Hirokazu Kore-eda merupakan nama yang tidak asing bagi penggemar film festival. Karyanya tahun 2013, Like Father Like Son (yang belum gue tonton padahal udah didownload dari kapan tahu) menerima Jury Prize di Cannes Film Festival. Puncak karirinya sejauh ini adalah menerima Palme d'Or untuk Shoplifter pada tahun 2018. Our Little Sister merupakan filmnya yang dirilis pada tahun 2015, dan diadaptasi dari manga yang berjudul Umimachi Diary oleh Akimi Yoshida.
Film Hirokazu kali ini bercerita tiga orang kakak-beradik dewasa. Yang tertua, Sachi (Haruka Ayase), lalu Yoshino (Masami Nagasawa), dan Chika (Kaho). Mereka telah lama hidup bertiga sejak orang tua mereka bercerai. Tiba-tiba, mereka mendapat kabar bahwa ayah mereka telah meninggal. Saat pemakaman, mereka bertemu dengan adik bungsu mereka dari pernikahan kedua sang ayah, Asano Suzu (Suzu Hirose). Sachi yang merasa sang adik kurang bahagia tinggal bersama istri ketiga ayahnya, mengajak Suzu untuk tinggal bersama mereka bertiga. Suzu menerimanya.
SMALL SPOILER ALERT
Karena gue belum menonton film Hirokazu Kora-eda yang lain, gue belum bisa membuat perbandingan dengan film-film sebelumnya, hehe. Film ini malah mengingatkan gue dengan film Jepang jadul yang berjudul Tokyo Story. Jika Tokyo Story berbicara mengenai orang tua yang diabakan anak-anaknya yang dewasa, maka Our Little Sister menceritakan orang dewasa yang diabaikan orang tuanya saat muda, serta seorang anak yang dikecewakan oleh orang dewasa.
Apa ini gue doang atau gak, film Amerika Serikat yang indie cenderung lebih menyukai dekonstruksi ideal relationship atau cerita mengenai dysfunctional relationship. Sebut saja Marriage Story yang Desember nanti dirilis oleh Netflix (at least based on the trailer), Midsommar, Lady Bird, heck, one of its' biggest franchise is basically a family space opera! Untungnya Hirokazu Kore-eda menghindari tren itu, dan memperlihatkan hubungan saudara yang sehat.
Kelalaian orang tua mereka tidak muncul lewat hubungan saudara yang tidak sehat, atau apapun yang mencolok. Luka itu justru tumbuh lebih subtle. Seperti Sachi yang sering kali lebih seperti ibu daripada kakak. Hal ini diperlihatkan dari bagaimana ia yang sering memasak dan menegur adik-adiknya. Ada Yoshino yang sering memanjakan pacarnya secara material. Chika yang masih sedikit kekanak-kanakan. Yang terakhir, Suzu, yang menyimpan unek-unek mengenai ibu tirinya, ditambah merasa insecure karena merasa ibunya lah yang menghancurkan pernikahan orangtua kakak-kakaknya. Akibat dari abandonment nyatanya tidak selalu terlihat mencolok dan inilah yang kadang-kadang dilupakan media dan masyarakat awam. Ini poin favorit gue dari film ini. Luka itu kadang-kadang terlalu dalam atau sudah mati rasa sehingga hanya terlihat jika diperhatikan sangat baik-baik saja.
Film ini juga tidak mempunyai alur cerita yang konvensional. Alur ceritanya sama dengan manga yang diadaptasi, di mana ceritanya mengenai kehidupan sehari-hari keempat kakak-beradik itu. Kadang-kadang ada hari yang sekedar rutinitas, ada yang sangat membahagiakan, dan ada yang diisi dengan ketegangan. Ketika kamu berharap bahwa konflik kecil itu akan menjadi konflik utama, konflik itu akan terselesaikan atau hanya digantung. Contohnya, ada cerita mengenai kedatangan ibu the elder sisters. Hal ini memicu konflik karena Sachi belum sepenuhnya memaafkan sang ibu. Suzu juga menjadi tidak nyaman. Tapi, Koru-eda tidak membuat tarik-ulur dengan konflik ini secara berlebihan, dan memberikan resolusi yang heartwarming. Tidak hanya resolusi yang heartwarming, film ini juga menampilkan momen-momen kecil membahagikan seperti memanen buah plum, makan katsu, atau sekedar naik sepeda dengan teman. Meskipun demikian, Hirokazu berhasil menyulap momen kecil itu menjadi tidak hanya membuat senang penonton, tapi juga menghangatkan hati mereka.
Secara teknis, gue jatuh cinta banget dengan musiknya! Kudos for Yoko Kanno. Sayang gue cari di YouTube dan Spotify gak ketemu, huhu. Lantunan pianonya itu ringan, tapi manis gak sampai diabetes. Benar-benar menangkap esensi filmnya. Akting para aktornya bagus, tapi yang lebih bagus lagi adalah chemistry di antara mereka. Benar-benar meyakinkan kalau mereka itu kakak beradik. And the landscape!!! No word to describe the landscape.
Overall, Our Little Sister has the perfect amount of sweetness, warmness, tension, and melancholy. It captures the subtle effect of parental abandonment and disappointment, while also proving you can break it by being a functional adult and having a healthy and loving relationship with your sisters. 7,5/10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar