Kamis, 13 Maret 2014

Blue Jasmine : Woody Allen's excellent comeback that still has his elements

Some people, they don't put things behind so easily. -Augie

Pecinta film mana yang tidak tahu Woody Allen dan belum pernah menonton filmnya?  Woody Allen merupakan salah satu filmmaker teraktif, walaupun bukan yang terbaik.  Filmnya mengalami naik turun sejak 90an akhir.  Ada yang disambut dengan baik seperti Midnight in Paris, Vicky Christina Barcelona, dan Match Point, ada juga yang tidak disambut baik seperti...well, karya-karya Woody Allen dari 2000an sepertinya tidak ada yang disambut baik selain tiga film diatas.  Beruntung setelah kegagalan To Rome With Love, Woody Allen masih bisa menulis dan menyutradarai Blue Jasmine yang ternyata disambut baik.  

Blue Jasmine menceritakan tentang kehidupan Jasmine Francis (Cate Blanchett) setelah suaminya, Hal (Alec Baldwin) bunuh diri.  Jasmine memutuskan untuk pindah dari New York ke rumah adiknya, Ginger (Sally Hawkins) di San Fransisco.  Sally shock melihat mendengar pengakuan Jasmine -yang memakai baju mahal dan mementeng koper Louis Vuitton- bahwa ia menaiki pesawat kelas satu, padahal Sally tahu bahwa Jasmine sudah bangkrut.  Sally mengenalkan Jasmine pada pacarnya, Chilli (Bobby Cannavale).  Chilli tidak bisa mengerti mengapa Sally memaafkan saudarinya dengan mudah,

Jasmine harus menghadapi perubahan hidup yang drastis, dari seorang ibu rumah tangga Park Avenue ke janda yang hidup dengan adiknya di apartemen biasa.  Hal ini membuat nervous breakdown Jasmine semakin parah.  Jasmine mencoba untuk membangun kembali hidupnya dengan bekerja dengan seorang dokter gigi sekaligus mengambil les komputer.  Ketika Jasmine menghadiri pesta salah satu temannya, ia menemui Dwight Westlake (Peter Sarsgaard), seorang politisi yang jatuh cinta pada selera dan kecantikan Jasmine.  Sayangnya, Jasmine tidak menceritakan masa lalunya dengan jujur kepada Dwight.


Blue Jasmine sebenarnya gak beda jauh dengan karya-karya Woody Allen sebelumnya.  Film ini mempunyai berbagai unsur film-film Woody Allen: white-on-black opening, jazz music, fail romance, psychoanalysis, plot yang maju-mundur, New York City, dan tentu saja, plot yang realistis dengan bumbu black comedy.  Walaupun gue masih kurang ngerti dimana letak black comedy-nya, karena menurut film ini dramanya cukup kental.  Sure, there's a few black comedy that I understand, but I don't really think Blue Jasmine is a 'comedy' film.  Salah satu hal yang membedakan Blue Jasmine dari kebanyakan film Woody Allen adalah film ini ditulis dari sudut pandang seorang wanita.  Seorang wanita -yang seperti kebanyakan tokoh utama Woody Allen- mengalami kegugupan dan ketakutan terhadap berbagai hal.  Biasanya tokoh dengan sifat seperti ini dimainkan oleh pria di film-film Woody Allen.

Film ini diceritakan dengan alur maju-mundur.  Seiring berjalannya film, kita bisa tahu sejauh mana kerusakan yang terjadi pada kehidupan Jasmine.  Gue rasa hal ini juga digunakan untuk membandingkan Jasmine yang sekarang dan dulu.  Allen membiarkan penonton mencoba untuk memahami Jasmine dan merasakan perasaan yang dialami Jasmine.  Mungkin bagi kita hidup sederhana itu biasa, tapi kalau kehidupan kita bergelimang harta, lalu semua itu hilang dan cepat, tentu kita akan merasakan tekanan, bukan?  Tidak cukup dengan itu, Jasmine harus menerima kenyataan bahwa semua orang tahu suaminya telah melakukan perselingkuhan, tapi Jasmine sendiri yang tidak sadar akan hal itu.  Bisa kita perhatikan bahwa Jasmine sering membicarakan suaminya dan her golden age walaupun kedua hal itu sudah menghilang.  Hal ini menunjukkan bahwa Jasmine masih belum siap atas kejadian-kejadian yang dia alami.  Jasmine maybe a bitch, but that doesn't stop me to feel sympathy for her.  Anyway, gue suka unsur psikologi dalam plot Blue Jasmine, as expected from Allen.  Bahkan ada twist kecil menjelang akhir film.

Cate Blanchett's role as Jasmine is an excellent acting performance, but still...replaceable.  Saya bisa membayangkan Kate Winslet -dan bila umur tokohnya diubah- Meryl Streep, memainkan Jasmine.  Both actresses have grace, charm, and the skill that match Blanchett's.  But still, aktingnya Blanchett mengagumkan banget and worth-Oscar.  Bagaimana dia dari seseorang yang anggun dan respectable berubah menjadi damsel in distress alias gila.  Dia gila sampai ke titik dia berbicara dengan dirinya sendiri di tempat umum, but at the same time, masih ada sedikit kewarasan dalam dirinya.  She's one of my favorite anti-heroine. 



Gak cuma Blanchett yang bagus, tapi begitu juga Sally Hawkins dan Andrew Dice Clay yang berperan sebagai Augie, mantan suami Ginger.  Eh salah, semuanya berperan bagus, hehe.  Baik Hawkins, Clay, dan Cannavale (Chilli) memerankan karakter mereka dengan baik.  Mereka bisa mengekspresikan tekanan yang mereka alami akibat ulah Jasmine dan almarhum suaminya.  Hawkins berperan sebagai saudari angkat Jasmine.  I love the contrast between Jasmine and Ginger, from their personality, prefrence, life, and how they deal their problems.  Kontras antara Jasmine dan Ginger memberikan two point of views.  But at the same time, mereka sebenarnya peduli satu sama lain.  Dari pihak Ginger jelas terlihat ia memperbolehkan Jasmine tinggal di rumahnya, dan dari pihak Jasmine bisa terlihat ia mendukung Ginger untuk mendapat kehidupan yang lebih baik, walaupun caranya memang kurang benar.

Salah satu hal yang gue suka dari Woody Allen adalah dia mengajak penontonnya untuk 'berjalan-jalan'.  Lihat saja bagaimana Allen mengajak penontonnya untuk 'berjalan-jalan' di Manhattan lewat Manhattan (1979), Paris lewat Midnight in Paris (2011), dan ke Barcelona lewat Vicky Christina Barcelona (2007).  Sekarang, Allen mengajak penonton 'berjalan-jalan' di Park Avenue dan San Fransisco.  Anyway, I really love Jasmine's house and fashion style in this film.

Overall, Blue Jasmine may not be Allen's best film, but it certainly is an excellent and satisfying film.  9,7/10

pic cr:
entertainmentwise.com
athenacinema.com
sawangarom.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar