Minggu, 28 September 2014

Grave of the Fireflies (Hotaru No Haka)

dalkomlollipop.wordpress.com

Grave of the Fireflies merupakan film animasi Jepang tahun 1988 yang disutradarai dan ditulis oleh Isao Takahata.  Film ini diadaptasi dari novel semi-autobiografi berjudul sama yang ditulis oleh Akiyuki Nosaka.  Film berdurasi 89 menit ini diproduksi oleh Studio Ghibli dan dirilis bersamaan dengan salah satu film Ghibli yang terkenal, My Neighbor Totoro.  Meskipun film ini tidak meraup keuntungan setinggi My Neighbor Totoro, film ini menerima banyak pujian dari banyak kritkus film.

Seita, Setsuko, dan ibu mereka bersiap-siap untuk pergi ke sebuah bomb shelter di Kobe.  Ibu mereka berangkat lebih dulu sementar mereka menyimpan persidaan makanan dan sedikit bekal.  Mereka terkejut ketika bom mulai jatuh di lingkungan mereka.  Mereka selamat dan tidak terluka, namun ibu mereka mengalami luka bakar yang sangat parah.  Karena Seita takut dengan reaksi Setsuko, maka Seita tidak mempertemukan Setsuko dengan ibunya.  

Beberapa hari kemudian, Seita dan Setsuko pergi ke rumah bibi mereka untuk mengungsi.  Sebenarnya ibu mereka sudah meninggal, namun Seita tidak berani untuk menyatakan sejujurnya kepada Setsuko.  Awalnya, sang bibi menerima mereka dengan terbuka.  Namun seiring berkurangnya rasio makanan, sang bibi justru tidak senang dengan kehadiran mereka.  Bahkan secara tidak langsung menyatakan bahwa mereka tidak pantas untuk ikut makan karena mereka tidak berkontribusi di masa perang.  Tidak tahan, Seita dan Setsuko memutuskan untuk pergi dari rumah sang bibi.

SPOILER ALERT!

photo9.us
Fuck this film.  Belum 30 menit, air mata dan ingus gue meleleh gara-gara nih film.  Bangke.

Menurut wikipedia, ada dua pandangan mengenai film ini.  Orang-orang Barat memandan film ini sebagai film anti-perang sedangkan orang Jepang memandang film ini sebagai film obey-your-elders.

Anti-war, conscience, and society

Kenapa film ini dipandang sebagai film anti-perang?  Jelas karena film ini memperlihatkan dampak-dampak perang yang sangat mengerikan.  Perang membuat orang-orang kehilangan tempat tinggal mereka, orang yang mereka cintai, kebahagiaan, dan bahkan bisa membuat orang-orang kehilangan hati nurani mereka.  Seita dan Setsuko adalah anak-anak yang kehilangan rumah dan ibu mereka.  Seita mungkin sudah bisa 'mencerna' perang, tapi Setsuko masih terlalu muda untuk 'mencerna' perang dan bersikap dewasa mengenai hal itu.  Fuck, they're not even adults, so why and how should they know how to act as adults in war?  Inilah fakta yang dilupakan oleh orang-orang dewasa di sekitar mereka.  Bukan berarti mereka bisa bermanja-manja, tapi mereka juga tidak bisa dituntut untuk 'matang' secara tiba-tiba.  Yang kurang jelas dari sini kenapa Seita dan Setsuko tidak pergi ke sekolah dan apakah itu bisa dihitung sebagai 'kontribusi' atau tidak.   

Misalkan ada bayi yang belum pernah diajarin untuk berjalan.  Dia gak pernah pake alat bantu buat berjalan atau apalah itu.  Dia cuma biasa merangkak.  Suatu hari, orangtuanya ngajarin dia belajar dan expect tuh bayi bisa jalan setelah hari itu selesai.  Apakah semua bayi bisa langsung jalan dengan pelajaran satu hari padahal dia cuma biasa merangkak?  Cuma orang bego yang jawab iya. 

Ada adegan dimana seorang dokter memeriksa Setsuko.  Si dokter mengatakan bahwa Setsuko tuh sebenarnya gak sakit tapi kena malnutrisi, alias kekurangan nutrisi.  Jadi yang dibutuhkan Setsuko tuh makanan, bukan obat-obatan.  Seita yang frustasi akhirnya meledak karena dia bingung mau cari makanan dimana.  Si dokter juga gak menawarkan bantuan apapun.  Ini adalah salah satu contoh bagaimana perang bisa membuat kita menjadi mahluk yang apatis.  Emang sih itu cuma adegan film, tapi cerita kayak gitu pasti pernah terjadi beneran.  Gue tahu bahwa membantu orang gak selalu gampang.  Tapi manusia merupakan mahluk yang (katanya) memiliki hati nurani.  So why helping people is so hard?  Bukan karena perang, bukan karena gak ada uang atau waktu, tapi pada akhirnya karena ego kita masing-masing.  I know it's not always the case but ego is the main factor on our apathy.  Hal ini dibuktikan di adegan pertama Grave of the Fireflies.  Perang memang sudah berakhir, tapi tidak ada orang yang menunjukkan kepedulian pada Seita yang sekarat.  Orang-orang tidak bisa menggunakan perang sebagai alasan mengapa mereka tidak membantu Seita karena perang sudah berakhir saat itu.  Jadi menurut gue perang tidak membuat kita tidak mampu untuk melakukan kebaikan, tapi perang membuat kita lebih apatis dan lebih egois dari yang sebelumnya.  

basementrejects.com
 
You-should-respect-me-because-my-age-not-my-deeds 

Isao Takahata menyatakan bahwa pesan yang ingin ia sampaikan di film ini adalah anak-anak muda harus menghormati orangtua mereka, terutama di masa-masa yang susah.  Bibi Seita dan Setsuko memang tidak melukai mereka secara fisik, bahkan tetap memberi mereka makan.  Namun perlakuan dan perkataan sang bibi tentu membuat mereka tertekan.  Apalagi mereka sudah berusaha untuk bertahan di rumah si bibi, tapi mereka akhirnya menyerah dalam tekanan.  Kita perlu ingat bahwa manusia tidak hanya punya kebutuhan fisik, tapi juga kebutuhan psikis.  Mungkin tindakan Seita memang bodoh, namun tidak semua orang bisa bertahan di suatu rumah yang membuat mereka tidak bahagia.  

Suatu hari, Seita dan Setsuko main piano dan bersenang-senang, lalu sang bibi memarahi mereka karena mereka bersenang-senang di saat yang susah.  Bitch please, they even don't waste money or stuff like that.  They only play a fuckin' piano.  Perang memang mengerikan dan kita tidak boleh melupakan orang-orang yang berjuang dalam perang.  Namun apa salahnya merasakan sedikit kesenangan di saat perang?  Apa salahnya untuk melupakan kesedihan dan kepahitan hidup untuk sesaat?  Apa salahnya untuk menyelamatkan secuil masa kanak-kanak?  Apakah kita harus berlarut dalam kesedihan hanya karena orang lain merasa sedih?  Apakah kita harus dihantui kesedihan dan depresi hingga akhirnya kita bunuh diri?  Hal-hal inilah yang membuat gue mengerti kesusahan Seita dan Setsuko untuk menghormati bibi mereka.  Gue merasa sedih bagaimana Takahata berusaha memasukan pesan itu dengan figur orangtua yang menekan anak-anak.     

Ini juga membuat gue bertanya-tanya apakah kita memang harus menghormati orang-orang tua yang telah memberi kita makan.  Apakah tolak ukur kehormatan hanya umur dan apakah mereka memberikan kita makan atau tidak?  Kalau iya, berarti banyak banget orang yang gak gue hormatin.  Yang jelas, kita harus merasa bersyukur bahwa kita dihidupi oleh orang-orang yang lebih tua saat kita kecil.  Tapi apakah kita harus tetap menghormati orang-orang itu jika tindakan-tindakan mereka jelas salah?  Dan mengapa kita harus tetap menghormati mereka?  Kalau gue sih menggunakan perbuatan dan pemikiran sebagai tolak ukur gue dalam menghormati seseorang, bukan umur dan apakah mereka memberikan gue makan atau tidak.  Contohnya aja Osama Bin Laden, dia lebih tua daripada gue, tapi tindakan-tindakan yang dia lakukan menunjukkan betapa kecil otak dan hatinya.  Karena itulah meskipun dia lebih tua daripada gue, gue sama sekali gak menghormati dia.  So, kita harus bisa membedakan being grateful and respect kepada orang lain.     

Other stuffs

Animasinya bagus meskipun masih rough at the edge (seperti animasi Jepang lainnya).  Musiknya Michio Mamiya tuh bagus, tapi gak punya efek memorable seperti musiknya Joe Hisaishi.  I just can't think any song or music from this film.  Kesedihan dan kengerian film ini entah bisa membuat orang terharu atau illfeel dengan kelebayan film ini.  Gue sedih sama film ini bukan karena kematian tokoh-tokohnya.  Tapi gue sedih karena gue mikir apakah manusia tuh mahluk yang punya hati nurani atau sekedar mahluk yang egois. 

Overall

Masih mikir film kartun tuh film anak-anak gak penting?  Nonton aja film ini. 8,7/10


    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar