Minggu, 18 Agustus 2013

Exteremely Loud and Incredibly Close



To be honest, I'm not a big fan of Stephen Daldry.  Gue nonton The Reader dan The Hours gak sampai habis karena ngantuk dan bosan banget.  Walaupun harus gue akuin Nicole Kidman dan Kate Winslet menampilkan performa yang keren banget.  Sayang performa mereka masih gak bisa membuat gue stay dan menonton film mereka sampai habis.  Yah, akhirnya gue memutuskan untuk memaksakan diri nonton film ini sampai habis.

Oskar Schell (Thomas Horn) adalah anak yang sangat 'spesial'.  Dia mempunyai hubungan yang sangat baik dengan ayahnya (Tom Hanks).  Sebelum ayahnya meninggal di peristiwa 9/11, ayahnya meninggalkan banyak pesan di telepon.  Akhirnya Oskar terpaksa hidup berdua dengan ibunya (Sandra Bullock) dan neneknya saja.  Hingga suatu hari, seorang kakek misterius (Max von Sydow) tinggal di dekat apartemen neneknya.


Bahkan sebelum gue selesai nonton film ini, gue ngerti kalau film ini terlalu mencoba untuk menjadi film inspirasional.  TERLALU.

Personally, I don't think Oskar is that annoying.  Lebih baik dia annoying daripada dia menjadi karakter yang terlalu baik seperti Forrest Gump.  Gue udah gak butuh karakter seperti Forrest Gump di film seperti ini.  Why?  Karena rasanya setiap karakter (TERLALU) berusaha untuk menarik perhatian, menjadi sumber inspirasi, and stuffs like that.  Film ini sudah mempunyai ayah yang mengerti anaknya, ibu yang bersabar dalam menghadapi anaknya, nenek yang perhatian dengan cucunya, dan kakek yang tiba-tiba datang untuk menemani cucunya tepat saat si cucu kehilangan figur ayah.  I think he's not Oskar Schell, he's Oskar Sue.  Besides, gue rasa selain Oskar dan sifat 'spesial'nya, tidak ada anggota keluarga yang mempunyai flaw yang kuat.  Memang, kakeknya bisu, tapi kesabarannya (yang terlalu sabar) menutupi flaw-nya, yaitu bisu.  

Film ini sebenarnya mempunyai sinematografi yang bagus dan teknik suara yang bagus.  Tapi yang buat gue kebelet buat matiin TV adalah setiap sequence terasa lambat dan monoton.  Semuanya jadi terasa bertele-tele.


Gak cuma itu, gue terus mencoba memahami apa sih point sebenarnya dari film ini.  Film ini mencoba untuk menjadi film yang inspirasional, dan boleh dibilang Oscar-winner-wannabe.  Tapi, gue gak dapat pesan moralnya, maksud ending-nya.  I just don't understand what's the point of this movie.  Kalau film ini memang bersifat ambigu dan rumit, atau tidak mencoba untuk inspiring, seperti Pulp Fiction, A Clockwork Orange, Inception, dan film-film seperti itu, I get it, karena film-film itu memang seni, bukan bertujuan untuk inspire people.  Selain itu, Oskar tidak punya figur tetap yang berperan penting dalam plot film ini.  Dari ayah menjadi ibu, lalu ada nenek, tiba-tiba kakek datang, belum lagi kedatangan Abby Black yang terasa memenuhi film ini dengan protagonis.  Akan lebih baik jika Oskar punya figur sampingan yang berperan penting dalam plot, seperti Tom Cruise di Rain Man.  Lagipula, salah satu faktor yang membuat Rain Man lebih bagus daripada film ini adalah Rain Man tidak mencoba dengan keras untuk menjadi inspirasional atau menyentuh.  Inti film Rain Man adalah hubungan antara kakak-beradik yang sempat terputus.  Dan Tom Cruise pun tidak berusaha untuk menjadi protagonis dan Dustin Hoffman...well, di awal film, gue menganggap dia lebih annoying daripada Oskar.  Tenang, karakternya doang, ofc akting Dustin Hoffman brilian banget. 

Extremely Loud and Incredibly Close is trying extremely to inspire the viewers.  4/10 

 

2 komentar:

  1. I nominated you for The Liebster/Sunshine Awards, silahkan check http://sinekdoks.wordpress.com/2013/08/19/the-late-liebster-sunshine-awards-2013/

    give yourself a break, bro :)

    BalasHapus