Tampilkan postingan dengan label Cinema Paradiso. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cinema Paradiso. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Mei 2014

Cinema Paradiso #8: Artikel Sok Angsty dan Melankolis Tentang "5 Centimeters per Second"

Pic cr: sepasangkata.wordpress.com

Biasanya, kalau gue mau ngomong tentang satu film, gue bakal review film itu dan nilai aspek efek, sinematografi, akting, plot, dsb.  Lalu, gue bakal menentukan nilai film itu.  Well, hal-hal itu tadinya akan gue lakukan untuk film 5 centimeters per second.  But in the end, gue memutuskan untuk bacot tentang perasaan dan pemikiran gue setelah menonton film itu.

THERE'S F**KIN SPOILER IN THIS POST!!!

Sebelum gue nonton film ini, cuma ada satu film yang benar-benar membuat gue berharap film itu berakhir bahagia, yaitu Never Let Me Go.  Hanya ada dua film yang membuat gue depresi berhari-hari setelah nonton film itu, yaitu Magnolia dan Blue Valentine.   5 Centimeters per Second masuk ke dua kategori tersebut.

Gue gak merasa langsung depresi setelah menontonnya.  Tapi gue membiarkan pikiran gue melayang-layang tentang film ini.  Kenapa?  Karena waktu gue mikirin film ini, terjadi kemacetan dalam proses boker gue.  

Lu mau tahu fakta super kocak?  Gue berharap nih film berakhir bahagia, tapi gue tahu gue bakal mencaci maki film ini kalau film ini dapet happy ending.  But I just can't stand the melancholy and bitterness in this film's ending!  I didn't even know why I feel so mad, depress, and angsty about the ending.  Bahkan perasaan yang gue rasakan lebih dari yang gue rasakan setelah menonton Never Let Me Go, Magnolia, ataupun Blue Valentine.  Gue juga udah banyak nonton film romance yang tidak berakhir bahagia seperti Annie Hall, (500) Days of Summer, Remains of the Day, dan tentu saja, Blue Valentine.  Lalu gue sadar bahwa gue benci ending-nya bukan karena Takaki dan Akari tidak bersama alias pacaran di akhir film.

Apa yang terjadi pada Takaki merupakan salah satu ketakutan gue.

Takaki tidak menggunakan kesempatan dan keberuntungannya sama sekali.  Pada kesempatan pertama, Takaki diberi kesempatan untuk mengungkapkan perasaan terdalamnya pada Akari.  Dia tidak menggunakan kesempatannya.  Selanjutnya, Takaki diberi kesempatan untuk melupakan Akari dan melanjutkan kehidupannya.  Tidak hanya sekedar melanjutkan kehidupannya, tapi ia juga diberi kesempatan untuk tidak merasakan kepahitan hidup dan kesepian.  Namun, Takaki malah terus memandang jauh dan mengharapkan sesuatu tanpa memperjuangkan hal itu.  Ia tidak melihat sekelilingnya dan berjuang untuk hal yang lebih mudah diperjuangkan.  And he lost the second chance.  Akibatnya dia harus hidup dalam a pool of (un)happiness.  Sama seperti ababil galau lainnya, dia susah move on dari orang yang dicintainya. 

Hal-hal itulah yang gue takutkan.  Gue takut suatu saat nanti hidup gue dipenuhi ketidakbahagiaan, what ifs, dan susah move on dari memori.  Inilah yang membuat 5 Centimeters per Second membuat gue lebih depresi daripada film Magnolia dan Blue Valentine.  

Bagaimana dengan nasib Akari?  Akari -sekilas- bisa hidup lebih baik daripada Takaki.  Dia memang juga tidak berani mengungkapkan perasaannya, tapi Akari berhasil membuka dirinya dan move on dari masa lalunya dengan Takaki.   

Pic cr: agilcahyap.wordpress.com

Betapa kontrasnya Takaki dan Akari, bukan?  Kita juga bisa melihat dari adegan crossrail mereka, dimana Takaki menunggu untuk melihat wajah Akari sementara Akari tidak menunggu Takaki.  Itu artinya hati Takaki masih saja menunggu Akari, sedangkan Akari sudah 'melepaskan' Takaki dan bertunangan dengan pria lain.

Salah satu blogger merasa marah bagaimana Takaki 'diperlakukan' secara tidak adil oleh sang penulis, karena hanya Takaki lah yang menderita di film ini.  Tadinya gue merasa marah juga karena alasan yang sama dengan blogger tadi.  Tapi pada akhirnya, Takaki memang 'pantas' mendapatkan 'hukuman' seperti itu.  Ia harus membayar harga yang mahal untuk kebutaannya dan kepengecutannya.  

Gue rasa -dalam hidup-, seseorang harus melakukan kesalahan agar orang lain belajar dan atau tidak mengulang dari kesalahan yang telah dilakukan.  Seandainya Takaki tidak melakukan kesalahan, apakah penonton akan belajar sesuatu dari film ini?  Seandainya film ini berakhir bahagia, apakah penonton akan menyadari sesuatu dari film ini?

Gue udah tahu jawaban dari dua pertanyaan tadi.  But I can't help to imagine that Takaki and Akari have a happy ending.         

Minggu, 20 April 2014

Cinema Paradiso #6: Gue, Feminisme, Film, dan Lainnya


You know, sejak kecil gue percaya bahwa posisi wanita setara dengan pria.  Hal ini menyebabkan gue jijik dengan berbagai romcom yang ceweknya terlalu bergantung dengan si cowok.  Gue mengidolakan wanita seperti Kartini, Elizabeth I, Joan Jett, sampe tokoh fiktif seperti Beatrix Kiddo, dan Catwoman.  Because I want to be like them.  I want to be intelligent, confident, and not being too dependent on man or love life.  Blablabla, akhirnya gue mengidentifikasikan diri gue sebagai seorang feminis.  Wait a minute, sebenarnya apa sih feminisme dan feminis?

Menurut wikipedia, feminisme adalah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria, sedangkan feminis adalah orang yang melakukannya.   Harus gue akuin, walaupun gue mengaku bahwa diri gue seorang feminis, gue tidak belum melakukan hal besar seperti Elizabeth I atau Kartini.  Dulu gue kira untuk menjadi seorang feminis sejati dan wanita yang ideal, wanita harus pintar banget, gak tergantung cowok sama sekali, gak berdandan cute/girly/menjijikan, dan kuat dalam segi fisik dan mental.  It's extreme, right?  Fyi, I've realized this fact since...6 months ago, I guess?  Gue sendiri bahkan tidak memenuhi persyaratan yang gue buat sendiri.  Kenapa menurut gue seorang feminis sejati memenuhi syarat-syarat yang gue tulis?  Karena pandangan gue dan beberapa wanita lainnya dibentuk oleh film-film atau tokoh wanita lain yang memenuhi syarat-syarat tersebut.  Tapi sekarang gue sadar bahwa ada yang salah mengenai kekaguman mereka dan pandangan gue tentang feminis.  There are some things I realized about being a true feminist.


1. It's okay for women (and me) for not having IQ as high as Einstein.

We all know that Hermione is a fucking know-it-all, right?  Itu kenapa gue menganggap dia sebagai panutan untuk other teenage girls, not bella fucking swan.  Tapi setelah gue pikir-pikir, emangnya cewek bego gak boleh jadi seorang feminis?  Toh pada intinya feminis adalah seseorang yang memperjuangkan emansipasi wanita.  Tidak ditulis harus pintar atau bego.  Hanya karena seorang cewek bego, bukan berarti dia dibawah pria atau seluruh kaum wanita itu dibawah kaum pria.  Setiap cewek punya sesuatu yang bisa menyaingi kaum cowok, gak harus di otak doang.  


2. Some of us are kere which means we don't have money to buy edgy or badass stuffs.

Gue ngefans banget sama 2NE1 karena menurut gue mereka beda dari GB Korea lainnya.  Ketika banyak cewek Korea yang berusaha tampil cute atau *batuk* slutty mengeksploitasi bagian tubuhnya, 2NE1 is just being 2NE1!  2NE1 is edgy, confident, and bad-ass!  But, we shouldn't judge a book by the cover.  Sejak gue masuk SMA, gue benar-benar menyerapi pepatah itu.  Walaupun gue masih rada jijik kalau lihat cewek yang gayanya terlalu cute atau fenimim, gue sadar bahwa itu hak mereka dan hanya karena mereka bergaya seperti itu, bukan berarti mereka selemah yang kita kira.  Being a feminist is about on the inside, not outside.    

3. I'm not a freaking ninja and so are you...I think

Hanya karena ada tulisan ninja diatas dan gue pake foto Catwoman bukan berarti otak gue konslet-_- okay, maybe a bit...

As expected, gue ngefans sama Catwoman dan Beatrix Kiddo karena mereka bisa kick some asses!   But you see, not all of us punya bakat menjadi ninja atau bahkan melakukan jungkir balik.  Heck, I can't even do a freaking back roll.  Intinya, gak semua cewek jago dalam urusan bela diri.  And that doesn't make women's position to be under men!  Toh gak semua cowok jago dalam urusan bela diri, ya kan?  Cewek masih bisa belajar keteramilan lainnya untuk equal dengan pria, atau minimal mandiri.

4. Most girls want a piece of Ryan Gosling (?)

Gue kecewa karena di romcom dan drama Korea, cewek sering diperankan sebagai karakter yang tergantung sama cowok dan love life-nya.  Malah gue dulu berpikir kalau cewek gak nikah berarti dia hebat banget karena dia mandiri.  Well, I'm a bit hypocrite if I say that because...I'm a bit hopeless romantic girl.  A bit.  Gue ngefans sama film The Notebook, Titanic, When Harry met Sally, dan film romance lainnya.  Gue juga ngefans sama Leo DiCaprio, Ryan Gosling, Song Joongki, Big Bang, TVXQ, dan cowok ganteng lainnya.  Pada intinya, most people have a little romance fantasy in their heads dan ketertarikan pada seseorang, entah itu artis atau orang yang dikenal.  

I now realize it's okay to be a bit concern about your love-life, your crush, fangirling/fanboying a romantic film/k-drama, or having romantic fantasy on your head 24/7, karena hal-hal itu manusiawi banget.  Asalkan lo tahu batasannya.  Kalau semua cewek harus cuek sama cowok dan gak tertarik untuk mempunyai love life, yakali kita semua jadi mahluk aseksual atau lesbian-___-  Daripada jadi aseksual, gue sih mendingan pacaran sama Ryan Gosling, haha.  The point is, just because you dating, marrying or having fantasy about someone you love, doesn't mean that you 'give in' feminism. 


Blablabla, akhirnya gue sadar kalau fantasi gue akan feminis sejati dan wanita ideal itu terlalu ekstrim dan mengada-ada.  Surprisingly, film yang menyadarkan gue akan hal itu adalah film...Before Midnight.  Mungkin ada beberapa dari kalian yang bingung apa hubungannya film romance kayak Before Midnight sama feminisme, so gue akan cerita sedikit.

Suatu hari, seekor gorila pergi menyendiri dan sibuk berpikir mengenai banyak hal.  Tiba-tiba ia berpikir mengenai film indie.  Pikirannya mengenai film indie pun berarah kepada film Before Midnight.  Lalu ia berpikir mengenai tokoh wanitanya, Celine.  Ia memikirkan tokoh Celine yang pengetahuannya luas, meskipun ia menikah ia tetap mandiri, dan punya dedikasi terhadap pekerjaan & keluarganya.  Si gorila itu akhirnya mendapat logos dari leluhur gorila.  Ia akhirnya mendapat empat logos yang telah dituliskan diatas.  Bahkan contoh wanita ideal selama ini ada di hadapan gue sendiri: mak gue sendiri.  Setelah gue pikir-pikir, mak gue mirip Celine dari trilogi Before kok.  Walaupun dia gak pirang, bukan orang Perancis, dan gak bisa bahasa Yunani.

Well, cerita tadi menutup artikel membosankan yang gue tulis.  Selamat Hari Kartini buat kita semua!

Selasa, 25 Februari 2014

Cinema Paradiso #5 : Male Movie Characters I would Date

 
First, this list contains male movie characters whom I would date, not the most romantic men, not the sexiest male movie characters, and mostly not the most f*ckable male movie characters.  Second, I'm really sorry that I haven't watched (yet) legendary romance films such as Casablanca, Dirty Dancing, Grease, An Affair to Remember, Pretty Woman, Love Story, Ghost, etc.  Third, it's MY list and MY criteria.  Fourth, the sequence in the list is disordered.

Ferris Bueller from "Ferris Bueller's Day Off"


Why would I date him?

+ He's funny
+ He's smart and creative
+ He really knows how to have fun

Why would I not date him?

- He can be a bit insensitive to his friends
- He seems too laid-back 

Guido from "Life is Beautiful"


Why would I date him?
 
+ He's an optimistic and cheerful
+ He has great sense of humor
+ He's loyal and protective toward the person he loves

Why would I not date him?

- His occupation is somewhat unstable
- (I think) it can a bit hard to discuss serious stuffs with him

Jesse Wallace from Before Trilogy


Why would I date him?

+ He's not serious and stiff
+ He's open-minded and has broad knowledge
+ He has some wisdom

Why would I not date him?

- He is a horny jerk
- He's a bit passive in house-chores

Jack Dawson from "Titanic"


Why would I date him?

+ His artistic talent is awesome
+ He's brave and has sense of adventure
+ He is open-minded and quite wisdom 
+ He's not boring
+ Those eyes...Oh God...

Why would I not date him?

- He has unstable job/life
- He likes to gamble

Fred & George Weasley from Harry Potter series


Why would I date (one of) them?

+ They're funny and laid-back
+ They're brave and have sense of adventure
+ They're loyal
+ They're creative and quite cunning
+ Their British accent

Why would I not date them?

- They're hard to be serious 
- They're hot-headed
- They can be annoying pricks

Noah Calhoun from "The Notebook"


Why would I date him?

+ He's REALLY romantic
+ He has strong loyalty toward the people he love
+ He's funny 
+ He's a hard-worker

Why would I not date him?

- He can be a bit pushy
- He's quite stalkish (writing 365 letters without one single reply?) 

Howl from "Howl's Moving Castle"


Why would I date him?

+ He's charming and charismatic
+ He's loyal
+ He's brave 
+ He really tries hard to build Sophie's confidence

Why would I not date him?

- He's a playboy
- He's a bit reckless
- He can be vain and selfish sometimes
- He (used to) pay too much attention on his appearance

Mr. Fitzwilliam Darcy from "Pride & Prejudice" (2005)


Why would I date him?

+ He's a generous (and gorgeous) man
+ He's filthy rich!
+ That deep voice with thick British accent...
+ He's willing to be a better person for the person he loves
+ He admits his mistake to Elizabeth

Why would I not date him?

- He's a stiff person
- He doesn't have sense of humor

Ranchoddas Shamaldas Chancad from "3 Idiots"

  
Why would I date him?

+ He's cunning, creative, talented, and genius
+ He's charming, charismatic, and confidence
+ He's brave
+ He's loyal
+ He has great sense of humor
+ He's quite humble
+ He's not too ambitious

Why would I not date him?

- He doesn't really think or see things from his friends' perspective
- He's not 100% truthful or trust his friends


Almost

John Bender from "The Breakfast Club"
Why did I not include him on the list? He's a bad boy  

Patrick from "The Perks of Being a Wallflower"
Why did I not include him on the list? He's gay

Harry Potter from Harry Potter series
Why did I not include him on the list? He really has serious hero issues

Edward from "Edward Scissorhands
Why did I not include him on the list? He's way too freaky for me

Alvy Singer from "Annie Hall"
Why did I not include him on the list? He's too awkward and bitter

Vincent Vega from "Pulp Fiction"
Why did I not include him on the list? He's a gangster  

Senin, 30 September 2013

Cinema Paradiso #4 : Things I've Learned from Mr. Woody Allen


Yup, my first ever favorite director/writer.  Pertama kali gue tahu Woody Allen tuh lewat Academy Award 2012, dia menang Original Screenplay untuk film Midnight in Paris.  Gue jadi kepo.  Terus waktu gue browsing film AFI 100 Passions, gue lihat sebuah film yang berjudul Annie Hall.  Gak tahu kenapa gue pilih buat klik tuh film.  Mungkin judul dan nama si karakter yang sederhana membuat gue kepo.  Gue punya soft spot buat film dengan judul yang sederhana.  Nah, mulailah gue browsing nih film, dan setelah berkali-kali gagal download, akhirnya gue berhasil!  Berhasil, berhasil, berhasil, hore!

Dan...gue langsung terpukau sama tuh film!  Mulai dari akting, skrip, dialog, musik, sampe sinematografi.  Memang tidak semenawan (500) Days of Summer, tapi gue lebih tergila-gila sama nih film.  Gue suka dialog-dialog pintar dan menyindir dari Woody Allen, dan Diane Keaton a.k.a Annie karakter yang lebih lovable dibandingkan Summer *mungkin karena gue cewek*  Kesukaan gue pada Annie Hall mendorong gue untuk lebih banyak browsing film-filmnya Woody Allen dan Woody Allen sendiri.  Memang Woody Allen bukan sutradara spektakuler seperti Steven Spielberg, James Cameron, atau Christopher Nolan, dan film-filmnya tidak selegendaris Martin Scorsese, Francis Ford Coppola, atau Park Chan-wook.  Film-filmnya juga tidak se-fresh Quentin Tarantino, dan tidak mempunyai film yang dalem seperti Kim Ki-duk atau Michael Haneke.  Tapi dibalik sosoknya yang biasa-biasa saja, gue belajar beberapa hal.

1. You don't need to be cool or amazing to chase your dream or work on your passion.


Harus gue akuin, tema dari film-filmnya Woody Allen sering terasa basi.  Jarang sekali dia membuat film diluar tema cinta ataupun kehidupan yang benar-benar universal.  Bahkan beberapa orang mengatakan lelucon di film-filmnya yang sekarang hanyalah daur ulang.  Tidak hanya itu, banyak sekali film-film Woody Allen yang tidak laku, bahkan merugi.  

Meskipun begitu, Mr. Woody Allen tetap membuat film, mengapa?  Karena itu adalah passion-nya.  Gue bisa merasakan passion-nya terhadap film (sebenarnya lebih kearah New York sih) ketika dia memberikan pidato di Academy Awards sekitar tahun 2000an awal.  Woody Allen yang ogah datang ke acara-acara penghargaan akhirnya datang juga ke Academy Awards hanya untuk memberikan encouragement agar sineas-sineas tetap membuat film di New York.  Di video itu gue bisa merasakan gairah dan cinta tulus Woody Allen terhadap film dan New York.  

Gak cuma itu, meskipun film-filmnya dikritik dan merugi, dia tetap membuat film.  Minimal satu film per tahun.  Bahkan temannnya, Martin Scorsese, tidak serajin itu.  Itu saja sudah menunjukkan bahwa Woody Allen mencintai pekerjaannya bukan?

2. You don't need a genius script to make movies.

Sebenarnya ini mirip sama yang diatas sih, tapi...sudahlah, haha.

Ketika kita diberi tugas untuk membuat sesuatu, kita sering bingung kita mau bikin apa.  Kita terlalu berpikir hal-hal yang rumit dan TERLALU berpikir keatas sehingga pekerjaan kita terbengkalai.  Kadang-kadang, ketika kita ingin mengerjakan sesuatu atau membuat sesuatu, kita tidak butuh ide yang jenius atau rumit.  Tapi cinta dan kesenangan untuk mengerjakan hal itu.  Buat apa kita mengerjakan sesuatu atau mengambil pekerjaan tertentu tanpa cinta dan kesenangan?  Itulah nilai yang hilang di jaman sekarang.

Gue rasa juga udah banyak sineas yang lebih mementingkan pemasukan ketika membuat suatu film.  Sebenarnya sekali-kali sih tidak apa-apa, tapi kalau keseringan, hal itu cukup mengecewakan.  

Woody Allen tidak perlu skrip rumit ketika dia akan membuat film.  Cukup hal yang dia senangi dan pahami.  Ketika dia mempunyai suatu ide, dia akan langsung mengerjakannya.  Dia tidak berlama-lama menunggu ide yang lebih hebat atau hal-hal bullshit lainnya.  Dia mempunyai sisi spontan yang cukup gue kagumi.

3. Geeks can be romantic.


A living proof that geek can be romantic : Woody Allen.

Gue sering ngomong ke teman-teman gue kalau gue orang yang realistis dalam love and other shits.  Tapi karena gue orang yang realistis dan (sangat) skeptis bukan berarti gue tidak menginginkan hubungan romantis di masa depan.  Sebenarnya gue punya sisi romantis *cuih* yang mungkin agak sulit dipahami oleh orang lain.  But, whatever.  

Tapi serius deh, siapa yang nyangka cowok geeky kayak Woody Allen bisa nulis dan ngomong kalimat diatas?  That sentence is just too sweet and romantic!  Makanya jangan remehin orang-orang geeky, freak, ataupun basket-case, gue yakin mereka punya sisi romantis yang gak terlihat.  Mungkin mereka terlihat apatis atau realistis seperti gue, tapi mereka juga punya perasaan, dan sebagian besar dari mereka juga menginginkan hubungan romantis atau merasakan cinta #eaaaa *nyanyi I want to know what love is*

4. Screw up with Oscars.


Banyak orang yang jarang menyadari hal ini, tapi Woody Allen mempunyai sisi swag yang jarang dimiliki oleh sineas-sineas terbaik, termasuk orang dibalik The Godfather : he doesn't give a fuck about Oscars.  Itu menunjukkan bahwa dia bisa menghargai karya-karyanya sendiri dan tidak butuh piala Oscar untuk menghiburnya atau dipamerkan.  

Ketika ditanya mengapa ia tidak pernah datang ke ajang-ajang penghargaan, ia menjawab bahwa datang ke acara-acara penghargaan berarti menyutujui bahwa kamu pantas dihargai dan setuju juga ketika mereka berpikir bahwa kamu tidak pantas dihargai (kira-kira begitu).  It's SWAG people!


Woody Allen bukan sineas terbaik di dunia, I get it.  Dia bukan pasangan dan ayah yang baik, I get it.  Tapi dia masih punya sisi-sisi yang pantas dikagumi dan film-film yang lucu, menyentuh, dan pintar.

pic cr :
www2.ivcc.edu
brooklynexposed.com
favimages.net
sonicnation.ca  

Selasa, 27 Agustus 2013

Cinema Paradiso #3 : My Junior High's Breakfast Club


Nope, gue belum pernah dihukum bareng anak eksis atau gila-gilaan kayak di film The Breakfast Club.  

Diatas adalah sepenggal surat yang ditulis oleh Brian (Anthony Michael Hall) di film The Breakfast Club.  The Breakfast Clumb menceritakan lima kasta yang didetensi pada hari Sabtu.  Lima kasta tersebut terdiri dari :

- Brain : obviously, anak yang jenius dan geeky.
- Athlete/Jock : sangat jago di bidang olahraga, mereka biasanya juga 'badut' di sekolah atau kelas.
- Princess : cewek yang populer dan 'cantik' *batuk*, biasanya juga kaya.
- Basket case : anak yang tidak pintar / bodoh, tapi juga tidak miskin / kaya, namun tidak mempunyai banyak teman atau tidak punya teman sama sekali.
- Criminal : pemberontak.

Namun itu hanya gambaran kasar di SMA Amerika pada pertengahan 1980an.  Memang benar, lima tersebut nyatanya ada di SMP dan SMA, namun apakah sehitam dan seputih di film The Breakfast Club?

Gue ingat bahwa Allison (Ally Sheedy) mengatakan bahwa dia tidak memiliki teman.  Gue punya teman yang basket case, sebut saja A.  Tapi dia masih punya teman, dan lebih dari dua loh.  Gue sendiri sebenarnya termasuk basket case, tapi keanti-sosialan gue gak terlau parah, bahkan gue masih mau berinisiatif berbasa-basi.  Jadi pandangan bahwa basket case sama sekali tidak punya teman atau 100% anti sosial itu salah.  Memang, basket case susah bergaul dengan orang, tapi itu tidak berarti bahwa mereka sama sekali tidak menginginkan kontak sosial.  Yang ada, basket case ketemu basket case malah berteman, seperti gue dan teman yang gue ceritakan tadi.  Bahkan tidak jarang basket case ketemu brain bisa jadi teman baik.

Brain...gue sendiri bingung dengan definisi brain disini.  Sekarang yang ingin gue bicarakan adalah brain yang benar-benar brainiac, alias pintar bukan karena rajin.  Sejauh ini gue baru kenal dan dua anak yang jenius, tapi kemampuan sosial mereka juga bagus.  Sebut saja L dan J.  Kenapa gue tahu mereka jenius?  Karena ranking IQ mereka tertinggi se-angkatan.  Kalau tidak salah, L 132, sedangkan J 130.  Tapi mereka gaul banget, dan J pernah nekat gak belajar, padahal hari itu ulangan!  Kapan lagi ketemu brainiac kayak gitu?  Kalau menurut kalian brainiac itu hobinya baca buku doang, L ini aktif di OSIS sedangkan J sering manggung alias nge-band.  Mereka juga lumayan jago di olahraga.  Sebenarnya gue juga punya teman brainiac yang jago di olahraga, tapi kelakuannya geeky, jadi dia gak dihitung.

Nah, di film The Breakfast Club digambarkan bagaimana ada hukum gak tertulis dimana princess plus brain equal disaster.  Selama gue SMP, justru yang terjadi adalah kebalikannya.  Dimana brain bisa temenan dengan princess.  Percaya deh, itu sebenarnya boleh dan bisa terjadi.  

Biasanya athlete equal bullier, correct?  Teman-teman gue yang athlete beneran, kebanyakan dari mereka bukan pembully.  Yah, beberapa kali sih mereka emang mem-bully, tapi masih bisa ditoleransi.  Nah, gue punya satu temen dimana menurut gue dia emang athlete, tapi gimana yah, postur tubuhnya gak terlalu cocok dan kalau dibandingkan athlete lainnya, dia masih kalah.  Gue akuin, gue korban bully-nya.  Serius deh, yang gue alamin itu udah sampe bully.  Doh, dia tuh cuma punya big mouth dan beraninya sama yang lemah doang.  Menurut gue sih Bender (Judd Nelson) sebenarnya masih masuk kategori pemberani, kan Mr. Vernon di film itu kepala sekolah.  Nah, temen gue yang big mouth ini sama guru B. Ing gue aja kicep.  Sumpah, gue sama temen gue saking keselnya sama dia pernah nyumpahin dia gak lulus (and unfortunately, he graduated...).  Emang harus gue akuin dia tuh kadang-kadang baik, tapi mau tahu gak seberapa parahnya dia?  Waktu guru B. Ing nanya siapa yang kesel sama dia, satu kelas pada tunjuk jari, including his best friends.  My teacher even called him 'public enemy'.  Kalau his so-called friends gak tunjuk jari sih wajar, lah ini teman-temannya ikut!  Oh iya, waktu SMP sih gue belum pernah ngalamin bully fisik kayak dipalak, dipukul atau gitu lah.  

Anyway, all I can say is I wish he'll be more mature and won't do any bully in the future. Hmm, ironis ya gue ngatain dia pengecut tapi gue juga beraninya komentar di blog doang, haha-_-

Criminal?  Hmm, gue gak kenal orang yang benar-benar mengekspresikan jiwa pemberontaknya seperti Bender.  Mungkin karena gue baru melalui masa SMP, jadinya yang criminal level-nya gak setinggi Bender.

Sayang sekali John Hughes tidak memasukkan kasta ini : The uncategorized.  Uncategorized adalah kasta yang tidak masuk kategori manapun.  Gak semua orang yang tidak termasuk criminal, princess, jock/athlete, dan brain harus masuk ke basket case loh.  Kira-kira gue punya empat teman (?) yang gak bisa gue kategorikan dalam lima kasta itu.  Dan gue kagum dan heran banget bagaimana mereka gak hidup dari tuntutan hidup itu sendiri.  Gue punya temen cowok, sebut saja I, yang kayaknya agak kaya, kemampuan otak biasa, kemampuan atletis juga biasa, tapi dia mau berteman sama siapa aja.  Waktu gue ngunjungin SMA-nya (temen-temen SMP gue banyak yang ngumpul di satu SMA gitu) dia nyapa gue loh.  Pokoknya orangnya cool deh, mau berteman dengan siapa aja, termasuk orang yang udah dianggap outcast sama kelas gue.  

Sedikit komen nih, tahu kan pepatah jangan men-judge orang dari luarnya?  Gue gak pernah men-judge orang dari penampilan, tapi gue selalu men-judge orang dari kelakuan luarnya.  Dan sebenarnya lebih susah untuk tidak men-judge orang berdasarkan kelakuan dan pilihan-pilihannya daripada sekedar penampilannya.

Lagipula, jaman sekarang itu yang namanya eksis gak diukur dari kekayaan, kepintaran, dll.  Tampang mungkin masih ngaruh, tapi kalau ansos juga ya tingkat ke-eksisannya biasa aja.  Kalau lo mau eksis, ya lo aktif, baik di kegiatan sekolah, maupun pergaulan.  Tapi sampe sekarang gue gak ngerti bagaimana seseorang bisa eksis lewat pergaulan doang.  Emang gue rada ansos, terus kenapa?

Coba deh lo bayangin lo lagi duduk ramai-ramai, terus kelompok itu ngomongin sesuatu (lebih tepatnya gosip) yang gak lo pahamin, dan lo sendiri sebenarnya gak diajak ngomong.  Itu enak gak?  Apalagi sebenarnya lo udah sempat berinisiatif basa-basi sama orang, dan mereka tuh gak nanggapin lo, cuma jawab doang, gak ada inisiatif buat ngajak lo bergaul, emang gak bikin bete?  Yah, gue tahu kalau gue ada salahnya juga, tapi yang benar-benar bikin gue bete dalam keramaian ya itu.  So, maaf gue ansos, maaf kalau kalian berpikir gue itu freak atau gothic gila yang membenci siapapun di dunia ini, karena gue emang gue abnormal, dan blablabla.

Inti dari Cinema Paradiso yang gue tulis hari ini adalah, gue bersyukur bahwa kehidupan remaja di Indonesia gak selebay dan seklise yang digambarkan oleh film-film Hollywood.  Dan kehidupan remaja di Indonesia gak sehitam dan seputih di film The Breakfast Club.  Memang masih ada kasta, tapi pagar dan tembok di antara kasta-kasta itu tidak seketat dan sekuat di film The Breakfast Club.

Minggu, 25 Agustus 2013

Cinema Paradiso #2 : Gue *yang jomblo* dan Film Romance

So, judul ini tuh terinspirasi dari salah satu artikel Cinemagz 1-2 tahun yang lalu.  Gue kepikiran nulis ini waktu guru gue lagi keluar, wk.

Gue belum pernah pacaran tapi pernah sih pacaran sama Leonardo DiCaprio di mimpi gue.  Gue tahu bagaimana orang pacaran lewat film, novel, dan omongan teman-teman gue.  Kira-kira waktu gue review Punch-Drunk Love, ada pertanyaan yang cukup mengganggu gue : bagaimana mungkin gue bisa meragukan kelogisan hubungan romantis padahal gue sendiri gak pernah pacaran?  Apakah gue akan menemukan jawabannya?  Maybe yes, maybe no.  Intinya, nih artikel sebenarnya mau cerita tentang pendapat dan pengalaman gue dengan film-film romantis.

 Ending paling romantis menurut gue...11 tahun yang lalu

Oke sebelum jawab itu, gue pengen ngelantur dan menceritakan diri gue waktu kelas 5-6 SD.  Disaat itu, tentunya gue udah pernah naksir cowok.  Tapi gue masih canggung dengan ide pacaran.  Bahkan waktu gue kelas 4, gue masih tutup mata kalau ada orang ciuman di TV. Waktu gue kelas 6, gue hobi nonton film romance.  Beberapa tahun kemudian, gue mulai benci nonton film-film romantis Disney, romance cengeng apalagi rom-com yang ada Katherine Heigl, Ashton Kutcher, atau mahluk sejenis mereka.  Gue benar-benar lupa kejadian apa yang bener-bener bikin gue sempat gak suka film romance, tapi gue rasa itu melalui proses, bukan karena suatu kejadian yang spesifik.

Sekitar gue umur 12 tahun, gue menonton (500) Days of Summer untuk yang pertama kalinya.  Dan astaga ending-nya...sumpah, bagi gue, itu unpredictable banget!  Guge langsung jatuh cinta sama tuh film (waktu pertama kali nonton) karena itu pertama kalinya gue nonton sebuah film rom-com yang sama sekali beda!  One of a kind.  

Tapi gak tahu kenapa, gue tetep lebih cinta Annie Hall daripada (500) Days of Summer.  Emang sih rada aneh karena boleh dibilang Annie Hall itu film yang 'tua' dan kurang menangkap aspek youngster, dan mungkin beberapa dari kalian menganggap film ini kurang stylish dibandingkan 500DOS.  Yah, kalian harus sadar kalau Annie Hall itu adalah film 70an, jadi wajar aja kalau less stylish.   
Pelajaran yang bisa gue petik dari 500DOS adalah kalau emang hubungannya udah gak jelas dari awal, mendingan nyantai aja kayak friends with benefits atau minta kejelasan hubungan dari awal, daripada ntar lo malah sakit hati.  Gue emang gak suka Summer (Zooey Deschanel), tapi dia gak benar-benar salah karena dari awal udah menyatakan kalau dia gak mau girlfriend-boyfriend thing.  Harusnya si Tom (Joseph Gordon-Levitt) udah stay alert dari situ.  Fokus utama film 500DOS itu persepsi, dimana Tom mengira kalau Summer suka sama dia karena Summer yang berinisiatif mendekati Tom, tapi Summer sendiri mengira kalau Tom itu juga pengen have fun doang, bukan girlfriend-boyfriend thing.  Lihat aja kan bagaimana Summer mengatakan you're still my bestfriend setelah mereka putus.  Atau bagaimana dia dengan 'polosnya' (baca : bego dan kejam) mengundang Tom ke pesta pertunangannya.  Itu tandanya Summer emang mengira kalau Tom gak punya perasaan dalam ke dia.


Orang sering bilang kalau kunci hubungan yang sukses itu komunikasi.  Tapi mereka juga lupa bilang kalau perkembangan itu juga salah satu kunci utama hubungan.  Itulah pesan yang gue dapat dari Annie Hall.  Setelah Annie (Diane Keaton) kuliah, dia berkembang menjadi pribadi yang jauh lebih PD dan pintar, sedangkan Alvy...adalah Alvy (Woody Allen).  Dia sama sekali gak berkembang, masih menjadi orang yang sinis dan awkward tanpa perubahan positif yang signifikan.  Bagaimana mungkin suatu hubungan bisa sukses kalau yang satu berkembang dan yang satunya lagi statis (diam)?  Gak cuma itu, pelajaran ini gue tangkap lebih dulu daripada pelajaran sebelumnya, dan gue rasa mayoritas penonton juga tahu maksud dari kata-kata terakhir Alvy.  

Alvy menceritakan suatu joke tentang orang yang 'curhat' ke dokter kalau adiknya gila karena adiknya mengira dirinya ayam.  Dokternya bilang kenapa gak dimasukan ke rumah sakit, terus orang itu bilang karena dia butuh telurnya.  Itu menunjukkan bahwa romantic relationship antara dua orang bisa dikarenakan mereka BUTUH, bukan INGIN.  Ada perbedaannya loh antara butuh dan ingin.  Nah, kalian yang merasa dirinya punya pacar dan eksis ganteng cantik atau hal gak penting lainnya, tanyakan diri lo sendiri apakah lo pacaran karena BUTUH atau INGIN.

Gue sering melihat tweet atau komentar teman gue tentang cowok PHP lah, gak punya hatilah, mereka yang sering mutusin cewek, dll.  Tapi di film Annie Hall dan 500DOS justru yang terjadi adalah kebalikannya.  Baik Annie dan Summer tidak cengeng ketika mereka 'putus'.  Justru mereka menghadapinya dengan tenang dan dewasa, dan mereka bisa move on dan menemukan hubungan baru (in Summer's case).  Fakta bahwa mereka yang memutuskan hubungan masing-masing, itu berarti mereka PD serta yakin bisa dan berhak bahagia lagi atau menemukan orang baru.  Dan di kasusnya Annie, ketika mereka berdua udah terasa gak cocok dan tidak memiliki chemistry, dia langsung ambil tindakan, bukan sekedar 'menggantungkan' hubungan dan menunggu someting that will screw their relationship.  Sebaliknya, yang galau itu bukan cewek-ceweknya, tapi cowok-cowoknya.  Bisa terlihat bagaimana Tom (childishly) ngambek atau Alvy yang menulis suatu drama berdasarkan hubungannya dengan Annie, namun berakhir bahagia.  Itu nunjukkin kalau gak semua cowok tuh PHP atau gak berperasaan *glare at those whiny girls*


Gue rada shock waktu lihat Before Sunrise masuk dalam salah satu daftar film romantis yang paling realistis.  WTF dude.  Menurut lo seberapa banyak cowok yang gak modusin cewek gak dikenal tanpa memperkosa atau nyulik?  Atau seberapa banyak cewek (yang logis looooh) yang bakal percaya sama tuh cowok.  Dan yang paling menganggu, kalaupun mereka beneran jalan-jalan kayak Before Sunrise, berapa sih peluangnya mereka gak bakal canggung di kehidupan nyata?  Itulah mengapa menurut gue Before Sunrise tuh bukan film romantis yang realistis.  

But on the other hand, film kan gak mesti realistis.  Sebenarnya dari semua film trilogi Before, Before Sunrise lah yang paling romantis.  Momen-momennya lebih banyak, dan dialognya juga lebih romantis.  Gue sendiri pertama kali nonton gak berpikir Before Sunrise adalah film yang romantis, tapi gue juga gak berpikir bahwa Before Sunrise adalah film yang membosankan.  Sebaliknya, film ini sangat menarik karena dialognya mengalir dengan lancar dan juga mempunyai topik yang menarik.  Nah, itu dia sisi romantisnya Before Sunrise.  Bagaimana lo bisa menemukan orang yang membuat lo senang dan enak diajak ngobrol, ngobrolnya di kota Wina lagi, gimana gak romantis coba?  Coba mereka ngadain skinship melulu, itu mah namanya napsu, bukan romantis.  
  


Film Husbands and Wives sempat membuat gue bertanya-tanya : apakah dinyatakan selingkuh jika sekedar pedekate atau memikirkan orang itu, atau jika sudah melakukan kontak fisik?  Gue sih menganggap yang namanya selingkuh itu kalau udah melakukan kontak fisik.  Salah satu pasangan di Husbands and Wives mempunyai faktor usia dalam keretakan hubungan mereka.  Maksudnya, suaminya mulai bosan dengan istrinya dan mulai menemui cewek-cewek yang jauh lebih muda.  Tapi ironisnya, si cewek yang muda itu childish dan malah mempermalukan si suami.  Gini deh, kalau kalian menikah, itu tandanya kalian udah berkomitmen untuk hidup dengan pasangan masing-masing sampe mati.  Jadi ya udah harus siap-siap dengan kebosanan ataupun kriput dari pasangan masing-masing.  Bagusnya dari pasangan 1 ini, mereka gak buru-buru untuk langsung bercerai, walaupun udah tahu bahwa mereka berdua udah 'move on'.  Mereka malah menjauh (bukan bercerai) dan merefleksikan kehidupan mereka, dan akhirnya pernikahan mereka membaik.

Sedangkan pasangan 2, istrinya memiliki insecure issue.  Tapi daripada meminta bantuan dari pihak lain dan intropeksi diri, dia malah tetap membiarkan issue itu berlanjut, walaupun si suami udah meyakinkan dirinya.  Bahkan si suami pun tidak cross the line dengan melakukan kontak fisik dengan salah satu mahasiswanya.  Harusnya kalau suaminya gak menunjukkan tanda-tanda selingkuh, dia bisa santai dan move on dong dari masalah itu.  Kalaupun masih ada perasaan insecure, lebih baik akuin aja bahwa itu datang dari diri sendiri dan ngomong ke suaminya.  Padahal pasangan 2 ini gak pernah punya masalah yang besar sebelum si istrinya mulai moody dan menunjukkan ke insekuritasnya.

How about affair?  Gue suka sekali dengan tema perselingkuhan karena biasanya melibatkan emosi dan pilihan yang rumit seperti Little Children.  Lucu juga bagaimana 'sistem' dan tekanan menyebabkan Sarah (Kate Winslet) dan Brad (Patrick Wilson) mengkhianati pasangan mereka masing-masing, tapi pada akhirnya mereka tetap membiarkan 'sistem' itu mengikat mereka.  Itu menunjukkan bahwa banyak sekali orang mengira bahwa pelarian mereka adalah solusi dari segala permasalahan mereka.  Mereka tidak ingin membicarakan masalah itu dengan pasangan masing-masing dan malah 'berlari' dari kehidupan nyata.  Mereka sebenarnya bisa menyelesaikan masalah pernikahan masing-masing jika mereka bisa intropeksi diri dan berkomunikasi dengan pasangan masing-masing.  It's not easy, but I think it's worthwhile.

But after I had watched "Blue Valentine", I realized that not all of marriages are fixable.  Terkadang pernikahan gak bisa diperbaiki karena cinta diantara dua pihak sudah menghilang dan kedua atau salah satu pihak tersebut emang udah gak niat memperbaiki pernikahannya.  Kalau dipaksain tetap menikah, pernikahan itu justru menyiksa mereka kedua pihak.  Cindy (Michelle Williams) dan Dean (Ryan Gosling) dulu sangat saling mencintai.  Namun setelah mereka menikah, mereka semakin menjauh sampai pada titik dimana Dean memaksa Cindy untuk berhubungan seks dengannya.  Kalau udah sampai di titik itu, pernikahan malah menyiksa Cindy dan Dean.  'Liburan' yang harusnya memperbaiki pernikahan mereka malah menghancurkan mereka.


Oh iya, bagaimana kalau pasangan cenderung pasrah?  Jodoh emang gak kemana, tapi kalau lo gak memperjuangkannya jodoh lo ya juga bakal menghilang.  Di film The Remains of the Day, Mr. Steven (Anthony Hopkins) dan Ms. Kenton (Emma Thompson) sebenarnya saling jatuh cinta.  Namun pada akhirnya tidak terjadi apa-apa karena Mr. Steven terlalu terikat dengan pekerjaannya.  Lucu juga kan bagaimana jodohnya selalu berada di sampingnya, namun dia tidak memperjuangkannya.  Nah, ini kesalahan dari faktor internal.

Never Let Me Go yang juga diadaptasi dari novel Kazuo Ishiguro memberikan contoh faktor eksternal.  Menurut gue pribadi, dua karya Ishiguro yang gue sebutkan sebenarnya mengejek kepercayaan manusia terhadap takdir.  Oke, memang kita ditakdirkan untuk orang tertentu, tapi ketika kita tidak menyadarinya dan tidak memperjuangkannya, kita gak akan pernah ketemu jodoh atau takdir kita.  Pada akhirnya, takdir kita lagi-lagi jatuh kepada pilihan kita.   

Situasi yang terjadi pada film Never Let Me Go hampir sama dengan The Remains of the Day, dimana Kathy (Carey Mulligan) dan Tommy (Andrew Garfield) saling menyukai, namun mereka 'terhalang' oleh Ruth (Keira Knightley).  Kenapa gue menggunakan tanda kutip?  Karena hubungan Tommy dan Kathy bisa berhasil jika Kathy jujur pada temannya, dan Tommy lebih berani dalam memperjuangkan cintanya pada Kathy.  Ini adalah contoh dari dua manusia yang ditakdirkan untuk 'bersama', tapi mereka tidak memperjuangkannya.  Gue rasa, cinta adalah anugrah Tuhan.  Yang namanya anugrah Tuhan harus diperjuangkan, bukan didapat dengan mudah.

 
Setelah pengetahuan gue tentang cinta *batuk* bertambah, gue mulai sadar kalau Titanic itu salah satu cerita yang gak logis.  Ada ya cowok yang kenal cewek kurang dari lima hari mau mengorbankan nyawanya demi si cewek?  Walaupun gak logis...Titanic tetep salah satu film favorit gue, wkwk.  Begitu juga dengan The Notebook.  Seberapa seringnya cowok mau nungguin cinta pertamanya yang udah gak berhubungan sama dia selama tujuh tahun?  Dan si cowoknya sendiri sempet punya hubungan dengan cewek lain?  Dan lagi-lagi, itu tetaplah film favorit gue. 

Dulu gue juga sempat menganggap Romeo+Juliet adalah film yang paling romantis.  Tapi akhirnya gue berpendapat bahwa film itu tidak lebih dari omong kosong mengenai cinta sejati.  Apakah hidup sedemikian buruknya sampe lo harus bunuh diri kalo pacar lo mati?  Bagi gue itu bukan romantis, tapi pathetic.  Bukan hanya tidak menghargai hidup, tapi gak menghargai orang lain.  Kalau pacar lo mati, masih banyak kali cewek/cowok di dunia ini.  Gak mudah memang untuk bangkit lagi, tapi apa gunanya juga bersedih terus?  Maksud gue dari gak menghargai orang lain itu, di dunia ini mungkin ada orang yang dari kecil/remaja udah sebatang kara.  Terpaksa tinggal bareng foster parent yang mungkin malah menyiksa mereka.  Tapi mereka tetap mau bertahan hidup.  Sedangkan Romeo & Juliet bukan sebatang kara dan (kayaknya) gak pernah disiksa orangtuanya, malah bunuh diri cuma gara-gara hal sepele.  Gimana gak pathetic coba?  Anyway, ada perbedaannya loh antara bunuh diri sama mengorbankan nyawa.
  
Hmm, saking banyaknya yang gue tulis, gue sendiri bingung inti dari apa yang gue tulis, hahaha.  Mungkin jawaban dari pertanyaan gue sebelumnya adalah pengalaman sehari-hari.  Lewat dari pengalaman orang-orang di sekeliling gue dan cerita teman-teman, gue bisa menginterpretasikan seperti apa hubungan romantis cewek-cowok.  Tapi cinta?  Gue rasa cinta hanya bisa diinterpretasikan secara pribadi.  Dari film-film yang gue tonton, gue cuma bisa menginterpretasikan bahwa ada cinta yang simple, ada juga yang kompleks.  Ada yang gampang seperti 500DOS atau Before Sunrise, ada yang kompleks seperti Like Crazy atau Little Children.

Untuk film Punch-Drunk Love, gue harus menontonnya beberapa tahun lagi untuk lebih memahami film itu.

Rabu, 05 Juni 2013

Cinema Paradiso #1 : The Beginning

Yah, berhubung gue lagi bokek males ke bioskop, gue mau curhat sedikit kenapa gue jadi penggemar film. Baca ya? Ikutan ya? BACA YA?!

...
...
...

Hmm...mendadak gue sendiri bingung kenapa dan kapan gue jadi penggemar film.  Oke deh, sambil nulis, gue akan ikut dan berpikir dan cari kesimpulannya.

 
Genre pertama yang gue suka adalah horor.  Dari kecil gue suka banget nonton film horor.  Kata nyokap gue, kalau kecil gue susah diajak tidur karena demen nonton film/sinetron horor di tipi.  Kalau diajak tidur bareng ortu, biasanya gue kabur ke kamar eyang gue dan numpang nonton disitu.  Tapi, bukan berarti gue itu orang yang pemberani.  Gue demen nonton film horor karena kepo ceritanya kayak apa.  Terus kalau udah kepo, biasanya gue ke bagian DVD di mall (belum ada internet di rumah gue) dan baca sinopsis di belakang dvd.  Tapi tetap aja kepo karena gak ada ending-nya.  Hobi nonton film horor gue sempat terhenti waktu SD kelas 3-4 dan lanjut waktu kelas 5 / 6 karena mbak (pembantu) gue demen koleksi DVD film hororDan karena sering nonton, gue akhirnya terbiasa nonton film horor dan udah gak terlalu takut lagi (pengecualian untuk film-film Thailand).  Dan...sampai sekarang gue masih sangat menyukai bacaan mistis, setan (especially Sadako and Kuchisake-Onna!) dan film horor.  Dan menakuti-nakuti orang.

Waktu gue kecil, bokap gue sering beliin DVD bajakan film anak-anak.  Mungkin karena udah biasa nonton DVD bajakan, gue jadi males ke bioskop, hehe.  Oke, hobi ini ternyata cukup membangun ketertarikan *pip* kecil dengan film.  Kalau gak salah, waktu itu malam tahun baru, dan keluarga gue ngumpul di TV buat nonton film.  Hayo, tebak dulu film ini sering diputar loh, sekarang sih udah jarang.  Ayo, tebak.  Oke, waktu nebaknya udah cukup.  Filmnya adalah Titanic!  Sebagai anak kecil, gue jarang banget memperhatikan cerita film ataupun kepo dengan ending film kecuali film horor.  Ternyata perkenalan gue dengan Titanic membuat gue sempet jadi fans gila filmnya.  Gue jadi sering browse tentang Titanic, bahkan pinjam DVDnya om gue yangsampaisekaranggakdibalikkin. Waktu DVDnya belum ada, gue yang baru berumur 8 tahun nekat begadang sampai jam 12 malem buat nonton Titanic doang di tipi.  Selain film Titanic, film yang membuat gue jadi terobsesi sementara dengan tragedi (?) adalah The Patriot.  Anehnya, gue gak nangis waktu beberapa tokoh meninggal, gue justru nangis waktu mau tidur-_-  Emang sih, habis nonton film The Patriot, gue jadi kepikiran nasib dan perasaan tokoh-tokoh di film itu.


Di antara Superman, Batman, dan Spiderman, tokoh kesukaan gue itu Batman.  Seperti yang gue tulis di paragraf sebelumnya, gue itu tertarik dengan hal-hal yang bersifat horor dan mistis, hal itu juga (yang mungkin tidak sengaja) membuat gue suka dengan warna hitam dan hal-hal gotik.  Alasan utama gue suka sama Batman waktu kecil sih karena dia pake kostum warna hitam dan lambangnya kelalawar.  Kelalawar kan identik dengan vampir, dan gue cukup terobsesi dengan vampir (nope, not that fcking fake vampire called edward 'cullun').  Tapi setelah otak gue berkembang, alasan gue menyukai Batman juga ditambah dengan fakta bahwa dia gak punya kekuatan yang benar-benar super seperti Superman, Spiderman, dan Wonder Woman.  Anyway, fakta gak penting tentang gue adalah Christian Bale adalah Batman favorit gue dan Anne Hathaway adalah Catwoman favorit gue.

Setelah ketiga film itu, gak ada lagi film yang berhasil meninggalkan kesan kuat bagi gue.  Sampai gue nonton Rain Man.  Yeay, gue bersyukur banget dulu nyokap ngebolehin buat langganan channel film!  Dan itu takdir atau apa, gue lagi gak ada kerjaan dan PR, terus gue pas nonton Star Movies (sekarang udah gak ada).  Gue nonton film itu karena gak sengaja lihat muka Tom Cruise.  Oh iya, gue tahu Tom Cruise bukan dari Mission Impossible, tapi Far and Away, filmnya Cruise dengan Nicole Kidman.  Gak tahu kenapa, mata gue tetap melekat pada TV, dan ngikutin cerita dan tiap adegan dengan baik.  Selama gue nonton itu, gue cuma mikir, gila...yang jadi orang autis keren banget!  Maklumin yah, waktu kecil selera film gue parah banget, jadi gak tahu kalo itu om Dustin Hoffman-_-  Anyway, setelah gue pikir-pikir ulang, hal ini cukup aneh karena gue gak suka drama.  Waktu itu gue cuma suka film musikal, kartun, dan horor.  Gue gak suka drama.  Gue kira semua film drama itu lebay kayak sinetron. 

 
Dua film yang bikin gue jadi suka film (bukan suka nonton kayak dulu) adalah (500) Days of Summer dan Kramer vs Kramer.  Sekali lagi gue bersyukur kepada mak gue (yang dulu) langganan channel film.  Entah kenapa, gue jadi suka dan fascinated sama dua film itu.  Ada sesuatu yang berbeda.  Terutama (500) Days of Summer, karena ending-nya yang gak pernah gue temukan di film-film romantis.

Gue dapat inspirasi buat review film itu dari lovelydramakorea.blogspot.com.  Dari blog itu gue tahu istilah review.  Gue kira review itu cuma sekedar jalan cerita, musik, akting, dll.  Tapi gue mulai baca blog film lain.  Dan ternyata me-review film itu lebih dari sekedar menilai permukaan.  Yah, sebenarnya gue sering frustasi kenapa tulisan gue gak bisa bagus kayak yang lain, dan kenapa penilaian dan observasi gue kurang dalam, makanya gue sering 'les' dari blog film lain.  Dan gue harap itu bisa membantu.

Untuk saat ini, gue belum bisa cerita apa dampak film bagi gue.  Mungkin beberapa tahun kemudian gue bisa melihat ke belakang dan melihat film-film yang telah gue tonton dan akibatnya.

pic cr :
komporlagimeleduk.wordpress.com
photos.lucywho.com
imdb.com