Senin, 16 Maret 2015

Cinderella (2015)


Gue demen fairytale waktu gue masih eek di celana. Tentu saja gue mencintai fairy tale karena gue gak tahu betapa konyolnya the idea of love at first sight, atau bahwa rata-rata protagonis di fairy tale selalu digambarkan dengan kata cantik, seolah-olah kebaikan bisa terlihat dari luar. Anyway, Cinderella merupakan film fantasi Amerika tahun 2015 yang disutradari oleh Kenneth Branagh dan ditulis oleh Chris Weitz.  Sama seperti Maleficent, Cinderella merupakan recreation dari sebuah fairytale klasik. Karena gue cukup terhibur dengan Maleficent, gue mencoba untuk memberikan Cinderella suatu kesempatan (although I know I won't like this film).

Salah satu ciri khas Ella (Lily James) adalah lunacy daya imajinasi yang besar. Ia percaya bahwa binatang-binatang di sekitarnya mengerti apa yang ia bicarakan dan ibunya bahkan mendukung kepercayaan itu *which I don't really support in real life*. Ibu Ella memberikan suatu nasihat yang akan menjadi prinsip Ella yaitu have courage and be kind. Bla bla bla, ibunya mati, lalu ayahnya menikahi seorang janda bernama Lady Tremaine (Cate Blanchett).  Lady Tremaine tidak sendirian, ia membawa kedua putrinya yaitu Anastasia dan Drizella. Saat Lady Tremaine membawa sepercik 'keceriaan' ke rumah Ella, sang ayah pergi meninggalkan Ella bersama keluarga barunya. Bla bla bla, Lady Tremaine dan dua putrinya memanfaatkan kepolosan dan kebaikan Ella sehingga status Ella menjadi babu.

Pangeran Kit (Richard Madden) didesak oleh ayahnya (Derek Jacobi) untuk menikahi seorang putri untuk memperkuat posisi kerajaan kecil mereka. Sayangnya, Pangeran Kit telah jatuh hati pada seorang wanita misterius yang ia temui di hutan. Pangeran Kit yang sudah jatuh terlalu dalam memutuskan untuk memperluas undangan pesta dansanya hingga pesta dansa itu bisa dikunjungi setiap orang.

Kapan ya gue gak spoiler?

cgmeetup.net

Gue tahu kok ini diadaptasi dari cerita yang super klise dan targetnya bukan penonton yang serius, tapi...

I dislike this film. Come on, kita udah di era modern, masa masih bikin film dengan tokoh, pesan, dan dialog yang super naif? Gue sadar betul kok film ini diadaptasi dari mana dan target penontonnya siapa, tapi tingkat dreamy dan kenaifan film ini sangat mengganggu gue. Gue melihat banyak bocah ingusan nonton film dan ngerasa kesel sendiri karena gue tahu sebagian dari mereka akan mendapatkan kesan yang kurang tepat dari film ini. Yang membuat kenaifan film ini sulit dimaafkan bagi gue adalah fakta bahwa film ini dibuat di jaman modern dimana otak yang bikin nih film harusnya udah lebih maju daripada pembuat film yang versi kartun di tahun 50an. 

Film ini juga tidak punya sedikit ramuan kegelapan, kalaupun ada, terasa terlalu subtle buat gue. Trust me, a speck of darkness is always good because the world is dark. 

Be kind and have courage my ass

I want to smash my head everytime I hear this line in the film.

Bercita-cita jadi orang baik dan idealis macam Jokowi, Munir, Martin Luther King jr, Mahatma Gandhi, atau orang lain itu bagus kok, asalkan lu juga make otak. Jangan sampe lu keseringan make hati terus otak lo karatan kayak si Ella. Cinderella kurang menekankan pentingnya untuk menjadi orang yang tidak polos dan agak jahat. Well, mungkin diperlihatkan lewat bagaimana 'derajat' Ella turun karena ia terlalu baik dan buta terhadap maksud ibu dan kedua saudari tirinya. Tapi orang yang terlalu fokus pada akhir dimana Ella mendapatkan prince charming mungkin melewatkan hal itu.   

Lady Tremaine dan putri-putrinya emang jahat, tapi mereka tahu bagaimana mereka bisa mendapatkan yang mereka inginkan. Mereka menggunakan otak mereka secara efektif. Ella bisa saja mendapatkan hal yang ia mau...if she trains her brain enough...which she doesn't do, because her mother only told her,"Be kind and have courage." Well fuck that advice, because you also need your brain. What's the point of kindness and courage without wisdom and cleverness?

Salah satu hal yang gue pelajari dari sejarah adalah bahwa sometimes, the victims let themselves to be victimized. Ella sebenarnya tahu bahwa ia dilakukan secara semena-mena oleh trio macan, tapi dia membiarkan mereka begitu saja. Alasan Ella membiarkan dirinya dilakukan semena-mena adalah ia ingin tetap berada di rumah milik orang tuanya. But in the end of the day, she lets herself to be victimized by the three stooges. Dia mengatakan Lady Tremaine kejam namun gagal melihat bahwa kenaifan dan sifatnya yang super 'baik' juga berperan dalam kesialannya. Also, it's quite ironic that Ella tells herself to have courage, but doesn't have balls to rebel against her step family.

jagatreview.com

This bitch had it too easy

Yang gue maksud dengan bitch bukan ibu tirinya kok, tapi si Ella.

Sumpah, tuh orang hokinya banyak banget anjir. Waktu dia membiarkan gaunnya dirobek, dia kedatangan ibu peri yang membuat gaun yang lebih bagus. Waktu dia cengak cengok di loteng, tikus-tikus yang bukain jendela.

Kurang hoki apa coba? 

Selain itu, hal ini memberikan kesan bahwa hoki akan selalu ada dan yang harus kita lakukan hanyalah be kind and have courage. Well, kenyataannya tidak semua dari kita punya kehokian yang sebesar itu. Kehokian yang terjadi pada Ella pun terjadi bukan karena dirinya, tapi karena orang lain membuka kesempatan itu. Ibu peri yang berusaha, bukan Ella. Tikus-tikus yang membukat jendela, bukan Ella.

...or is it? Gue sadar sih kalau Ella gak ngasih susu ke ibu peri, si ibu peri juga ogah bantuin Ella. Kalau Ella gak baek sama tuh tikus CGI, mereka malah gigit Ella. Jadi gue harus mengakui kalau sifat baiknya Ella memang meningkatkan presentasi kehokiannya. Sayangnya di kehidupan nyata, boro-boro orang yang lu bantu bakalan bantuin lu balik, best friend lu aja punya hati buat backstab lo

The actors

Cate Blanchett is a badass, as usual. Sumpah, dia bisa banget bikin ekspresi sedih yang bisa menipu penonton. Dia juga bisa memperlihatkan seorang ibu yang sayang anaknya, tapi malu sama kebegoan anaknya, haha. Untung nih film punya Blanchett.

Sebelum gue nulis, gue merasa gak suka dengan aktingnya Lily James. Tapi gue mempertanyakan diri gue sendiri apakah gue gak suka aktingnya, atau gak suka karakternya. Sometimes, people have a hard time to separate between the actors who act and the characters they play. Saat ini, gue memutuskan bahwa akting Lily James cukup, apalagi mengingat dia itu rookie.

Overall

Gue tahu kok film ini diadaptasi dari kisah yang super klise dan target penontonnya bukanlah penonton yang serius. Tapi gue pikir kedua hal itu bukanlah alasan untuk membuat film dengan pesan-pesan yang kurang tepat kepada penonton yang masih ngadu ke bokap nyokap mereka. Meskipun sang sutradara dan penulis melebih-lebihkan be-kind-and-have-courage stuff, ada kemungkinan mereka berusaha memperlihatkan kekurangan pesan itu lewat turunnya derajat Cinderella. Unfortunately,  Cinderella only gives me a super naive protagonist who's ironically doesn't have enough guts to rebel against her step family. And I don't like it. 4,5/10


1 komentar: