Berhubung Star Trek Into Darkness adalah film di bioskop yang terakhir gue tonton, gue butuh film baru buat di-update di blog gue. Karena teman gue ngajakin nonton F&F 6, gue jadinya nonton ini deh (padahal maunya nonton Star Trek lagi-_-).
Hobbs (Dwayne "The Rock" Johnson) meminta bantuan pada tim Dominic "Dom" Toretto (Vin Diesel) untuk mengejar Shaw (Luke Evans). Dom setuju untuk membantu Hobbs karena salah satu anak buah Shaw adalah Letty (Michelle Rodriguez). Tidak hanya itu, ini adalah kesempatan bagi Brian (Paul Walker) untuk menebus kesalahannya.
WARNING : SPOILER ALERT!
Sebenarnya jarang nonton film action, tapi bukan berarti gue benci juga. Yang biasanya gue gak suka dari film action, kemampuan akting pemain-pemainnya biasanya kurang. Dan begitupula film F&F 6.
Yah, Vin Diesel sih lumayan, yang gue lebih gak suka justru The Rock. Mukanya kayak marah-marah terus, dan tidak ada variasi ekspresi wajah. Begitu pula dengan pemain lainnya. Karakter yang gue suka justru Roman Pearce (Tyrese Gibson) karena humor di film ini berpusat di Roman.
Tidak hanya akting, Chris Morgan (sepertinya) kekurangan ide untuk menggali karakter-karakter F&F dan membuat penonton newbie seperti gue untuk berempati dan peduli dengan karakter F&F 6. (Not) Surprisingly, salah satu karakter disini mati, dengan cara yang terlalu klise dan dramatis-_- And...I was feeling nothing when I watched it! Gue gak berharap dia hidup, gue gak gak marah karena dia mati, gue datar saja. Film ini teralu berfokus ke action sehingga kurang memberikan aktor-aktornya untuk menampilkan kekuatan akting mereka. Jalan ceritanya berjalan terlalu cepat, dan terkadang agak tidak logis. FIlm ini juga tidak memberikan chemistry, baik antara Walker dan Diesel ataupun Diesel dan Johnson. Mereka jelas bukan contoh hero and sidekick yang baik. Oh iya, hubungan antara Han (Sung Kang) dan Giselle (Gal Gadot) yang berperan sebagai secondary romance justru terlihat dipaksakan. Fast and Furious 6 is indeed, (too) fast and furious. 5,5/10 pic cr : hdwallpapers.in screencrush.com
...where was that angel while I was committing such an evil act? -Lee Geum Ja
Gue udah lama download film ini, tapi baru sempet nonton kemarin, wkwk. Sumpah, akhir-akhir ini gue gak niat nonton film.Sekarang tinggal Sympathy for Mr. Vengeance yang belum gue tonton dari trilogi Vengeance. Dan sialnya tuh film susah dicari-_-
Lee Geum Ja (Lee Young Ae) adalah gadis yang membunuh dan menculik seorang anak kecil bernama Won Mo. Setelah 13 tahun dipenjara, Geum Ja memutuskan untuk balas dendam pada Mr. Baek (Choi Min Sik) yang telah memerasnya dengan menculik putrinya, dan juga orang yang sebenarnya telah menculik dan membunuh banyak anak kecil. Geum Ja tidak sendirian, karena ia mendapat bantuan dari sesama mantan narapidana yang telah ia 'tolong'.
WARNING : CONTAIN SPOILER
Lee Young Ae benar-benar lahir untuk film ini. Aktingnya keren banget, perpaduan antara emosional dan dingin. Menurut gue pribadi sih perpaduan antara Nicole Kidman di The Hours, Jodie Foster di The Brave One, dan juga Meryl Streep di Kramer vs Kramer. Ia bisa jadi karakter yang dingin dan expresionless, wanita yang bangkit dari kejatuhan, dan juga ibu yang menyayangi anaknya . Sama seperti Oh Dae Su, Lee Geum Ja bukanlah protagonis yang 'suci'. Dia juga bukan karakter yang stereotip banget, karena kejiwaannya sudah agak tertanggu sebelum dia menjadi kaki tangan Mr. Baek. Lee Geum Ja melambangkan transformasi. Ia dulu gadis yang clueless, lalu ia bertembuh menjadi wanita yang pintar dan tahu apa yang ia inginkan. Tidak hanya itu, ia juga melambangkan pencitraan. Geum Ja dikenal sebagai gadis yang baik, bahkan pendetanya juga tertipu. Tapi ia mempunyai agenda tersendiri yang, well, tidak terlalu baik.
Surprise, surprise, ada Oh Dae Su disini! Wait, dia bukan Oh Dae Su, tapi dia Mr. Baek. Nope, dia bukan antagonis kompleks atau sadis seperti Joker, Lecter, Amon Goeth, ataupun Patrick Bateman. Dia adalah manusia yang jahat. MANUSIA. Mr. Baek itu mirip antagonis-antagonis dari sinetron (hey, gue bukan penggemar sinetron-_-). Dia akan menyerahkan apapun untuk keselamatan jiwanya. Dia melakukan kejahatan untuk uang. Hal itu cukup menarik, karena dia bukan memuaskan hasrat batinnya. Dan dia waras. Dia bukan sadistik sejati seperti Joker ataupun seseorang yang mempunyai harga diri dan kepintaran yang tinggi seperti Lecter. Tidak, dia menjadi antagonis dengan motivasi uang. Gue sendiri jadi bertanya-tanya apakah dia adalah the true antagonist...Apa yang terjadi jika Mr. Baek diberi kesempatan kedua? Apakah dia akan berubah? Dia terlihat seperti rela melakukan apapun untuk menyelamatkan nyawanya.
Why this is one of the best Korean movies? Karena semuanya terhubung. Tidak hanya Lee Young Ae yang bersinar di film ini. Pameran-pameran pembantu pun sangaaaaaaaaaaaat membantu di film ini. Meskipun mereka bukanlah tokoh utama, mereka bekerja dengan sangat baik. Musik dari Choi Seung Hyun pun juga berhasil membawa kita pada dinamika emosi. Ada saatnya kita diam untuk mengobservasi tokoh, ada saatnya juga kita terlarut dengan emosi yang sedang dirasakan tokoh.Tidak seperti The Iron Lady dan Breakfast at Tiffany's yang menyinari satu wanita, film ini menyinari semuanya, mendukung dan saling bekerja.
Sympathy for Lady Vengeance adalah film. Sympathy for Lady Vengeance adalah pelajaran filosofi benar atau salah dalam media lain. Terserah penonton memandangnya sebagai apa. Kalau gue sendiri memandang Lady Vengeance sebagai film, karena film ini tidak terlalu menjejali penonton dengan topik-topik filosofis. Film ini bukanlah film (sok) inspirational yang akan mengkuliahi kita tentang right or wrong. Film ini bercerita tentang seorang wanita yang membalaskan dendam pada pria. That's it. Berbeda dari quote yang gue ambil, film ini juga tidak akan membahas keberadaan Tuhan dan malaikat. One more thing, film ini tidak se-disturbing Oldboy. Kalau lo belum terbiasa dengan film disturbing dan berdarah-darah tapi penasaran dengan film Oldboy, lo harus nonton film ini dulu untuk latihan, hehe.
Although it has less twist than Oldboy, it's still one of the best (Korean) movie I've ever watched. 9,5/10
Seeking revenge is the best cure for some who has been hurt. ... But, what happens after you've had your revenge? -Lee Woo Jin
Nah, ini dia salah satu film Korea yang paling terkenal. Gue sendiri tahu film ini lewat variety show dan drama Korea yang memparodikan atau merefrensikan 'orang yang dikurung memakan fried dumpling selama lima belas tahun'. Tuh kan, saking terkenalnya, film ini masih direfrensikan oleh drama dan variety show Korea, bahkan sampai pengen di remake. Memang, apa sih bagusnya film Oldboy? Oh Dae Sun (Choi Min Sik) adalah seseorang yang tidak mempunyai hidup yang lurus. Meskipun begitu, ia tetap mencintai istri dan anaknya. Pada suatu malam, Oh Dae Su dan temannya keluar dari kantor polisi dan memutuskan untuk menelpon keluarga Dae Su. Tapi saat si teman berbicara dengan si istri, Dae Su menghilang. 15 tahun berlalu dan Dae Su akhirnya bebas. Dia bertemu dengan seorang wanita muda bernama Mi Do (Kang Hye Jung). Mi Do yang terpesona dengan karisma Dae Su, menemani dan membantu Dae Su untuk membalaskan dendamnya. Sampai akhirnya ia bertemu dengan sang antagonis, Lee Woo Jin (Yoo Ji Tae)
Gue jarang menemukan film Korea dengan sinematografi yang beda banget. Biasanya mereka avarage lah, 6-7 from 1 to 10. Tapi film ini, keren banget sinematografinya! I give it 10 from 1 to 10!!! Park Chan Wook tidak hanya memberikan sinematografi yang unik di film Oldboy, tapi ia juga berhasil mengulangi prestasinya di film Sympathy for Lady Vengeance dan I'm a Cyborg, but that's OK! Park Chan Wook bukan satu-satunya orang di belakang layar yang patut dipuji. Jo Yeong Wook di departemen musik berhasil membawakan alunan melodi yang sangat overwhelming. Musiknya hadir di saat yang tepat. Entah untuk menyentuh penonton, atau menegangkan penonton, Jo Yeong Wook berhasil melakukannya.
Park Chan Wook mengambil keputusan yang berani, karena film ini cukup berbeda dari
komiknya. Oldboy hanya mengambil inti cerita, yaitu seorang pria yang
diculik selama belasan tahun tanpa mengetahui alasannya ataupun si
penculik. Selain itu, semuanya cukup berbeda. Karakter Oh Dae Su yang
di komik pun cukup berbeda dengan yang ada di film. Seandainya Park
Chan Wook benar-benar mengikuti komik, akting Choi Min Sik di film ini
tidak akan menjadi selegendaris sekarang. Park Chan Wook benar-benar
melebarkan ruang eksplorasi bagi aktor-aktornya. Oh Dae Su memang protagonis dari film ini, tapi perbuatan-perbuatan sadisnya tidak membuat dia orang 'suci' seperti Harry Potter, Batman, dll. Park juga tidak dengan setengah-setengah 'mengkhianati' komik Oldboy.
Ia konsisten, ia tidak hanya mengubah jalan cerita, tapi juga karakter
Dae Su, bahkan tidak memasukkan beberapa karakter komik. Hal itulah
yang menyempurnakan film ini. Seandainya Park dengan setengah-setengah
'mengkhianati' komik, hal ini bisa membingungkan penonton dengan jalan
cerita yang tidak konsisten, ataupun kemampuan akting yang biasa.
Penampilan Choi Min Sik mengingatkan gue pada penampilan-penampilan dari Jack Nicholson dan Robert de Niro. Gila dan emosional. Well, sebenarnya lebih kearah Jack Nicholson. Bisa lihat kan dari foto diatas, kalau Choi Min Sik dan Jack Nicholson punya ekspresi gila yang sangat kuat? Lihat kan? LIHAT KAN?!!!
Ehem (gaya Dolores Umbridge di Harry Potter), back to the topic. Lee Woo Jin (Yoo Ji Tae) mengingatkan gue sedikit pada Hannibal Lecter, yaitu orang gila yang rapi. Jika kita hanya melihat dari permukaan, Woo Jin adalah perwujudan laki-laki idaman, pintar, kaya, dan wajah yang diatas rata-rata. Tapi ia 'sakit' di dalam. Baik sakit hati dan sakit mental. Hanya saja, Woo Jin lebih manusiawi daripada Lecter. Ia tidak hanya sakit secara mental, tapi juga sakit secara fisik. Woo Jin adalah perwujudan antagonis yang benar-benar lemah, bukan antagonis yang sepertinya terlalu kuat untuk dikalahkan. Selain itu, Woo Jin juga punya kelemahan tersendiri yang bisa mengacaukan pikiran dan emosinya. Dan Yoo Ji Tae mendalami karater Woo Jin dengan sangat bagus. Sayang sekali banyak orang lebih memberikan perhatian pada Choi Min Sik.
Jangan lupa Mi Do, wanita yang pertama kali menyentuh Dae Su. Wajar saja bagi Dae Su dengan cepat tertarik dengan Mi Do karena ia tidak pernah berhubungan dengan wanita selama 15 tahun. Tapi apa yang membuat Mi Do terpesona dengan Dae Su? Apakah karena Mi Do punya taste tertentu pada pria yang lebih tua? Atau karena Dae Su mempunyai cerita tragis yang menarik? But, just calm down. This movie has the answer. Karakter Mi Do seperti Cosette di novel Les Miserables, yaitu cahaya terang di film ini. Mi Do sebenarnya bukan karakter yang kompleks, ataupun mempunyai kelebihan tertentu, tapi karena ia adalah karakter yang paling...polos di film ini. Ia tidak mempunyai motif apapun. Boleh dibilang ia terjebak dengan Dae Su. Tapi ia tetap mendampingi Dae Su, dan penetral dari Dae Su yang gelap dan penuh dengan keinginan untuk balas dendam.
Overall, Oldboy is one of the most fascinating movie I've ever watched, with so much twist, amazing plot, and amazing performances. 10/10
Oke, berhubung gue lagi semangat karena akhirnya tulisan gue dikomentarin, gue merelakan waktu gue untuk nonton secepatnya Star Trek Into Darkness. Tuh kan, gue blogger yang baik (?) Jim Kirk (Chris Pine) 'terpaksa' melanggar aturan untuk menyelamatkan temannya, Spock (Zachary Quinto). Sayangnya, Spock adalah rule freak yang akan dengan senang hati merelakan nyawanya daripada melanggar aturan. Hal ini membuat hubungan mereka renggang sementara karena Spock harus menulis itu dalam laporan, yang menyebabkan Jim diusir sementara. Serangan mengejutkan Starfleet Command menyebabkan Christopher Pike (Bruce Greenwood) meninggal. Hal ini menyebabkan Jim menyimpan rasa balas dendam yang tinggi pada John Harrison (Benedict Cumberbatch). Dengan giat Jim dan krunya mengejar John sampai ke negeri Klingon, dan akhirnya John menyerah.
WARNING : MAY CONTAIN SPOILER
Tadinya gue gak niat dan males nonton film ini, karena gue gak pernah nonton franchise-nya ataupun nonton film pertamanya. I'm not a big fan of sci-fi. Well guess what? I love this movie! I can't believe that I didn't watch the first movie in Trans TV last night-_-
Sebenarnya gue emang sengaja untuk gak nonton film pertamanya, karena gue ingin menantang apakah J.J Abrams bisa menjelaskan film ini pada orang awam seperti gue, yang buta sama sekali sama Star Trek...bahkan dulu gue bingung klingon itu dari Star Trek atau Star Wars-_- And I think he did it. Film ini memang punyai sisi futuristik dan latar belakang sci-fi yang kuat, tapi bukan berarti J.J Abrams akan terus berkutat dengan sisi futuristik itu dan menjejalkan penonton dengan istilah-istilah yang terlalu complicated. Gue ingat pendapat teman-teman gue tentang film Harry Potter bahwa mereka bingung dengan alur cerita Harry Potter, karena mereka sendiri baru nonton 1-3 film terbarunya. Gue tentu saja gak bingung karena sebelum Deathly Hallows, gue udah nonton film 1-6. Nah, ini yang gue takutin, gue takut gue jadi teman gue yang cengok, gak ngerti apa yang terjadi di sekuel in. Tapi...seandainya gue gak sengaja nonton ini di TV, gue akan menanggap bahwa film ini adalah film Star Trek yang pertama, karena hampir tidak ada 'jejak-jejak' film pertamanya (hmm, what do you think, Star trek fans?) Hampir tidak ada flashback atau kejadian sentimental yang merefrensikan film pertama. Undoubtedly film ini menampilkan visual effect dan sound effect yang maksimal. Hey, jangan salah. Jaman gini masih ada loh film Hollywood yang jelek visual effect-nya, contoh : Twilight dan seri Transformer yang sangat 'menghibur' mata. Dan...gue tahu ini agak norak, tapi gue berhasil kaget 2-3 kali-_-
J.J Abrams berhasil memberikan ruang untuk pemain-pemainnya mengeksplorasi kekuatan akting mereka. Spock adalah karakter dingin tipikal yang sebenarnya juga mempunyai hati, sedangkan Jim adalah pemberontak yang mempunyai jiwa kepimpinan yang besar, dan dalam hal itu, jauh lebih berbakat daripada Spock. Yang gue sayangkan, film ini kurang menggali hubungan Jim dan Spock, seperti apa yang sebenarnya membuat mereka saling menghormati, dan pada akhirnya menjadi sahabat? Tapi gue maklumin itu karena mungkin sudah dijelaskan di film pertama. Untuk ukuran aktor muda, yang bahkan belum pernah memenangkan Oscar, porsi emosional yang diberikan oleh Zachary Quinto dan Chris Pine di adegan tertentu sangat bagus. Anyway, walaupun gue bukan penggemar Quinto, gue adalah penggemar serial Heroes dan Sylar. Dan penampilan Quinto benar-benar beda dari penampilannya sebagai Sylar.
Penampilan yang agak mengecewakan justru datang dari sang antagonis, Benedict Cumberbatch. Baik dari segi penampilan dan latar belakang karakter. Menurut gue, dia antagonis yang terlalu biasa, dan terlalu plain untuk menarik perhatian. Dia tidak charming seperti Hannibal Lecter ataupun Aldrich Killian, sesadis Voldemort atau Patrick Bateman (American Psycho), segila Joker atau Jack Torrance (The Shining), dan bahkan tidak punya reversal yang cukup mengejutkan seperti Bane. Karakter Khan yang menurut gue punya potensial sebagai karakter yang lebih rumit dan lebih kearah anti hero seperti Catwoman, ternyata malah menjadi karakter antagonis yang biasa banget. Dia dan 'kadal' di The Amazing Spider Man berhasil masuk ke The Worst Antagonistsversi gue.
Salah satu hal yang gue syukuri dari film ini adalah tidak ada love line yang too dramatic ataupun adegan seks/ciuman tipikal. Tenang, film ini mempunyai momen romantis tersendiri antara Nyota (Zoe Saldana) dan Spock. Meskipun agak kurang, gue tetap puas dengan porsi yang sangat non-dramatic.
Despite the dramatic parts at near the end of the movie, this is one of the best sci-fi movie I've ever watched. 8,5/10
Do you see this kind of thing in Seoul often? -Det. Park
Tadi malem gue gak bisa tidur, akhirnya gue memutuskan untuk nonton film It Happened One Night. Dan...filmnya ngebosenin banget, jadinya gue skip. Loh, kan tujuan gue nonton film jadul supaya cepat tidur?..Anyway, gue ingat ada banyak film-film yang belum tersentuh di laptop gue, jadinya gue memutuskan untuk nonton film Memories of Murder. Film ini akan membawa kita pada sebuah desa di Korea saat tahun 1986. Park Doo Man (Song Kang Ho) adalah detektif yang kurang serius menangani kasus. Apalagi ia dan Cho Yong Goo (Kim Roe Ha) sering menyiksa 'tersangka' di ruang interogasi. Karena pembunuhan-pembunuhan yang terjadi tidak memberikan bukti-bukti yang kuat, akhirnya mereka meminta bantuan dari Seoul. Detekfif Seo Tae Yoon (Kim Sang Kyung) bersedia untuk membentu mereka. Detekftif Seo berhasil menemukan kesamaan di antara dua korban, bahkan mengejutkan kepolisian dengan menemukan korban ketiga. Cara kerja Tae Yoon dan Doo Man yang berlawanan akhirnya menimbulkan pertengkaran-pertengkaran di antara mereka. Namun, mereka tetap bekerja sama dan akhirnya menemukan bukti yang mengarah pada satu orang.
WARNING : MENGANDUNG SPOILER
Rasanya tidak adil jika kita hanya memberikan pujian pada Song Kang Ho. Menurut gue, semua pameran yang ada disini bekerja dengan baik, termasuk pameran-pameran pembantunya. Memang, Song Kang Ho sangat berhasil mengeluarkan kemampuan aktingnya disini, tapi kita tidak bisa mengabaikan tatapan frustasi Kim Sang Kyung, ledakan amarah dari Kim Roe Ha, dan juga keahlian Park No Shik yang berhasil menjadi anak dengan keterbelakangan mental bernama Baek Kwang Ho (yang nanti menjadi saksi kunci).
Chemistry antara Song Kang Ho dan Kim Sang Kyung sangat kuat, walaupun bukan chemistry emotional bromance seperti di film A Perfect World, Taegukgi, ataupun The King's Speech. Dan itu sangat logis dan masuk akal karena di film ini mereka bukan teman lama ataupun saudara. Mereka adalah orang yang berlawanan yang harus mengusir ego masing-masing dan bekerja sama untuk mencari pembunuh sesungguhnya. Disini, Doo Man yang berisik berhasil mengisi kediaman dari Tae Yoon, dan Tae Yoon yang lebih logis berhasil mengusir teori-teori tidak logis dari Doo Man. Mereka saling melengkapi. Lalu, apakah Doo Man tipe stupid character yang biasanya gue benci? Tidak, dia mempunyai 'bakat' yang tidak dipunyai Tae Yoon. Park Doo Man adalah salah satu contoh detektif yang imperfect, yang tidak bisa menyelesaikan kasus secara tiba-tiba, ataupun 100% serius. Tampangnya juga biasa saja dan sederhana, bukan tipe-tipe karakter Hollywood yang menurut gue too good to be true (I know it's bias, but I still love Sherlock Holmes, hehe). Ganteng, dan secara cepat bisa menyelesaikan kasus. Well, Doo Man jauh sekali dari karakter-karakter itu karena Park Doo Man adalah detektif yang sangat manusiawi. Tapi, dia juga tidak sepenuhnya reckless sampai-sampai ia menjadi 'antagonis'. Seiring berjalannya film, dia berubah dan menjadi lebih bertanggung jawab, dan memberikan alasan bagi penonton untuk bisa menyukainya. Saat gue menonton film ini, gue jadi ingat novel-novel karangan Sue Limb (penulis teenlit) dimana karakter sidekick lah yang too good to be true, bukan karakter utamanya. Memang Seo Tae Yoon detektif yang lebih baik daripada Park, tapi lebih baiknya gak parah banget sampai dia jadi Gary Sue (tokoh pria yang terlalu sempurna). Gue senang hanya karena dia jadi Seoul, mendadak dia jadi terkenal karena ganteng atau apa, terus ditaksir banyak perempuan. Tokoh ini juga tidak menunjukkan love line, adegan hand to hand combat yang berat, dan kepintaran yang dia punya belum seberat Sherlock Holmes.
Selain sinematografi yang sangaaaaaaaaaaat bagus dan penampilan akting yang sangat kuat, film ini juga menawarkan plot misteri yang cukup berbeda dari film-film Hollywood...dan itu termasuk Silence of the Lambs. Kalau lo nonton Silence of the Lambs, Red Dragon, dan film misteri lainnya, biasanya di tengah-tengah mereka dengan frontal menunjukkan wajah si pelaku-__- Kelanjutannya? Ya hanya menunjukkan proses penangkapan. Nope, film ini akan tetap fokus ke penyelidikan, tapi bukan berarti kita akan terus dijejali oleh teori-teori berat. Film ini mempunyai momen tersendiri dimana kita bisa just sit and watch, atau jadi greget sendiri. Film ini juga mempunyai dinamika yang bagus and the ending will surprise (I think) all of you. Overall, Memories of Murder (Sarinui Chueok) is one of the most uncliche mystery movie I've ever watched, with un-hurry plot, not slow. 10/10
You think of yourself as a colored man. I think of myself as a man. -John
Walaupun GWCD adalah film Katharine Hepburn yang pertama kali gue tonton, bukan film ini yang membuat gue jadi penggemar Hepburn.
I know it's a bit out of topic, but I want to write a little bit of my thoughts about New Hollywood and Golden Hollywood. Gue bukan penggemar Golden Hollywood, sama sekali. Gue gak ngerti kenapa itu disebut era yang golden atau classical. Menurut gue pribadi, film-filmnya terlalu dramatik, boring dan klise. Aktingnya juga akting banget. Hey, gue berhak ngomong ini karena gue udah nonton beberapa filmnya seperti An Affair to Remember, Breakfast at Tiffany's, The King and I, Gone with the wind, Roman Holiday, dll. Mungkin gue salah nonton film? Anyway, karena kekecewaan dan kebosanan yang gue alamin, gue jadi takut untuk nonton Casablanca (and I don't want to watch it, EVER) dan Citizen Kane.
Sebaliknya, gue suka banget film-film New Hollywood (bukan penggemar berat). Gue merasa kalau film-film di New Hollywood mempunyai jalan cerita yang SANGAT sophisticated dan jauh dari 'sinetronik'. Akting-akting pemainnya pun lebih natural dan believable. Dan yang membuat gue lebih suka New Hollywood sebenarnya bukan sinematografinya atau settingnya lebih modern. Lihat aja film-film New Hollywood dengan jalan cerita yang sederhana seperti Annie Hall, Manhattan, Kramer vs Kramer, dan The Graduate.
P.S : I personally think that Audrey Hepburn is an OVERRATED actress. She's definitely not any better than Meryl Streep or Katharine Hepburn. She's famous because she's a beauty. Poor Katharine...
Okay, back to the topic.......
Joey Drayton (Katharine Houghton)dan kekasihnya akan mengunjungi keluarga Drayton untuk meminta restu pernikahan mereka. Tapi, kekasih Joey bukanlah orang biasa. John Prentice (Sidney Poitier) adalah pria kulit hitam. Hal ini sangat absurd di tahun 60an. Bahkan Matt (Spencer Tracy) dan Christina (Katharine Hepburn) tidak bisa menutupi rasa shock mereka atas keputusan putri mereka.
Dinamika cerita ini bagus banget. Sama seperti Before Sunrise, jalan cerita film ini hanya berjalan dalam satu hari. Semuanya mengalir dan penonton diajak untuk mengenal lebih baik keluarga Drayton in one day, and it's enough. Gue jadi ingat tentang salah satu resensi film ini yang mengatakan bahwa film ini terlalu preachy. Mungkin filmnya sedikit preachy, tapi gak se-preachy 9 Summers 10 Autumns ataupun Forrest Gump. Film ini mengajak kita untuk melihat reaksi dari berita pernikahan antara kulit putih dan kulit hitam, yang keluarganya aja belum pernah bertemu sama sekali (yang gue yakin kalau ada sinetronnya pasti...). Memang filmnya gak menjamin lo bakal ketawa ngakak, tapi gue tetap suka humornya yang...sopan dan ringan.
Gue suka banget semua aktor dan aktrisnya, termasuk Roy E. Gleen dan Beah Richards yang berperan sebagai orangtua John.....kecuali Katharine Houghton. Menurut gue dia agak lebay di film ini. Dan gue gak suka karakternya, I think Joey is a dumb, typical rich white girl. Meskipun dia mencintai John dan orangtuanya, masa dia gak berpikir bahwa perkenalan pertama keluarga yang beda kulit, apalagi tidak saling mengenal, akan membawa impact yang sangat mengejutkan? She's very annoying.
Obviously, gue lebih suka chemistry antara Spencer Tracy dan Katharine Hebprun. Biasanya kalau nonton film, gue lebih suka lihat couple yang lebih tua daripada yang muda. Tracy and Hepburn didn't go all (disgusting) lovey-dovey as a couple, they're mature and steady (ya iyalah!). Tapi bukan berarti bahwa mereka adalah hypocrite white-rich couple yang dingin dan tidak saling mencintai. They love each other, and most importantly, respect each other. Itu terlihat dimana mereka mendiskusikan John dan Christine yang menasihati John dengan cara yang cukup halus. Tidak hanya mereka mempunyai chemistry, akting mereka secara individual bagus banget. Hepburn sebagai ibu yang emosional dan tabah, dan Tracy sebagai ayah yang penyayang dan keras kepala. They just nailed it.
Sidney Poitier juga berhasil berperan sebagai Dr. John Prentice. Karakternya cocok dengan latar belakangnya. John adalah pria yang dewasa dan tenang, sangat berlawanan dengan si annoying Joey. And thankfully, this movie has a scene where Poitier could show off his acting skill.
Gue menanggap bahwa John dan Joey adalah pasangan yang too good to be true. Masa pacaran mereka singkat banget, dan tiba-tiba mereka mau menikah. Selama di film ini, gue melihat bahwa mereka gak menyelesaikan masalah seperti orangtua mereka. Their relationship is too smooth. Gue hanya menganggap bahwa mereka cuma couple yang desperate untuk menikah, karena William Rose tidak menunjukkan apakah pasangan ini bisa menghadapi konflik atau tidak.
Selain, itu, gue benci adegan terakhirnya. Bagian itulah yang preach banget. 8,9/10
But then the morning comes, and we turn back into pumpkins, right? -Celine
I watch romance, but that doesn't mean that I'm a typical romance-sappy freak. Gue termasuk orang yang (sangat) meremehkan film-film romance, apalagi kalau pembuatnya bukan Woody Allen ataupun Clint Eastwood (?) Celine (Julie Delpy) dan Jesse (Ethan Hawke) adalah dua orang yang asing bertemu di kereta. Setelah mereka mengobrol cukup lama, mereka menyadari bahwa mereka tertarik dengan diri masing-masing. Jesse akhirnya nekat untuk meminta Celine turun dari kereta dan mengikutinya untuk mengelilingi Wina.
WARNING : SPOILER ALERT!
In the beginning, I groaned and thought, "God, not another cliche!" But, the little brain (?) said to me, "Hey, just give this movie a chance." And......................you know what? I'm glad that I gave this movie a chance. Chemistry antara dua pemain utama tentu saja adalah salah satu hal yang utama dalam film romance. Ethan Hawke dan Julie Delpy berhasil membangun chemistry yang kuat, and not disgusting. Memang penampilan mereka tidak seemosional Streep & Eastwood di The Bridges of Madison County ataupun Winslet & DiCaprio di Revolutionary Road, tapi penampilan mereka tetap di kategori bagus karena Before Sunrise bukan film drama berat seperti dua film yang tadi gue sebut. All I can say is Julie Delpy and Ethan Hawke were really charming. Film ini agak meningatkan gue pada Manhattan karena kedua karakternya yang cukup intelektual dan menampilkan tema opposite attract dengan sangat bagus. Sama seperti Isaac dan Mary, Celine dan Jesse adalah dua karakter intelek yang mempunyai pendapat cukup berbeda. Tapi, bukan berarti mereka akan bertengkar dan berteriak-teriak seperti orang kampungan atau mengadakan tantangan konyol. Sayangnya, kedua karakter ini juga cukup stereotip, karena Celine yang optimis mempunyai latar belakang keluarga bahagia dan bukan dari broken family. Sedangkan Jesse yang pesimis mempunyai latar belakang broken family, dan hubungannya dengan ayahnya juga cukup buruk. Hawke did a very good job as Jesse. Gue suka gesture-nya yang kadang-kadang kikuk, ataupun waktu ia mencoba untuk mendekatkan diri dengan Celine. Another thing I love from Jesse (selain karena ia diperankan oleh Hawke :p)meskipun Jesse orang yang cukup pesimis, bukan berarti ia menjadi laki-laki 'cool' ataupun playboy. Dia pesimis tapi bukan berarti ia membenci semua hal. Ia tetap normal dan stay as a human, artinya pernah merasakan hubungan yang normal, able to make a few jokes, flirt with girls, etc. Is he perfect? Of course not. Other than his pessimist issue, he can be an awkward guy. Tokoh Celine berhasil membuang citra dumb blonde (especially French). Meskipun Celine berasal dari keluarga yang bahagia, hal itu tidak menjadikannya sebagai orang yang too innocent and too happy dan annoying...seperti tokoh-tokoh drama Korea. Tidak hanya itu, fakta bahwa Celine termasuk orang yang intelek (dia mahasiswi Sorbonne) tidak menjadikannya tokoh feminis pembenci pria seperti Julia Stiles di 10 things I hate about you. Just like Jesse, Celine is so human and neutral. Oh, btw, Julie Delpy did a very good job on Celine. Ini memang film romance yang ringan, tapi bukan berarti Delpy tidak memberikan momen emosional tersendiri dan momen yang intimate dengan Hawke. Adegan yang paling menarik adalah saat Jesse dan Celine di ruangan kecil untuk mendengarkan musik. No skin contact, kissing, sex, they just tried to steal glances from each other. Adegan itulah yang membuktikan film ini berjalan dengan tidak terburu-buru, bukan lambat. Selagi Celine dan Jesse mencoba untuk mengenal satu sama lain, penonton juga ikut mengenal mereka berdua.
Salah satu keunikan film ini adalah, cerita dan latar belakang dituangkan oleh dialog-dialog tokoh utamanya. Throughout the movie, hal yang paling sering (mungkin selalu) mereka lakukan adalah berbicara. Entah pertanyaan random, past relationship, ataupun pandangan masing-masing tentang hidup. Justru hal itu yang memungkinkan terjadinya romance dalam satu hari, karena mereka berkomunikasi. Mereka berbicara, benar-benar berbicara, bukan sekedar mengatakan hal yang cheesy ataupun ciuman dan seks. Bagi gue, hal itu masih logis. Apalagi mereka tidak ada yang mengatakan I love you, karena menurut gue gak logis aja jatuh cinta dalam sehari. CINTA loh, bukan ketertarikan semata. Oh iya, lelucon yang ada di film ini cukup bagus dan membuat film ini tidak terlalu datar. Poin yang utama di film ini adalah Jesse dan Celine tidak pernah bertemu sebelumnya. Kalau mereka bertemu, kan udah biasa teman atau kenalan saling menyadari mereka mempunyai perasaan yang terpendam. Sebaliknya, film ini juga gak cheesy kayak An Affair to Remember, dimana hubungan mereka cuma sehari. Mereka tidak merencanakan untuk bertemu lagi, atau saling berkomunikasi. And one day is enough. Why? Because I personally think the dialogue is the plot. So, you need to pay more attention on the dialogue. Overall, Before Sunriseis a really smart cliche/uncliche movie. 10/10
I'm not a big fan of Raditya Dika, boleh dibilang cuma sekedar penikmat. Buku Cinta Brontosaurus aja baru gue baca setengah. But, because I love his sense of humor, gue merelakan waktu gue untuk nonton film ini, meskipun gue rada males nonton film komedi lokal.
Dika (of course Raditya Dika!) adalah penulis baru yang skeptis dengan cinta setelah putus dengan Nina (Pamela Bowie). Untungnya Kosasih (Soleh Solihun) selalu sabar menemani Dika. Kosasih akhirnya mengatur kencan-kencan buta Dika. Sayang semuanya berakhir absurd. Hingga Dika bertemu dengan Jessica (Eriska Reinisa). Setelah Dika bisa merasakan kebahagiaan dengan Jessica, Dika harus berjuang agar bukunya bisa diadaptasi menjadi film yang berkualitas. Sayangnya, ide Soe Lim (Ronny P Tjandra) sering membuat Dika terganggu.
Cinta kadalruasa? Quote itu meningatkan gue pada quote di film Annie Hall (ok, I'm too addicted to Annie Hall) yang berbunyi : Love fades. Cinta memudar. Nope, film ini beda kok dari Annie Hall.
Sekali lagi, keluhan yang pertama kali ada di benak gue seperti kebanyakan film Indonesia : sinematografnya jelek. Efek visualnya juga jelek. Visual effect sih masih bisa gue maafin. Sinematografi? Nope, it's 2013 already. Come on, you gotta make Indonesian movies better and better! Laskar Pelangi aja yang notabene film 2008 bagus kok sinematografinya. Film ini gagal menangkap sisi arsetik (?) latar tempatnya. Dan sayangnya lagi, karena lebih sering meng-close up muka (yah, gak sampai muka doang yang kelihatan sih) akting pemainnya yang biasa menjadi tidak tertutupi.
Raditya Dika, you're clearly notWoody Allen, Stephen Fry or Steve Martin. Hey, gue cukup adil loh membandingkan Raditya dengan Allen, Fry, dan Martin, karena Allen dan Martin sama-sama komedian dan Fry adalah penulis dan komedian. Gue gak tahu apakah Raditya Dika niat beneran jadi aktor atau sekedar terpaksa memerankan dirinya sendiri. Karakternya terasa cukup datar disini. Atau memang karakter Dika seperti itu? Kalaupun memang karakter Dika agak stoic, kan bisa diimprovisasi. Sebenarnya juga gak apa-apa kalau Raditya Dika tidak memerankan dirinya sendiri, kayak film Invictus. Nelson Mandela masih hidup, tapi pamerannya Morgan Freeman.
Hmm, akting pemain-pemainnya gak ada yang parah banget sih, boleh dibilang avarage. Tapi Eriska Reinisa berhasil menonjolkan diri. Dia menutupi poker face-nya Raditya Dika dengan emosi yang berhasil dibawakannya. Gue suka aktingnya, padahal gue udah skeptis dia yang bakal jelek aktingnya. Habis kalau lihat film lokal, (hampir) selalu kecewa dengan akting cewek-ceweknya. Sampai sekarang, gue masih belum bisa menemukan aktris muda yang bisa melawan Dian Sastrowaradoyo, Ladya Cheryl, dan Cut Mini...
Gue jadi ingat kasus The Iron Lady, dimana para reviewer [termasuk gue (?)] menganggap bahwa film itu gak tahu mau fokus kemana. Nah, film ini juga membawa dua topik yang kurang tergali, yaitu perjuangan Dika sebagai penulis dan hubungannya dengan Jessica. Di bagian belakang, ditambah pula dengan persahabatan Dika dan Kosasih. Film ini mencoba untuk memberika dua konflik yang sayangnya berjalan dengan shallow. Dua konflik itu kurang tergali dengan baik. Sebenarnya gak apa-apa kok film ini jadi lebih fokus ke romance kayak Annie Hall, When Harry Met Sally, (500) Days of Summer, dll. Hey, not all of rom-com movies are bad. Ketiga film itu menggali hubungan antara dua pemain utamanya dengan baik. Oh iya, humor di film ini bagaikan (ceilah) roller coaster, naik-turun. Kadang-kadang lucu, kadang-kadang garing, kadang-kadang juga kurang 'nendang'.
Overall, I'm pretty disappointed by this movie. 4,3/10
Come and play with us, Danny. Forever and ever. -The Graddy Twins
Ini dia! Salah satu film horor klasik yang paling berpengaruh! Alasan gue nonton film ini bukan karena Jack Nicholson, tapi karena rasa ingin tahu gue terhadap sang sutradara, Stanley Kubrick! Dan... hasilnya sama sekali gak mengecewakan!
Film ini diangkat dari novel Stephen King yang berjudul sama. Jack Torrance (Jack Nicholson) adalah seorang mantan pecandu alkohol yang memutuskan untuk bekerja di Hotel Overlook. Jack mempunyai istri bernama Wendy (Shelley Duvall) dan putra bernama Danny (Danny Lloyd). Sebelumnya, ia sudah diperingatkan bahwa Jack harus menghadapi badai musim salju. Tidak hanya itu, ia juga diperingatkan tentang pengurus sebelumnya, Charles Grady, yang membunuh istrinya dan anak kembarnya. Setelah sampai di Hotel Overlook, keluarga Torrance juga diperingatkan untuk tidak memasuki kamar 237 yang misterius.
Pertama-tama, gue ingin mengingatkan kalau gue adalah penonton 'bego', jadi maklumi kalau review dan observasi gue tentang The Shining gak sebanyak dan 'sedalam' artikel lain.
Bravo for Stanley Kubrick! Kalau The Silence of the Lambs bisa memenangkan Best Picture di Academy Awards, kenapa The Shining tidak bisa? Harusnya pihak Academy malu tidak memberikan nominasi apa-apa pada The Shining. Stanley Kubrick, Jack Nicholson, Danny Lloyd, Diane Johnson (co-screenplay), Wendy Carlos and Rachel Elkind (music) really deserved Oscar nominations.
Akting Jack Nicholson keren banget. Ekspresinya yang gila...wow, hehe. Gue benar-benar gak tahu harus kasih komentar apa soal penampilan Nicholson selain...keren! Sebelum pikirannya terpengaruh oleh hotel pun, menurut gue dia agak mengerikan. Apalagi setelah terpengaruh. Emang kalau nonton filmnya gue gak takut lihat Jack Nicholson, tapi kalalu gue ketemu orang kayak Jack Torrance atau Jack Nicholson senyum kayak gitu di dunia nyata? Jangan ditanya deh.
Danny Lloyd juga keren banget. Boleh dibilang...dia versi mininya Nicholson, hehe (in a good way). Ekspresinya sama kuatnya dengan Nicholson. Danny Lloyd clearly was born to became Danny Torrance.
Shelley Duvall? Satu-satunya adegan dimana aktingnya Shelley Duvall bagus.........................the famous 'Here's Johnny!'. Selain itu? Gue gak suka aktingnya. Yang paling konyol waktu dia berkomunikasi dengan sherif lewat radio. Intonasinya terlalu dibuat-buat. Percakapannya juga kaku dan too friendly. Kalau dia gak histeris, Duvall terlihat kaku dan lifeless. Matanya juga terasa kosong. Duvall couldn't communicate with her eyes. Atau memang karakter Wendy seperti itu? Gue gak terlalu tahu karena gue belum pernah baca novelnya. So, gak ada perbandingan kayak review Never Let Me Go.
Musik dan sinematografi sangat berperan di film ini. Bagaimana caranya membuat scene sederhana seperti lobi hotel, anak kembar, atau apapun menjadi menakutkan? Gue termasuk orang yang (sangat) meremehkan horor psikologi, karena tiap kali gue nonton 'horor' psikologi, gue malah jadi ngantuk. Tapi...............................harus gue akuin selama 1,5 jam pertama gue takut banget. Gue dengan sok memberanikan diri nonton The Shining malem-malem dan hasilnya...............................gue langsung stop filmnya dan lanjut nonton pas pagi -__-
Musiknya sukses bikin gue stress selama nonton film ini. Begitu juga teknik yang dipakai Kubrick pada adegan Danny mengendarai tricycle. Musiknya jarang berhenti di film ini. Saat ada adegan yang 'mencurigakan', gue langsung tutup mata, dan ngintip dari sela-sela jari gue. Setelah gue perhatikan, ternyata adegan yang 'mencurigakan' itu biasa aja. Gue pernah lihat yang lebih parah dari film-film gore atau serial kayak Criminal Minds, C.S.I, dll. Sial gue ditipu Kubrick-_-
Ending film ini? Sepertinya hanya Tuhan dan alm. Stanley Kubrik yang tahu. Entah semua pengalaman itu hanya ilusi, atau Jack kebetulan mempunyai wajah yang sama dengan pemilik sebelumnya.
Oh iya, gue juga mau berbagi beberapa fakta film The Shining yang gue ambil dari wikipedia dan imdb :
1. Stephen King sendiri kurang puas dengan film The Shining dan SANGAT tidak mensetujui Jack Nicholson sebagai Jack Torrance.
2. Adegan dimana Wendy menggunakan pemukul baseball tidak diulang sampai 147 take, hanya 34-35 take. Justru adegan Holland menjelaskan kepada Danny apa itu shining yang mengambil 148 take.
3. Stanley Kubrick sempat berpikir untuk merekut Robert de Niro, Robin Williams, dan Harrison Ford sebagai Jack Torrance. Sedangkan Stephen King lebih menyukai Christopher Reeve sebagai Jack.
4. Shelley Duvall sempat sakit dan tertekan setelah syuting The Shining.
5. Jack Nicholson melakukan ad-lib pada dialog 'Little pigs'.
6. Selama syuting, Stanley Kubrick menyuruh para pemain untuk menonton Rosemary's Baby, Eraserhead, dan The Exorcist. 7. Video klip The Kill (Bury Me) - 30 seconds to mars terinspirasi dari film The Shining.
8. Banyak kritikus berpendapat bahwa The Grady Twins terinspirasi dari foto Diane Arbus yang berjudul Identical twins, Roselle, New Jersey, 1967. Kubrick sendiri pernah bertemu dan belajar dengan Arbus.
Nah, tadi kan gue bilang kalau 1,5 jam pertama Kubrick berhasil nakutin dan menipu gue, tapi setelah itu, gue malah jadi ngantuk karena tahu kalau musik yang dipakai hanyalah trik. Mungkin efeknya akan berbeda kalau gue nonton film ini siang dan gak sendiri....gue aja nonton film Thailand siang-siang dan rame-rame tetap takut-_- So, as a horror movie, I don't really like it, but as a movie, I really love it! (?) 8,5/10
P.S : Film ini emang gak menegangkan kalau lo tonton siang, makanya nonton film ini sendirian pas malam, dan matiin lampu! Dijamin horornya terasa...
Never underestimates the kindness of the common man, Philip. -Butch
Thank God tadi pagi gue lagi iseng nonton HBO Signature, karena di HBO-S gue gak sengaja lihat mukanya mbah (?) Clint Eastwood. Gue gak akan bilang kalau gue fans berat Clint Eastwood, tapi sejak gue nonton The Bridges of Madison County, Mystic River dan Invictus, gue jadi tertarik dengan Clint Eastwood. Not as an actor, but as a director. Robert 'Butch' Hayness (Kevin Costner) adalah narapidana yang kabur dari penjara agar bisa ke Alaska. Agar dia mempunyai modal untuk ke Alaska, ia dan temannya Pugh (Keith Szarabajka) memutskan untuk merampok sebuah rumah. Sayangnya rencana mereka berantakan dan mereka terpaksa menculik seorang anak laki-laki bernama Philip (T.J. Lowther). Keadaan makin kacau karena mereka dikejar Texas Rangers yang dipimpin oleh Red Garnett (Clint Eastwood).
WARNING : MENGANDUNG SPOILER
Salah satu hal yang cukup susah adalah menulis skenario film yang netral. Dan John Lee Hancock berhasil melakukan hal itu. Film ini tidak mencoba untuk memanusiakan Butch, ataupun membuat Red sebagai pahlawan absolut. Bukan berarti film ini juga mencoba untuk mensadiskan Butch dan membuat Red sebagai polisi dingin bossy yang tidak mau memahami masa lalu si penjahat. Semua karakter disini manusia. Tokoh Philip juga berhasil menjadi tokoh anak yang down to earth. Dia tidak sepenuhnya menjadi nakal atau memberontak ibunya. Ia sayang pada Hutch, tapi ia juga sayang ibunya. Ia memang mencuri topeng yang ia suka, tapi bukan berarti ia tidak merasa bersalah dan merasa bangga setelah melakukannya. Costner did a very good job. Maaf ya gue sempat meremehkan lo, hehe. Dia mencuri, dia membunuh, dan dia mengintimidasi orang, but basically, he's a good person. Dia bisa saja membunuh atau mengabaikan Philip, tapi dia malah memperhatikannya, and in his own way, he loved Philip. Gue suka aksen Selatannya Costner, I don't know if he's really a country boy. Kalau bukan, berarti hebat banget. Biasanya gue gak suka sama akting yang kurang emosional dan berat, tapi gue suka banget akting Costner disini. Kalau dilihat dari sejarahnya Butch, kemungkinannya kecil sekali dia tumbuh menjadi orang yang emosional dan sentimental. Tapi Costner juga tidak memberikan penampilan yang terlalu dingin dan cool. Intinya, Costner berhasil sekali menjadi sosok Butch. T.J Lowther juga berhasil menjadi Philip. Dia tahu bagaimana memerankan anak laki-laki yang hidupnya cukup dikekang oleh ibunya. Gue suka banget cara dia berkomunikasi dengan matanya. Tapi...gue kurang suka ekspresinya waktu mau nangis. Gue jadi teringat Jodie Foster (Iris) di film Taxi Driver. Untuk bermain film ini, Jodie harus meyakinkan psikiater kalau dia punya mental yang kuat untuk memerankan seorang pelacur. Kenapa? Karena waktu itu, Jodie Foster baru berusia 13 tahun! Apakah Lowther harus meyakinkan psikiater atau tidak untuk bermain di film ini, gue gak tahu. Memang dia tidak menjadi pelacur, tapi beberapa adegan di film ini tentu membuat seorang anak kecil berpikir dua kali untuk film ini.
Film bromance terbaik yang pernah gue tonton adalah The King's Speech, karena David Seidler berhasil menggali hubungan Bertie dan Leonard, dan skrip Seidler tidak sia-sia karena Geoffrey Rush dan Colin Firth berhasil membangun chemistry yang bagus banget. Hancock juga berhasil membangun dan menggali hubungan mereka berdua, dan diwujudkan dengan chemistry yang bagus banget oleh Costner dan Lowther. Kalau menurut gue sih, awal hubungan antara Butch dan Philip too smooth. Hubungan mereka harusnya diberi sedikit 'cobaan' seperti Ted Kramer dan anaknya di Kramer vs Kramer. Tapi, hanya awalnya yang too smooth. Adegan yang menurut gue cukup menarik adalah saat polisi sudah menemukan mobil Butch dan Butch terpaksa menabrak beberapa mobil polisi. Philip hanya berdiri di depan toko dan tiba-tiba Butch muncul dan menyuruh Philip untuk membuat pilihan, mengikuti Butch atau meninggalkan Butch. Tentu saja Philip menerimanya, tapi adegan itu juga indikasi bahwa Butch would never leave Philip, and Philip trusted him. Itu adalah adegan leap of faith tanpa harus melompat dari tempat yang tinggi.
Tidak hanya Costner dan Lowther di film ini. Clint Eastwood juga bagus banget. Walaupun masih agak dibayang-bayangi Costner, Eastwood tampil dengan karismatik disini. Begitu juga pameran-pameran pembantu seperti Laura Dern (Sally Gerber, kriminologis) dan juga orang-orang yang dicuri oleh Butch. Sinematografinya bagus banget. Eastwood benar-benar tahu saat yang tepat untuk menangkap ekspresi aktor-aktor film ini. Oh iya, gue juga gak keberatan dengan musik yang minimalis di film ini. The serenity of A Perfect Worldmade it so real and quite intense. Film ini dengan sabar menggali hubungan Butch dan Philip dan situasi Texas Rangers, tapi bukan berarti film ini berjalan dengan lambat. Tapi.......................................gue kurang suka endingnya. Terasa kurang pas dan dramatis. 9,8/10