Kamis, 28 Agustus 2014

The Kings of Summer

...and be our own man. -Joe Toy
cinemaforensic.com
I love coming-of-age films.  I don't experience the best in my high school and junior high school, but I really enjoy coming-of-age films.  Apalagi kalau yang main cowok-cowok ganteng, bisa jadi waktu fangirling dah.  Sayang nih pelem kagak ada cowok ganteng kayak Leo di Basketball Diaries.

The Kings of Summer merupakan film coming-of-age, komedi, dan drama tahun 2013 yang sempat nangkring di Sundance Film Festival.  Film ini disutradarai oleh Jordan Vogt-Roberts dan ditulis oleh Chris Galletta.  Film berdurasi 94 menit ini mendapat respon yang cukup positif dari para kritikus film.

Joe Toy (Nick Robinson) merasa sumpek dengan kelakuan ayahnya, Frank (Nick Offerman) yang dirasa terlalu mengontrolnya.  Di sekolahnya, Joe juga mengalami bullying, bahkan ia dipermalukan di depan gadis yang ia taksir, Kelly (Erin Moriarty).  Teman Joe, Patrick (Gabriel Basso) juga merasa tertekan oleh sifat orang tuanya yang aneh dan anggapan mereka bahwa Patrick masih anak kecil.  Ketika emosinya memuncak, Joe merencanakan untuk membangun sebuah rumah di dekat hutan.  Joe mendapatkan ide lokasi rumahnya setelah ia 'berjalan-jalan' dengan Biaggio (Moises Arias), seorang bocah eksentrik.  Mereka bertiga setuju untuk membangun rumah secara diam-diam dengan peralatan dan perlengkapan seadanya.  Setelah rumah itu selesai, mereka segera meninggalkan orang tua mereka dan hidup di tengah alam.

emptykingdom.com
Kalau dari segi cerita, entah kenapa film ini mengingatkan gue dengan My Neighbor Totoro.  Mungkin karena kedua film ini latar tempatnya tuh di hutan dan kurang mengandalkan konflik dan tensi.  Memang ada beberapa konflik, tapi konflik-konflik itu diperlihatkan dengan kurang intens dan penyelesaiannya cenderung cepat.  Sebagian besar film diisi dengan keseharian dan petualangan mereka di hutan, sama seperti film My Neighbor Totoro.      

The Kings of Summer juga agak berbeda dengan film coming-of-age lainnya.  Film ini tidak membicarakan first kiss, losing virginity, bullying, status quo, dan hal lainnya secara intens.  Malah hal-hal itu boleh dibilang menjadi side story saja.  Galleta menuliskan cerita tentang tiga orang remaja yang memaksa diri mereka untuk dewasa.  Joe, Patrick, dan Biaggio 'mewakili' remaja-remaja yang sudah tidak tahan lagi untuk pergi dari rumah mereka.  Mereka hanya berfokus pada kebebasan yang ditawarkan di luar rumah.  Mereka lupa bahwa jika mereka sudah di luar rumah, mereka tidak bisa lagi bergantung pada orang tua mereka.  Seiring berjalannya waktu, Joe, Patrick, dan Biaggio sadar bahwa no parents dan kebebasan tidak seenak yang mereka kira.  Mereka harus berjuang lebih keras tanpa orang tua mereka walaupun mereka belum dewasa.  Usaha mereka untuk menjadi pria akhirnya sia-sia karena pada dasarnya mereka masih remaja dengan sedikit pengetahuan dan pengalaman.

SPOILERNYA MULAI YAAA

filmsandpies.blogspot.com

Gue cukup menikmati petualangan-petualangan yang mereka bertiga alami.  Sayang petualangan itu harus diakhiri dengan cinta segitiga yang klise dan pengen bikin gue muntah.  Bitch please, even The Breakfast Club didn't do love triangle stuff.  Tapi di sisi lain, cinta segitiga ini justru memperlihatkan sisi realistis persahabatan: your best friends don't always sacrifice and or stick for you.  Hollywood sangat sering memperlihatkan kita sahabat-sahabat yang too nice and too selfless while not all of us are blessed with that kind of best friend.      

I don't know about you, but I don't like the actors.  Bukan karena mereka gak ada yang seganteng Judd Nelson kok, tapi mereka memberikan aura awkward di sepanjang film.  Pokoknya gue merasa canggung lihat akting mereka, apalagi aktingnya si Nick Offerman, yang gak bisa meyakinkan gue kalau dia tuh lagi khawatir atau marah.  Beberapa blogger film memuji aktor-aktornya, tapi gue tetap merasa canggung nonton mereka akting.  Kalau dari segi individual aja udah awkward, apalagi waktu berinteraksi dengan tokoh lainnya kan?  Di film ini, ceritanya sih Patrick dan Joe udah temenan dari kecil.  Tapi gue rasa mereka bukan temen sejak kecil, melainkan temen dari SMP yang suka bercanda, bukan yang deket-deket banget.  Sebenarnya gak apa-apa sih kalau ceritanya Joe dan Patrick tuh baru deket waktu SMA, tapi di film ini Joe dan Patrick sudah temenan dari kecil dan Nick Robinson serta Gabriel Basso tidak bisa menunjukkan bahwa they've been pals since they used diapers.

Hal terbaik dari film ini jelas sinematografinya.  Gue suka banget pewarnaan yang digunakan di film ini.  Latar hutan dengan pepohonan rindang melakukan duet yang harmonis dengan sinematografi film ini.  *komen gue hiperbola ya*  Ada juga beberapa adegan slow motion yang gue personally kurang suka, tapi keren juga sih.  Namun, gue kurang suka jenis musik yang digunakan di film ini.  The music is too modern and edgy for me.  Gue pribadi bakalan lebih suka kalau film ini pake lagu-lagu alternative atau rock tahun 80an sampai 90an.

Overall, the film is pretty forgettable for me because the film is not as fun and passionate as I expected.  The story has some messages, but story with less enormous conflict is not everyone.  Oh, the jokes are as fresh as Stewart's acting in Twilight.  I only like the jokes that are told by Joe's dad.  6,7/10  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar