Jumat, 09 Mei 2014

Badai Pasti Berlalu (1977)

Seorang diabet tidak boleh kawin dengan seorang diabet.

Akhirnya gue nemu nih film, aaaaaaaaaaa!  Sumpah, sejak setahun yang lalu, gue kepo berat sama ceritanya Badai Pasti Berlalu.  Pertama kali gue tahu film Badai Pasti Berlalu itu waktu gue SD, karena ada remake-nya.  Gue juga tahu lagu Badai Pasti Berlalu, tapi yang versi Chrisye sama Ari Lasso doang.  Pas gue SMA, gue nemu novel Badai Pasti Berlalu di perpustakaan sekolah!!!  So, sebenarnya gimana sih ceritanya Badai Pasti Berlalu?

Hati Siska (Christine Hakim) menjadi beku sejak tunangannya meninggalkan Siska demi sahabatnya sendiri.  Karena Siska berdiam diri saja di vila dan tidak pulang ke rumah, John, kakaknya, meminta tolong pada Leo (Roy Marten) untuk melunakkan hati Siska.  Tanpa diketahui John, Leo mengadakan taruhan dengan teman-temannya agar ia bisa membuat Siska jatuh hati kepadanya.  Leo menggunakan 'reverse psychology' pada Siska.  Tidak seperti teman-teman John yang bermanis-manis pada Siska, Leo cenderung kasar dan dingin pada Siska.  Namun, hal itu justru berhasil karena Siska menyatakan cintanya pada Leo.

Siska yang menderita diabetes, mendengar dari teman-teman Leo bahwa Leo menderita diabetes juga.  Siska jadi teringat perkataan dokter bahwa seorang diabet tidak boleh menikah dengan seorang diabet.  Karena itu Siska membatalkan pertunangannya dengan Leo dengan cara berpura-pura marah soal taruhan yang diadakan Leo.

Leo dan Siska pun melanjutkan kehidupan masing-masing.  Pada saat malam natal, ayah Siska mengundang keluarganya untuk pergi night club yang dimilikinya.  Disana Siska bertemu dengan Helmi (Slamet Rahardjo), seorang pianis dan penyanyi yang menawan.  Siska segera minta diajari bermain piano oleh Helmi.  Namun dibalik keramahan dan sikap Helmi yang menawan terdapat sebuah rencana busuk yang membuat Siska menderita.  


Beberapa orang menyebut Badai Pasti Berlalu sebagai salah satu film terbaik Indonesia.  Dengan hype (?) yang cukup tinggi, tentu saja gue mempunyai ekspetasi tinggi terhadap film Badai Pasti Berlalu.  Anyway, gue udah baca novelnya dan...gue sangat kecewa dengan novelnya.  Kapan-kapan gue review novelnya.  Nah, kekecewaan gue terhadap novel yang ditulis oleh Marga T menyebabkan ekspetasi gue terhadap film ini berkurang.

Kualitas gambar film ini cukup jelek, bahkan lebih parah daripada Gone With The Wind yang notabene film tahun 30an.  Gambarnya...cukup butek. Hmm, mungkin gue harus download ulang dengan kualitas yang lebih tinggi.  Sinematografinya biasa aja, namun bukan berarti film ini tidak mempunyai adegan yang bagus.  Gue suka adegan natal dimana patung-patung yang berkaitan dengan agama Katolik di-shoot sambil diiringi lagu Hai Mari Berhimpun (versi Bahasa Inggris).  

Gue kurang suka editing film ini.  Peralihan dari satu adegan ke adegan lain terasa terlalu cepat untuk gue.  Gue jamin sebagian besar yang nonton film ini tanpa baca novelnya bakalan kebingungan dengan alur filmnya.  Selama 30 menit pertama, film bergerak cepat tanpa memberikan penonton cukup informasi.  Hal ini juga menyebabkan relasi antar karakter lemah.  Hampir tiap karakter tidak melalui suatu proses yang berarti.  

Siska digambarkan sebagai seorang gadis yang dingin.  Tapi gue tidak merasakan suatu 'kedinginan' yang berarti dari film ini.  Memang ada kekakuan, tapi kedinginan?  Apalagi karakter Siska terasa sedikit statis di film ini.  Setidaknya di novel ada perubahan pada Siska.  Di novel, Siska yang tadinya hanya pitying herself akhirnya memikirkan keharmonisan keluarganya.  Tapi pada film ini, perubahan itu kurang terlihat.  Gue kecewa karena pergulatan Siska datang dari luar, bukan dari dirinya sendiri.  Cobaan-cobaan yang datang terasa sangat dramatis dan seperti sinetron.  Pergulatan yang datang dari luar membuat karakter Siska tidak solid atau lemah.  Pergulatan dari dalam justru bisa memantapkan tokoh Siska.  Walaupun gue tidak menyukai 'Siska', gue kagum banget dengan akting Christine Hakim.  Saking kagumnya, adegan dimana Christine Hakim ngamuk di depan Slamet Rahardjo gue masukkin ke tugas puisi gue, haha.   


Gue bingung bagaimana Leo tiba-tiba jatuh cinta dengan Siska.  Yang tadinya cuma taruhan, malah menjadi cinta beneran.  Padahal sebagian besar adegan Siska dan Leo dihabiskan dengan Siska yang cemberut setiap kali melihat Leo.  Memang ada beberapa alasan tak terlihat bagaimana mereka bisa saling 'jatuh cinta', tapi bagi gue itu tidak cukup.  Apalagi Siska dan Leo tidak mempunyai percakapan panjang yang berarti dan membentuk chemistry mereka.  How they fall in love is just like a typical-cheap romance story.  Roy Marten emang cocok jadi berandal yang karismatik.  Dia berhasil menunjukkan sifat-sifat menawan Cassanova.  Anyway, chemistry antara Roy Marten dan Christine Hakim udah lumayan bagus.  Kalau skrip film ini diperbaiki, gue yakin chemistry di antara mereka akan lebih bagus. 

Slamet Rahardjo aktingnya bagus di film ini.  Ia berubah dari seorang pria ramah dan menawan menjadi seorang pria yang manipulatif dan oportunis.  Sayang badannya terlalu kurus, jadi gue masih milih om Roy Marten, haha (?)    

Salah satu hal yang membuat gue kepo dengan film ini adalah album soundtrack yang keren banget!  Sumpah, hampir semuanya bagus.  Mulai dari Pelangi yang puitis, Badai Pasti Berlalu  versi Berlian Hutauruk yang epik, sampe Merpati Putih yang sendu, dan masih banyak lagu keren lainnya!  Eros Djarot emang sabi banget dah.  Gak ada lagu yang jelek amat menurut gue.  Fyi, lagu Cintaku sebenarnya salah satu soundtrack Badai Pasti Berlalu dan versi aslinya memang dinyanyikan oleh Chrisye.  Keseluruhan, album soundtrack-nya lebih bagus daripada filmnya, haha.

I can't help but disappointed by this film.  Although there are solid acting performances, awesome soundtrack album, and some artistic scenes, Badai Pasti Berlalu is an overrated film.  6,5/10

pic cr:
en.wikipedia.org
tobytall.wordpress.com
rumahnegeriku.com

2 komentar: