah menyerahkan uang tebusan.
WARNING : MAY CONTAIN SPOILER
I thought Secret Sunshine is another Korean revenge flick. It's also not a very 'sunshine' (happy) movie.
Kadang-kadang saya bertanya apa yang terjadi jika Dae-su (Oldboy, 2003) pasrah saja atas keadaannya, atau jika Geum-ja (Lady Revenge, 2005) tidak memiliki bantuan untuk membalas dendam pada penculik anaknya. Saya rasa Lee Chang-dong memberikan salah satu jawaban lewat Secret Sunshine. Secret Sunshine menceritakan ibu biasa yang tidak mempunyai combat skill, koneksi dengan mantan tahanan, ataupun obsesi dan keahlian yang luar biasa untuk membalas dendam pada pembunuh anaknya. Dia hanya bisa diam, berkabung, dan meneriakkan rasa ketidakadilan atas kematian anaknya. Hanya tiga hal itu yang bisa ia lakukan.
Iman, lebih tepatnya iman Kristiani, menjadi salah satu tema film ini. Untungnya Lee memberikan sedikit latar belakang iman Shin-ae, yang boleh dibilang ateis (tidak percaya Tuhan). Saya sangat menyukai adegan restorasi iman yang dialami Shin-ae, dimana ia menangis keras lalu sang pendeta, tanpa menanyakan apapun, memegang kepalanya dan mendoakannya. Bukan menasihatinya, tapi mendoakannya. Film ini memberikan pesan bahwa ketika kita berusaha untuk lebih dekat kepada Tuhan, beban kita akan lebih ringan dan batin kita akan lebih tenang. Saya senang mendengar beberapa lagu gereja dinyanyikan di film ini, salah satunya versi Korea "Sebab Dia Hidup", walaupun hanya sebentar. Film ini tidak hanya berbicara restorasi dan kekuatan iman, tapi juga menceritakan pergulatan iman yang bisa terjadi dimana saja, termasuk dimana saja. Lee Chang-dong menunjukkannya dengan cara yang unik. Ketika seorang pendeta sedang berdoa atau mungkin berkotbah, Shin-ae mengacaukan audio system dan memutar lagu yang bercerita tentang kebohongan. Bisa dilihat ada beberapa jemaat yang berdoa lebih keras (karena takut iman mereka jatuh) dan relawan yang langsung membimbing beberapa jemaat. Serangan bisa terjadi dimana saja, bahkan di tempat dan saat yang sangat tidak terduga.
Entah sengaja atau tidak, Lee memberikan aspek psikologi dalam film ini. Saya menduga Shin-ae mengalami major depressive disorder setelah kematian anaknya dan mengalami bipolar disorder. MDD adalah low mood dan hilangnya keinginan untuk berbahagia yang berkepanjangan, yang biasanya disebabkan oleh pengalaman traumatis psikologis. Salah satu pengalaman traumatis psikologis adalah kematian orang terdekat. Bipolar disorder kira-kira dipicu oleh kenyataan bahwa pembunuh putranya sudah menemukan kedamaian sebelum dimaafkan oleh Shin-ae. Itu membuktikan Shin-ae belum sepenuhnya memaafkan pembunuh putranya, ia ingin agar pembunuh itu menderita dan dihantui perasaan bersalah sebelum dimaafkan oleh Shin-ae. Bipolar disorder terlihat ketika Shin-ae mulai mencuri CD, menggoda suami temannya, mengira putranya masih hidup, sampai tidak sadar telah melukai tangannya.
100 thumbs up for Jun Do-yeon. Dia berhasil sekali mengekspresikan pasang dan surut emosi seorang ibu, yang makin labil setelah ditinggal anaknya. Dia bisa menjadi seorang malaikat dan tiba-tiba menjadi wanita jalang atau wanita yang dingin. Anyway, saya rasa fondasi hubungan ibu-anak di film ini kurang kuat. Cukup, tapi kurang kuat. Saya mempunyai ekspetasi lebih kepada Song Kang-ho, namun mungkin karena perannya yang hanya sebagai karakter pembantu, mempersempit peluang untuk mengeksplorasi dan mengimprovisasi karakternya. Tadinya saya kira dia akan menjadi detektif atas kasus penculikan anaknya Shin-ae, haha.
Untuk sisi teknis, saya kurang menyukai musik temanya, tapi saya menyukai iringan musik lainnya. Film ini menggunakan shaky cam, untuknya guncangan tidak terlalu menganggu. Sepertinya Lee kurang 'bermain' di sisi pewarnaan, sehingga terkadang film ini terasa sedikit plain. Anyway, saya rasa ending-nya yang ambigu memberikan pesan bahwa apapun yang terjadi, ketika kamu masih hidup, maka duniamu tetap akan berputar dan melanjutkan aktifitasnya.
Secret Sunshine tidak menceritakan tentang misteri, tidak juga menceritakan balas dendam yang keji dan berdarah-darah. Film ini bercerita tentang perjalanan batin seorang ibu yang ditinggalkan anaknya dengan sentuhan mentah namun indah, emosional namun tidak lebay. Although there's a depressing atmosphere, it's still a beautiful movie. 9,5/10
Sejak rilisnya film Oldboy (2003), mulai banyak kritikus dan pecinta film yang memperhatikan industri film di Korea Selatan. Sutradara-sutradara seperti Park Chan-wook, Kim Ji-woon, Kim Ki-duk, dan Bong Joon-ho pun menjadi terkenal dan diperhtungkan sebagai sutradara-sutradara dunia yang hebat. Pada 2013, Park Chan-wook, Kim Ji-woon, dan Bong Joon-ho melakukan debut di Hollywood. Stoker, film Park Chan-wook, menerima mix reviews karena plotnya yang tidak memuaskan namun memiliki sinematografi dan teknik visual yang indah. The Last Stand, film Kim Ji-woon, dikritik karena Kim Ji-woon terlalu meng-hollywood-sasikan (saya bahkan gak tahu kalau kata itu benar, haha) filmnya. Lalu bagaimana dengan Snowpiercer, debut Hollywood dari Bong Joon-ho?
Snowpiercer diadaptasi dari komik Perancis yang berjudul Le Transperceneige. Snowpiercer menceritakan keadaan bumi di masa depan yang dingin. I really mean it. Spring, summer, and fall sudah lama tidak menyapa bumi. Seorang pria bernama Wilford (Ed Harris) mendirikan sebuah industri kereta dimana rel dari tiap-tiap negara tergabung dan kereta tidak akan berhenti selamanya. Ada tiga kelas di kereta itu, yaitu : kelas satu yang tinggal di bagian depan kereta api, kelas ekonomi yang tinggal di tengah kereta, dan kelas 'ekor' yang tinggal di kereta itu dengan gratis namun diperlakukan dengan tidak manusiawi. Kaum 'ekor' yang merasa lelah diperlakukan secara tidak adil mulai merencakan pemberontakan yang dipimpin oleh Curtis (Chris Evans) dan Gilliam (John Hurt). Curtis sendiri didampingi oleh Edgar (Jamie Bell). Rencana mereka dibantu oleh sosok misterius yang memberikan mereka surat rahasia di dalam 'balok protein' (makanan sehari-hari mereka). Untuk mencapai bagian depan, mereka membutuhkan bantuan Namgoong Min-su (Song Kang-ho), yang dulu kepala keamanan, namun sekarang di penjara karena ketagihan cronole.
WARNING : MAY CONTAIN SPOILER
Saya belum menonton The Host (2006), jadi saya tidak bisa membandingkan kemampuan Bong di efek visual enam tahun yang lalu dengan sekarang. Snowpiercer memang menyajikan efek visual yang masih agak kasar, namun melebihi ekspektasi saya. Itu untuk EFEK visual. Untuk sinematografi dan setting, saya agak kecewa. Saya berharap Snowpiercer setidaknya menyamai keindahan V for Vendetta atau Oldboy (mengingat posisi Park Chan-wook sebagai produser). Memang banyak adegan-adegan yang indah, tapi saya tetap tidak cukup untuk setidaknya menyamai V for Vendetta ataupun Oldboy. Anyway, Snowpiercer has a nice opening sequence.
Belum lagi gaya editing yang cukup berantakan di awal-awal film. Gaya editing yang digunakan untuk adegan perkelahian di jembatan pun terlalu Hollywood-ish. Tapi saya bersyukur Bong tidak terlalu 'disilaukan' oleh gaya-gaya Hollywood yang sering mainstream dan cukup norak.
Iringan musik yang digunakan cukup minim. Mungkin hal ini yang membuat film ini KURANG memiliki jiwa dan emosi. Yup, kurang, bukan tidak punya. Hal ini juga membuat saya tidak attach secara emosional dengan film ini. Ya, film ini memiliki distopia dan adegan-adegan yang saya sukai, but I'm simply not connected to this movie.
Adegan favorit saya adalah ketika Curtis dkk mengunjungi sekolah 'depan'. Sekolah yang kelihatan bagus dan normal serta dipenuhi anak-anak lucu dan riang itu ternyata sudah mempraktekkan pencucian otak. Anak-anak itu tidak menyadari bahwa otak mereka dicuci dengan ideologi bahwa Wilford adalah orang terhebat. Belum lagi kata-kata 'hipnotis' dimana si guru mengulangi terus bahwa ketika mereka turun dari kereta, mereka akan langsung mati. Ah, sayang sekali saya lupa kata-kata aslinya.
Tilda Swinton jelas yang paling stand out di film ini. Dia berhasil memainkan antagonis yang gila dan sadis, namun setia terhadap pemimpinnya dan ketakutan. Tokoh antagonis cenderung melawan pemimpin -atau mereka pemimpin itu sendiri- dan jarang sekali menunjukkan ketakutan yang eksplisit. Memang Mason (Tilda Swinton) bukan 'aktor' utama politik di dalam Wilford Industry, mungkin untuk yang menyebabkannya menunjukkan ketakutannya secara eksplisit. Mason sendiri mengingatkan saya pada Bellatrix dari serial Harry Potter, dimana mereka menunjukkan kesetiaan, bahkan mungkin kefanatikkan, kepada pemimpin mereka. Mereka tidak menunjukkan ketakutan atau hormat ala kadarnya. Ketika Curtis dkk mencoba untuk menghasut Mason dengan menanyakan apakah Wilford tetap tidak peduli jika tubuh Mason dipotong oleh mereka, Mason tetap membela Wilford. Penampilan Tilda Swinton yang spektakuler begitu memukau dan meninggalkan kesan yang dalam sehingga saya lupa bahwa Mason bukan 'aktor' sesungguhnya. Dia hanya boneka yang diumpankan ke kaum miskin.
Chris Evans tampil dengan membosankan di awal film. Namun seiring perjalanan film, penampilan Evans makin mantap dan mantap, terutama di saat-saat terakhir. Song Kang-ho yang saya harapkan menjadi pusat perhatian malah dibayang-bayangi oleh Evans dan Swinton. Entah dia minder di antara aktor-aktor barat atau karakternya tidak memberikan ruang untuk berimprovisasi. Gaya rambut Song mengingatkan saya pada Oh Dae-su di film Oldboy. Film ini juga memberikan satu refrensi Oldboy (atau mungkin kebetulan) dimana salah satu orang menyarankan Curtis ketika ia bertemu Wilford, langsung saja memotong lidahnya. Ed Harris yang harusnya menjadi 'klimaks' malah tampil kurang mengesankan dan cenderung membosankan. Sesudah Swinton menampilkan antagonis yang hebat, Harris malah tampil membosankan dan membuat film ini sedikit anti-klimaks di pertengahan akhir.
Ketika Curtis dan Wilford berbincang-bincang, Wilford menjustifikasi dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa ia melakukan berbagai ketidakadilan pada kaum 'ekor' untuk menyimbangkan ekologi tertutupnya (kereta). Penjelasan Wilford memang gila dan heartless, but in my crazy sense, I understand and accept his reasons. Coba kita bayangkan dunia tanpa penyakit, perang, dan pembunuhan, pastilah orang yang hidup di dunia akan JAUH lebih banyak dari yang sekarang. Ketiga hal itu memang buruk, but in a crazy way, itu menyeimbangkan dunia kita. Semua hal memang ada hikmahnya, termasuk ketiga hal itu. Memang kenyataan pahit bahwa kejadian-kejadian mengerikan harus terjadi untuk menyeimbangkan dunia kita.
Snowpiercer is a quite satisfying dish and a smart dystopian movie. I just don't know why I keep feeling that Snowpiercer lacks beauty and emotion despite some scenes which I admire and like. 8,5/10
Bong Joon-ho mulai dikenal para penggemar film ketika ia mensutradarai The Host (2006). Gue sih baru nonton sebagian, tapi Memories of Murders yang benar-benar bikin gue tergila-gila sepertinya alasan yang cukup bagi gue untuk nyari-nyari film Mother. Apalagi Won Bin ganteng banget! Setahun yang lalu gue udah beli DVD-nya, tapi hilang-_- Untung kemarin gue nemu link download film ini.
Mother menceritakan seorang ibu (Kim Hye-ja) yang hidup berdua dengan anaknya yang sedikit...berbeda bernama Yoon Do-joon (Won Bin). Pada dasarnya, Do-joon adalah laki-laki yang baik, tapi ia akan bereaksi dengan keras ketika ada yang memanggilnya 'bodoh'. Do-joon yang terpengaruh temannya mulai melirik gadis-gadis di lingkungannya. Hingga suatu malam, Do-joon dinyatakan sebagai tersangka pembunuhan seorang gadis karena bola golfnya ditemukan di mayat gadis itu.
Opening scene-nya yang cukup freakish udah langsung memikat gue. Yang dimaksud dari freakish, adegannya termasuk unusual, tapi gak disturbing atau gory. Opening scene dari film Mother membuat gue merasa geli, heran, dan takjub.
Mungkin kemampuan Bong Joon-ho di sinematografi masih bisa dikalahkan oleh Park Chan-wook (Trilogi Vengeance, Stoker) tapi gue tetap kagum bagaimana Bong mempresentasikan ceritanya (dengan Park Eun-gyo) secara gelap, emosional, dan indah. Bagaimana ia bisa menunjukkan seorang ibu yang penuh kasih sayang, tapi kasah sayang itu juga punya sisi gelap, itu adalah kemampuan yang awesome banget! Gue pikir Mother adalah gambaran realistis kelam bagaimana seorang ibu yang terlalu sayang pada anaknya akan melakukan APAPUN ketika anaknya hampir terpojok atau diambil dari dia.
Iringan musik Lee Byung-woo pun sangat menambah keindahan film ini, apalagi di opening scene-nya dan final scene-nya. Film ini akan terasa kosong tanpa iringan musik Lee Byung-woo.
Kemampuan akting Kim Hye-jasangat jauh dari kata...jelek. Sumpah, keren banget dah, kira-kira dibawahnya Meryl Streep di film Sophie's Choice. Menurut gue sih Won Bin kurang bego & autis. Bagus sih, cuma kalah dari Kim Hye-ja. Sangat disayangkan loh, soalnya karakternya dia lebih berpotensi mencuri perhatian penonton dan kritikus. Mungkin memang karena Won Bin kurang memiliki pengalaman, karena karater yang ia ambil, rata-rata diperankan oleh aktor yang lebih senior/berpengalaman seperti Cha Tae-hyun (BA:BO), Dustin Hoffman (Rain Man), Tom Hanks (Forrest Gump), dll.
Berbeda dari kebanyakan film, twist film ini justru hadir sekitar 20 menit sebelum klimaks. Dan twist itu dibawakan dengan begitu 'frontal'nya, Bong tidak melebih-lebihkan twist itu. Dan percayalah, twist-nya sama simpelnya seperti film Memories of Murders.
Overall, Mother is a beautiful, emotional, and dark story about a mother's love which was crafted amazingly by Bong Joon-ho and Park Eun-gyo. Thank God Kim Hye-ja nailed her character! 9,7/10
Besides, you should be used to weirdness by the way this family behaves! -Mother.
Kalau lo benar-benar pecinta film Korea, tentu nama-nama seperti Choi Min-sik, Song Kang-ho, sampai Kim Ji-woon sudah tidak asing lagi. Nah, The Quiet Family akan menunjukkan kemampuan mereka sebelum di tahun kejayaan mereka dan tahun kejayaan film Korea, yaitu 2003 (Oldboy, Memories of Murders, A Tale of Two Sisters). The Quet Family adalah film tahun debut Kim Ji-woon sebagai sutradara pada tahun 1998. Film ini mendapat beberapa penghargaan dari beberapa festival seperti Fansporto dan Stiges Film Festival. Cukup banyak orang yang menganggap The Quiet Family adalah salah satu film Korea terbaik. Keluarga apakah yang akan ditawarkan Kim Ji-woon pada debutnya sebagai sutradara?
The Quiet Family menceritakan tentang keluarga yang pindah ke daerah pegunungan dan membangun sebuah penginapan bernama Misty Lodge. Si keluarga terdiri dari Ayah (Park In-hwan), Ibu (Na Moon-hee), adik si ibu, Paman Chang-koo (Choi Min-sik), dan anak-anak mereka yang sudah dewasa yaitu Young-min (Song Kang-ho), Mi-su (Lee Sun-yeong) dan Mi-na (Go Ho-kyung). Karena kurangnya pengalaman mereka dalam mengurus penginapan dan lokasi yang agak terisolasi, keluarga Kang terpaksa menunggu lama hingga tamu pertama mereka muncul. Ternyata 'keberuntungan' mereka berlanjut ketika tamu pertama mati.
WARNING : MENGANDUNG SPOILER
Waktu gue nonton film ini pertama kali, gue sama sekali gak ngerti kelucuan film ini. Pokoknya otak gue gak konek dan perasaan gue datar waktu nonton film ini. Tapi karena gue suka plot shit happens-nya dan akting pemainnya, gue mencoba lagi untuk menikmati film ini.
Baru ketiga kalinya gue nonton, gue bisa ketawa. Bahkan ngakak-_- Yang bikin gue ngakak waktu mereka lagi ngubur dua orang (pacaran) dan si cowok buka mata dan teriak gitu, wkwk. Keluarganya pun ikut teriak dan kepala si cowok di pukul pakai cangkul, hahaha.
Gak tahu ini benar atau enggak, tapi gue bisa melihat pengaruh dari film Pulp Fiction. Kalau ada yang bilang Pulp Fiction adalah black comedy dengan kostum mafia, maka The Quiet Family adalah black comedy dengan kostum horor pembunuhan. Tidak cuma itu, bisa dilihat secara visual bahwa kedua film ini penuh dengan darah dan memakai plot shit happens.
Hmm...gue mau ngasih perumpaan deh dari horor di film ini. Ada iklan mie yang bilang mie itu adalah mie terpedas di dunia. Karena kita penasaran, kita pengen cobain mie itu, tapi juga takut benar-benar kepedasan. Setelah kita cicipi, rasa pedas mie itu biasa saja. Nah, seperti itulah rasa horor dalam The Quiet Family. Kim Ji-woon hanya memasang 'iklan' horor dan memainkan pikiran penonton. Sinematografi dan atmosfir berbau horor hanya untuk memainkan pikiran penonton. Did it scare me? Nope. Makanya gue bilang kalau itu cuma memainkan pikiran penonton. Kata horor dalam film ini hanyalah hype agar penonton mengira Kim Ji-woon akan menyajikan film tentang keluarga yang mempunyai rumah berhantu, tamu psikopat, ataupun hal-hal keji, bloody disgusting, dan bizarre. Tapi itu semua hanyalah dugaan kita. The Quiet Family menawarkan cerita sederhana tentang rentetan 'keberuntungan' suatu keluarga. Percayalah, film ini se-simpel itu!
Hal-hal lainnya juga sangat bagus, terutama kemampuan akting pemainnya. Adegan pembuka dimana Go Ho-kyung mematikan TV dan langsung menatap kamera agak mengingatkan gue pada adegan pembuka Little Miss Sunshine dimana Abigail Breslin berkonsentrasi dengan tontonnya. Gue gak bisa jelasin seberapa gue suka ekspresi Go. I'm not a good acting judge, lol. Gue juga gak bisa jelasin seberapa indahnya *cuih* ekspresi ambigu Go di shot terakhir. Agak mengingatkan gue sama shot terakhir Oldboy dan Memories of Murders. Bener deh, agak mirip. Sangat disayangkan karir Go Ho-kyung tidak sesukses Lee Ae-young (JSA, Lady Vengeance) ataupun Son Ye-jin (A Moment to Remember, The Classic). Sebenarnya di awal film, tokoh sentralnya si Mi-na (Go Ho-kyung). Yah, walaupun gue agak fokus ke Go Ho-kyung, bukan berarti yang lainnya gak bagus. Park sebagai ayah yang sukses menambah rasa sarkasme film ini, ataupun Moon yang sukses menjadi ibu yang 'protective', ataupun Choi dan Song yang terlihat seperti paket one-two punch disini. Choi sama Song udah kayak...Robert de Niro dan Jack Nicholson, wkwk. Akting yang agak lemah justru berasal dari Lee, walaupun gak jelek-jelek banget. Malah, film ini mempunyai ensemble cast terbaik yang pernah gue tonton! Gue juga suka soundtrack-nya yang pop dan score-nya yang kadang terdengar menegangkan dan menyeleneh. Menambah kesatiran film ini.
I can't believe that I saw Choi Min-sik and Song Kang-ho in one movie! 1998 maybe not the strongest year in Korea's film industry, but The Quiet Family is certainly one of the best Korean movie, and horror-comedy movie. 10/10