Minggu, 29 Juni 2014

Selamat Pagi, Malam (In the Absence of the Sun)

Anggap aja ini New York. -Gia

Some of you maybe wondering how the hell I watched this film...

GUE NONTON NIH FILM BARENG NYOKAP, HAHA.   Beginilah nasib anak belum punya KTP.

Selamat Pagi, Malam merupakan film drama Indonesia tahun 2014 dengan durasi 98 menit.  Film ini disutradarai oleh Lucky Kuswandi.  Film ini menarik perhatian movie-enthusiast di Indonesia karena topiknya yang cukup menarik.  Gue sudah melewatkan Jalanan and I somehow think that maybe by watching this film, I can redeem myself.  Or not.  Jujur, gue gak tahu banyak tentang Lucky Kuswandi, bahkan dia belum punya page di wikipedia Indonesia.  Akhirnya gue browsing di google dan nemu page-nya dia di imdb.com.  But enough with Lucky Kuswandi, let's talk about Selamat Pagi, Malam, shall we?

Gia (Adinia Wirasti) yang telah menetap di New York bertahun-tahun tidak lagi merasa Jakarta sebagai rumahnya ketika pulang. Apalagi ketika bertemu Naomi (Marissa Anita), soulmate-nya di New York yang telah lebih dahulu pulang ke Jakarta dan berkompromi dengan kemunafikan gaya hidup kelas atas Jakarta.
Indri (Ina Panggabean) berambisi untuk meng-upgrade kehidupannya yang pas-pasan sebagai penjaga handuk di gym dengan menemukan laki-laki kaya melalui chatting di smart phone cicilannya, tempat di mana identitas tidak lagi pasti.
Ci Surya (Dayu Wijanto), ibu rumah tangga yang dikenal hanya dengan nama suaminya, Koh Surya seorang pengusaha yang sukses. Ketika suaminya meninggal, hidupnya terasa tidak berarti. Apalagi ketika menemukan kalau selama ini Koh Surya mempunyai kekasih lain: seorang penyanyi bar bernama Sofia (Dira Sugandi).
Pada malam yang sama, kehidupan mereka berubah di luar rencana. (diambil dari 21cineplex.com).
SPOILERNYA DIKIT KOK, SUMPAH


Buat kalian yang belum punya KTP, coba deh nonton ini bareng orangtua kalian.  Dijamin gak nyesel.  Lumayan loh, kalian pasti dapat pengalaman baru gitu...

Film Selamat Pagi, Malam agak mengingatkan gue pada film Magnolia.  Kedua film ini sama-sama menceritakan beberapa tokoh yang punya suatu relasi, mengalami suatu perubahan dalam waktu kurang-lebih satu hari.  In In the Absence of the Sun's case, dalam semalam.  Gue baru tahu kalau gaya bercerita seperti ini disebut juga dengan interwoven.  

Kalau saya lihat, ketiga tokoh ini disatukan oleh suatu tema yaitu lifestyle.  Gia terheran-heran melihat lifestyle baru temannya, Ci Surya menemukan lifestyle yang cukup gelap setelah kepergian suaminya, dan Indri mencoba untuk beradaptasi dalam suatu lifestyle that she can't afford.  Kalau gue pribadi sih lebih tertarik dengan ceritanya Ci Surya dan gue berharap banget ceritanya dia lebih dikembangin.  Gue emang tertarik dengan cerita seberapa jauh dampak kematian bagi seseorang atau suatu kelompok.  Cerita Gia dan Indri membawakan aspek satir dan dramedy gaya hidup kelas atas Jakarta.  Cerita mereka berdua memang lebih bisa memancing tawa dari penonton.  Sumpah, entah kenapa gue ngakak melihat orang-orang pake tongsis, ngomongin rainbow cake, sampe pernikahan.  Fyi, gue sama sekali gak merasa tersindir nonton film ini, karena gue hampir tidak pernah melakukan kegiatan-kegiatan yang dijadikan ejekan disini, haha. 

Cuma gue agak bingung karena gue kurang bisa merasakan perubahan 'emosional' atau perubahan apapun dari mereka.  Gue hanya bisa merasakan 'perubahan' pada satu tokoh, dan tokoh itu sempat berinteraksi dengan Aming.  Jadi menurut gue, tiga tokoh utama di film ini melewati malam yang eventful, tapi sedikit sekali perubahan yang TERJADI, dalam diri mereka.  Perubahan dalam aspek pemikiran atau sikap kurang terlihat dalam dua karakter lainnya.   

Sinematografinya bagus sih, walaupun ada beberapa adegan yang gue kurang suka.  Bukan masalah kontennya, tapi dari range atau sudut pengambilan gambarnya.  Oh iya, SPM dibuka dengan montage kota Jakarta.  Jangan membayangkan montage-nya bakalan kayak pelem Midnight in Paris atau Manhattan karya Woody Allen.  Justru montage-nya memperlihatkan kota Jakarta sehari-hari.  Alias kota Jakarta yang macet dan sesak.   Gue juga berharap lebih banyak shot Jakarta malam hari.  Daripada memperlihatkan GI dan monas doang, kenapa gak meng-explore lebih banyak sisi kota Jakarta?


I don't like the English conversation between Adinia Wirasti and Marissa Anita.  Gak natural dan agak maksa.  Don't get me wrong, akting mereka berdua tuh sebenarnya bagus.  But I'm always turned off whenever I heard they talk in English.  Simply because it's awkward.  Sayangnya juga, chemistry antara Adinia Wirasti dan Marissa Anita kurang terasa.  Mereka terlihat maksa banget waktu lagi 'have fun'.  

 Ekspresi Dayu Wijanto bak ekspresi anggota DPR yang ngantuk dengerin presiden kita tercintah dan ekspresinya cocok banget dijadikan berbagai meme.  Gue gak terlalu familiar dengan Dayu Wijanto sehingga gue gak bisa membandingkan aktingnya dia di film lainnya.  Tapi gue rasa ekspresi Dayu Wijanto yang mirip peramal tarot sangar tuh disebabkan oleh skrip film yang membatasi cara dia untuk berekspresi.  Memang ada beberapa adegan dimana ekspresinya berubah, tapi sebagian besar adegannya dia ya gitu-gitu aja.  Atau mungkin Lucky Suwandi ingin memperlihatkan suatu unusual perspective seseorang yang baru ditinggal orang yang dicintai?  Biasanya kan orang yang baru 'ditinggal' tuh emosional, sering nangis, dll.  Sedangkan Ci Surya ini cenderung kalem, alias lebih banyak menyimpan di dalam.  Anyway, adegan dimana Dira Sugandi menyanyikan lagu terakhirnya kok kurang ngena ya bagi gue?  Suaranya sih bagus dan pencahayaan buat adegan itu bagus banget, tapi tetap aja adegan itu kurang ngena bagi gue.   Kalau aktingnya si Ina Panggabean menurut gue sih masih terasa akting (re: kurang natural). 

Overall, Selamat Pagi, Malam a.k.a In The Absence of The Sun is a funny and smart film that (maybe) will create bitter and cynical smile from your face.  The cinematography is great and there are some beautiful shots from Monas.  It's a shame that the acting department is not really spectacular.  8,3/10   

         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar