Rabu, 25 Juni 2014

Battle Royale (2000)

So today's lesson is...you kill each other off. -Kitano
ukhorrorscene.com
Battle Royale merupakan film Jepang tahun 2000 dengan genre distopia, thriller, dan action.  Film ini disutradarai oleh Kinji Fukasaku dan skripnya ditulis oleh anak Fukasaku, Kenta Fukasaku.  Film ini diadaptasi dari novel dengan judul yang sama yang ditulis oleh Koushun Takami.  Film dengan durasi 112 menit merupakan salah satu film yang paling kontroversial, sampai tidak ditayangkan di Amerika tahun 2000 yang lalu.  Namun, film ini merupakan salah satu film blockbuster di negaranya sendiri.  Battle Royale juga merupakan salah satu film favorit Quentin Tarantino.  

Film ini berlatar belakang di sebuah alternated universe dimana kelas sembilan dari sebuah sekolah di Jepang dipilih secara acak untuk mengikuti sebuah Survival Program.  Kelas Shuya Nanahara (Tatsuya Fujiwara) pergi ke sebuah pulau untuk mengikuti field trip.  Tapi field trip itu menjadi suatu mimpi buruk ketika kelas Shuya bangun dan mendapati mereka di suatu ruang kelas dengan 'kalung' di leher mereka.  Wali kelas mereka dua tahun yang lalu, Kitano (Beat Kitano) mengatakan bahwa mereka terpilih untuk mengikuti The Program.  Kelas mereka juga mendapat tambahan dua orang, Kazuo Kiriyama (Masanobu Ando) dan Shogo Kawada (Taro Yamamoto).  Sahabat Shuya, Yoshitoki Kuninobu (Yukihiro Kotani) dengan cepat terbunuh karena mencoba melawan Kitano.

Untuk mengingat temannya, Shuya berusaha sebaik mungkin untuk melindungi Noriko Nakagawa (Aki Maeda), karena ia mengira bahwa Nobu menyukainya.  Kelas 9B dengan cepat membunuh teman mereka masing-masing.  Kazuo Kiriyama dan Mitsuko Souma (Kou Shibasaki) dengan cepat menjadi dua orang paling berbahaya.  Noriko dan Shuya beruntung karena bisa membentuk persekutuan dengan Shogo Kawada, salah satu orang yang juga harus diwasapadai.     

SPOILER ALERT!


Sorry guys, but I've never heard anything about Battle Royale before The Hunger Games, lol.  I'm not a big fan of THG, tapi kalau gak ada tuh film, mungkin gue juga gak bakal tahu Battle Royale.   

Gue mau mengadakan sedikit perbandingan antara film dan manga Battle Royale.  Gue lebih suka komiknya.  Komiknya lebih bisa memasukkan beberapa detail dan lebih bisa mengikat pembacanya dengan tokoh-tokohnya, bahkan tokoh pembantu.  But I must admit emang sulit mengelola 42 tokoh ke dalam film, yang durasi maksimalnya dua jam.  Tapi untuk tokoh antagonisnya, si guru dan Kazuo, gue lebih suka versi filmnya.  Penampilan cowok-cowoknya pun gue lebih suka yang versi film, karena jauuuuuuuuh lebih ganteng *brb, fangirling dulu*.

Battle Royale merupakan Hunger Games yang jauh lebih mentah.  Sifatnya yang mentah ini entah membuat penonton merasakan 'keaslian' film ini atau membuat penonton malah gak suka.  Gue rasa bagi mereka yang menonton THG dan BR juga tahu bahwa THG merupakan 'adik' dari BR, baik dari segi umur maupun isi.  Tapi yang membuat BR lebih nyesek daripada THG adalah orang-orang di BR merupakan orang-orang yang telah belajar bersama minimal dua tahun.  Mereka udah kenal satu sama lain *at least kenal nama*, belajar bareng, main bareng, tapi akhirnya mereka jatuh pada tekanan dan membunuh satu sama lain.  Orang-orang di THG are literally strangers.  Battle Royale mendorong diri gue untuk 'berimajinasi' bagaimana kalau kelas gue ikutan acara beginian.  Tbh, I will either die early or suicide, lol.         


Battle Royale mengandung metafora bagaimana orang-orang dewasa mendorong anak-anak muda untuk berkompetisi, but in a bad way.  Tidak hanya kompetisi, tapi mereka juga mempunyai ekspektasi yang besar -dan kadang tidak masuk akal- pada kita.  Karena inilah banyak dari mereka yang jatuh dalam tekanan.  Not everyone, but most of them.  Yang lemah langsung mati, yang gak bisa membunuh temannya ya bunuh diri, ada yang kelewat ambisius makanya bunuh temannya, dan ada juga segilintir dari mereka bertahan dan menolak untuk mengkhianati temannya.   BR juga mengandung unsur black humor, terutama adegan dimana ada mbak-mbak yang menjelaskan Battle Royale ke kelasnya Shuya.  I think that scene is very funny and amusing.  Sikapnya yang penuh keceriaan dan semangat kontras dengan isi penjelasannya.  Anyway, gue kurang ngerti letak 'horor' dari Battle Royale.  Memang banyak pembunuhan yang dilakukan secara tiba-tiba, tapi gue gak merasa tegang sama sekali ketika nonton film ini.  Ada rasa terkejut, tapi gak ada tegangnya sama sekali.

I don't like Shuya and Noriko.  They are too naive for my liking.  Gue berpikir mereka stereotipe protagonis naif yang gak tahu diri, yang sok-sokan mau jadi pahlawan.  Tapi setelah gue merenung, ada kemungkinan juga watak mereka yang naif malah jadi sebuah mock bagi stereotipe itu sendiri.  Bagaimana pemikiran mereka yang naif tidak sejalan dengan realita yang mereka alami dan usaha mereka untuk menjadi pahlawan malah nihil karena mereka gak berhasil menyelamatkan orang lain.  


Gue kecewa pada Noriko karena karakternya tuh stereotipe cewek yang terlalu bergantung pada cowok.  Gue berharap karakternya dia mirip Takako Chigusa (Chiaki Kiriyama).  Tapi setelah gue pikir-pikir lagi, bukankah klise banget kalau Noriko sekuat Takako atau Mitsuko?  I mean, langsung kelihatan dong kalau Shuya dan Noriko pemenangnya.  I hate to admit it, tapi emang cewek membutuhkan cowok di bidang yang sangat membutuhkan kekuatan fisik.  Gue juga kecewa Shuya, baik dari aktor yang memainkan tokohnya maupun karakternya sendiri.  Flashback tentang Shuya yang diperlihatkan di film tetap gagal membuat gue jatuh hati atau bahkan bersimpati pada karakternya.  Mungkin karena flashback itu kurang kuat untuk memancing gue atau emang Tatsuya Fujiwara gak cocok jadi Shuya.  Gue juga kurang suka Shuya yang di komik, tapi Shuya di komik jauh lebih karismatik dan periang daripada yang di film. 

Beberapa orang gak suka dengan Noriko dan Shuya karena mereka bukan hanya naif, tapi juga terlalu hoki.  Seriously, mereka bakalan mati kalau gak ada Kawada.  Tapi gue rasa ini hanyalah semacam mock, lagi.  Superman, Harry Potter, Katniss Everdeen, they are not just heroes, but they are survivors.  Mereka jelas orang-orang kuat yang memang 'ditakdirkan' untuk menjadi pahlawan dan survivors.  Lalu apakah orang-orang yang lemah tidak punya chance untuk 'selamat'?  Tentu saja mereka bisa menjadi survivor....dengan sedikit keberuntungan.  Noriko dan Shuya memasuki sebuah situasi dengan waktu dan tempat yang tepat untuk bisa bertemu dan membuntuk aliansi dengan Shogo.  Ini juga merupakan metafora dimana orang-orang yang sebenarnya lemah dan skill-nya tidak hebat, bisa selamat karena mereka mendapat keberuntungan.  

Kalau bicara departemen akting, gue memperhatikan kalau sebagian besar dari mereka tuh aktingnya matinya konyol banget.  Bukan cara mereka dibunuh, tapi aktingnya.  Doh, kok kayak film-film Hollywood jaman batu yang matinya tuh lebay dah.  Mereka mengatakan 'kata-kata perpisahan' terus menggerakkan kepalanya, terus mati deh.  Sumpah, gue pengen banting laptop gue kalau gue lihat ada yang mati kayak gitu.  Anyway, kenapa disini dua aktor utamanya yang mengecewakan ya?  Tatsuya Fujiwara aktingnya gak natural.  Maksa banget sumpah.  Gue merasa canggung banget waktu lihat beberapa adegan nangisnya yang...awkward.  Aki Maeda?  Gue gak tahu apakah aktingnya yang datar itu emang karena kemampuannya terbatas atau emang skrip film ini yang membatasi kemampuan aktingnya.  Aktor terbaik tentu saja Takeshi Kitano alias Beat Kitano.  Gue kaget juga ternyata dia ini sutradara, bukan aktor.  Dia berhasil memerankan seseorang yang karismatik, tapi tidak benar-benar keji seperti versi lain di komik.  Dia gak nangis atau memerankan seseorang yang psikopat, tapi Kitano memerankan karakternya dengan begitu natural.  Sayang banget Masanobu Ando tidak diberikan dialog ataupun monolog.  Masanobu jelas mempunyai potensial lebih daripada Fujiwara.  Dan gue lebih suka Kazuo Kariyama yang diperankan dia daripada versi manga, karena Kiriyama disini jauh lebih gila dan ekspresif.  

Sinematografinya cukup standard, tapi musiknya bagus banget, terutama di adegan pembukanya.  Film ini menggunakan beberapa musik klasik yang dimainkan oleh Warsaw Philarmonic Orchestra.  Tapi gue gak suka lagu buat ending credit-nya.

Overall, Battle Royale is an amazing dystopian film that full of surprising murders and blood.  The acting department maybe disappoint you, but the plot of this film is too amazing to be missed.  I recommend this film for you who like The Hungers Games and strong enough to watch bloody murders.  9/10   

 

2 komentar:

  1. cocoknya para pejabat korup diungsikan ke sebuah pulau terpencil trus disuruh melakukan yg kayak di film Battle Royale ini sampe tersisa satu pemenang yang hidup trus yang hidup dilaga lagi begitu seterusnya sampe tak tersisa #ngayal

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaha, seru juga tuh kalau bakalan terjadi :D

      Hapus