Tampilkan postingan dengan label Tara Basro. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tara Basro. Tampilkan semua postingan

Rabu, 10 Agustus 2022

[A Review-ish] Pengabdi Setan 2: Communion [SPOILER ALERT]

Akhirnya sekuel dari Pengabdi Setan ditayangkan pada Agustus tahun ini. Jarak antara sekuel dan film pertama cukup lama, yaitu sekitar lima tahun. Film yang digarap oleh Joko Anwar dan dibintangi oleh Tara Basro ini merupakan salah satu film Indonesia yang ditunggu-tunggu. Buktinya film tersebut sudah mencapai satu juta penonton kurang dari seminggu. Film ini mengikuti kehidupan keluarga Rini yang terdiri dari Rini sendiri, bapak, Bondi, dan Toni. Sekarang mereka tinggal di sebuah rusun (rumah susun) yang cukup terpencil. Hidup di rumah susun tentu saja membuat mereka memiliki beberapa tetangga seperti Tari (Ratu Felisha), seorang PSK yang sering digoda oleh Dino (Jourdy Pranata). Bondi memiliki beberapa teman baru, salah satunya adalah Wisnu, yang dianiyaya oleh bapaknya sendiri. Suatu malam, para penduduk rumah susun khawatir karena adanya peringatan mengenai badai. Namun kekhawatiran mereka berubah menjadi ketakutan ketika suatu kecelakaan mematikan terjadi di rumah susun tersebut.

Pengabdi Setan 2 kembali dengan beberapa aspek yang lebih tentu saja. Sinematografinya jauh lebih bagus dan cantik daripada film sebelumnya. Penggunaan cahaya juga sangat efektif, tidak hanya bagian horornya tapi juga bagian cantiknya. Production value juga kelihatan lebih bagus dan mahal. Gila sih Joko Anwar dan timnya bisa sampai pake gedung rusun yang terbengkalai.

Nah, sayangnya meskipun set-nya udah lebih gede dan lain-lain, gue malah merasa terornya gak semencekam film pertama. Nah mungkin ini karena setting film pertama kan di rumah tua. Kalau lo masih punya kerabat yang rumahnya di desa, gayanya jadul, punya sumur, pasti ada point relateable. Gak cuma itu, tapi karena itu di rumah, kayak lebih terasa claustrophobic karena space untuk lari lebih kecil. Secara psikologis, lo akan lebih merasa tertekan karena lo diserang di tempat yang seharusnya tempat teraman dan ternyaman buat lo.

Tapi ini tidak seharusnya menjadi alasan. Space yang luang seperti rumah susun memiliki teror sendiri. Bisa jadi "teror elektronik" kayak film horor Jepang tahun 90-an seperti The Ring atau Ju-On. Tipe horor "aneh" macam drakor Stranger from Hell yang tetangganya aneh-aneh juga bisa. Atau rumah susun bisa digunakan agar para karakter merasa lelah, terutama secara fisik, karena justru rumah susun jadi terasa terlalu luas. Artinya ya mereka harus lebih banyak lari dong waktu ketemu setan. Rumah susun juga terasa sulit dibedakan karena bentuknya ya begitu-begitu saja, sehingga mungkin bisa menimbulkan keparnoan karena "merasa" sudah ke rumah yang itu. Sayangnya, selama di film tidak ada rasa-rasa tersebut. Mungkin Joko Anwar merasa ide-ide gue yang itu terlalu klise, tapi I'll take cliche over underwhelming horror anytime.

Intinya, setting rumah susun di film Pengabdi Setan 2 gak bikin gue paranoid kayak sumur atau ke toilet malem-malem (dari film pertama). Sebenarnya bukan berarti gagal bikin takut sih. Ada beberapa yang lumayan bikin gue dagdigdug kek waktu si Wisnu buang sampah atau si tetangga-tetangganya Rini pada melihat ke arah dia. Tapi entah build-upnya terlalu pendek (untuk gue) sehingga tidak ada lingering fear setelah pulang, I don't know. Gue takut sih nonton PS2, tapi takutnya ya udah, gak bikin parno.

Sekarang kita lanjut ke masalah teori-teori di film ini. Dari perspektif ekonomi, memang Joko Anwar sukses creating hype and buzz for the film, yang gue yakin bikin investor seneng. Di sisi lain, misteri di film ini tuh terlalu loose dan out of nowhere for me. Tidak banyak fondasi yang menjadi anchor bagi penonton. Padahal gue suka misteri di mana clue-nya yang memang bisa digunakan untuk menjawab beberapa pertanyaan di film.

Contoh misteri yang baik unexpectedly menurut gue malah ditulis oleh J.K. Rowling. Contohnya, Rowling suka menggunakan trope di mana ada "tersangka" yang digunakan untuk men-distract pembaca/penonton dari tersangka sebetulnya, kayak Snape di buku pertama tapi penjahatnya sebenarnya malah Quirell. Quirell merupakan penjahat pun bukan twist yang out of nowhere and for the sake of twist, karena Rowling sudah menebar petunjuk kecil seperti kepala Quirell yang ditutup terus, dan Snape yang mencoba untuk melawan Quirell.

Jujur gue sudah menebak si Bapak adalah seorang petrus (penembak misterius) karena kata petrus terlalu sering disebut di awal film, apalagi pekerjaan si Bapak tidak pernah dijelaskan. Tapi alangkah lebih baiknya jika ada petunjuk subtle yang lebih. Sebenarnya misteri atau hint yang going to nowhere is not something yang inherently wrong, tapi wajar jika ada beberapa penonton yang merasa tidak puas.

On the other hand, ada beberapa hint kecil yang gak (atau belum?) ke mana-mana. Contohnya, kenapa pocong-pocongnya di awal kok specifically munculnya di Boscha? Boscha-nya tidak disebut lagi di bagian selanjutnya. Kalau gue punya teori nih. Kan occult yang di film ini berasa kayak ala-ala horor film barat dibandingkan Asia. Kek pemujaan setan/paranormal atau apalah. I can't explain it clearly tapi vibenya tuh beda aja sama film sebelumnya. Mungkin kultus/kelompok pengabdi setan si ibu ini, aslinya muncul dari luar Indonesia, dari negara-negara yang ikut KAA di Bandung, makanya kemunculunnya baru ada sekitar mendekati KAA. Nah, Barata (Fachri Albar) dan Darminah (Asmara Abigail) lebih ke arah agen yang menyebarkan ajaran, tapi mungkin bukan anggota aktif, hence their dialogue in the end of the movie!

Overall, Pengabdi Setan 2 improves the cinematography and production value. Sadly, the terror has less grip as the set wasn't used effectively. My personal hope: Joko Anwar will give us more of Fachri Albar and Asmara Abigail so their face talent won't be wasted <3

Minggu, 03 November 2019

Perempuan Tanah Jahanam (Impetigore)

taken from kumparan.com
Joko Anwar is one fire this year! Setelah kesuksesan Gundala, ia kembali sebagai sutradara dan penulis lewat Perempuan Tanah Jahanam. Sejauh ini, Perempuan Tanah Jahanam telah sukses mendapatkan sekitar 1,5 juta penonton. Salah satu penyebab kesuksesan ini jelas dengan marketing dengan tagline yang cukup viral, seperti "Kerasa, nggak?", atau "Kamu, adalah kesalahan yang harus saya hapus!'


SPOILER ALERT

Maya (Tara Basro) dan Dini (Marisa Anita) sedang night shift sebagai penjaga pintu tol. Mereka di dua tempat yang berbeda, namun sering mengobrol lewat handphone. Akhir-akhir ini, Maya diuntit oleh seorang pria yang menggunakan mobil butut. Suatu malam, laki-laki tersebut bertanya apakah Maya bernama Rahayu dan berasal dari daerah Harjosari. Merasakan ketakutan temannya, Dini meminta salah satu petugas untuk ke pos Maya. Laki-laki tersebut menyerang Maya hingga pahanya terluka. Sebelum bisa membunuh Maya, laki-laki tersebut ditembak mati oleh petugas yang sampai.

Akibat pertanyaan aneh pria tersebut, Maya menjadi penasaran dengan masa lalunya. Tak hanya itu, Maya dan Dini tergiru dengan prospek adanya rumah warisan yang ditinggalkan oleh orangtua Maya. Mereka memutuskan untuk pergi ke desa Harjosari, suatu desa yang sangat terpencil hingga susah mendapatkan sinyal handphone dan akses transportasi. Di sana, mereka mengingap di rumah masa kecil Maya sambil menunggu Ki Saptadi (Ario Bayu), seorang dalang, dan ibunya, Nyi Misni (Christine Hakim).

taken from tirto.id
The best opening scene from an Indonesian film that I've ever watched! Ketegangannya dibangung perlahan-lahan dan Joko Anwar dengan pintarnya membangunnya dengan adegan ngobrol biasa, bukan langsung ketegangan. Akan lebih bagus kalau Joko Anwar lebih berani memperpanjang obrolannya dan suspense-nya dibangun sedikit lebih pelan lagi. The suspense just snapped a bit faster for my liking. Only a bit though.

Gue gak tahu kenapa membandingkan film ini dengan Midsommar, film 2019 karya Ari Aster. Common point antara dua film ini sebenarnya dangkal sih, orang kota "modern" yang datang ke desa terpencil, di mana penduduk desa di situ bagian dari suatu cult atau menganut kepercayaan yang tidak konvensional. Salah satu perbedaan yang menonjol adalah, Midsommar bagi gue fancier dan lebih aesthetic, tapi gue gak meresapinya sedalam Perempuan Tanah Jahanam. Penyebabnya adalah, Midsommar dari awal udah kelihatan penduduknya gak biasa, baik dari pakaian maupun kebiasaan. Penduduk Harjosari tuh pakaiannya masih biasa, dan sekilas kebiasaan memakamkannya pun gak beda jauh dengan kebiasaan pemakaman Islam di Indonesia.

Selain itu, penduduk di Midsommar jauh lebih erat. Mereka melakukan hampir semua kegiatan bersama, termasuk makan dan tidur. Membesarkan anak pun dibesarkan bersama, tidak melimpahkan tanggung jawab ke orang tua secara eksklusif. Sedangkan, penduduk Harjosari tidak seerat itu dan sangat bergantung kepada Ki Saptadi dan Nyi Misni. Hal ini diperlihatkan dari bagaimana penduduk Harjosari sering bertanya kepada Ki Saptadi. Selain itu, di sana ada beberapa orang yang dianggap sebagai "kelas dua", seperti Ratih, yang diperankan oleh Asmara Abigail.

Poin dari Perempuan Tanah Jahanam yang gue suka adalah adanya social commentary mengenai betapa bahayanya ketergantungan terhadap satu orang, atau satu perspektif. Tapi, yang lupa ditekankan juga oleh film ini, betapa pentingnya juga akses terhadap dunia luar. Desa Harjosari tidak diaspal, akses air bersih kurang, akses telepon saja susah, apalagi akses internet? Belum lagi, ketika ada masalah kesehatan, mereka malah datang ke dalang, bukannya dokter.

Poin lain yang gue suka adalah, pada akhirnya, hantunya cuma "ganggu". Mereka gak menyakiti Maya dan Dini. Manusia lah yang menyakiti mereka berdua.

taken from magdalene.co
Aspek teknisnya keren sih. Mulai dari production set yang apik, serta tata musik dan sinematografi yang berhasil banget menangkap suasana mencekam selama film berlangsung. Menarik melihat perpindahan dari yang awalnya dominan warna hijau, dan cokelat, terus mulai dominan warna kuning, hitam, merah, dan jingga. Shoutout to The Spouse yang nyanyi main song nih film!

ARIO BAYU GANTENG WOY. Sayang aja kadang-kadang agak kaku dan bahasa Jawanya belum terserap sempurna. Untuk Tara Basro, gue harus setuju sih kalau Asmara Abigail dan Marisa Anita lebih berhasil menarik perhatian di film. Apalagi Marisa Anita, udah terserap deh dari cara ngomong dan ekspresi wajahnya. Untuk Christine Hakim, bagus, cuma kok gue merasa ada bagian dia yang unintentionally narmy, atau mungkin dia emang sengaja gitu? Maksudnya, jatuhnya agak comedy-ish gak sengaja gitu loh.

Overall, Perempuan Tanah Jahanam is a good film, that successfully combines thriller with Indonesian mysticism, while carrying a social commentary. 7,8/10