Minggu, 18 Agustus 2013

Hugo : Surat Cinta Scorsese Kepada Film

Happy endings only happen in the movies. -Papa Georges.

Silahkan kritik dan hina saya karena baru me-review film Hugo (2011) sekarang.

Tidak jarang sutradara atau penulis membuat 'surat cinta' pada passion mereka tersendiri.  Contohnya adalah Midnight in Paris yang merupakan 'surat cinta' Woody Allen pada kota dan kebudayaan Paris, Perancis.  Atau Django Unchained yang merupakan 'surat cinta' Quentin Tarantino kepada film-film western.  Pada tahun 2011, Martin Scorsese dan John Logan akan membuat 'surat cinta' kepada film, atau lebih spesifik, Georges Melies.

Hugo (Asa Butterfield) adalah bocah yatim piatu yang hidup di sebuah jam.  Ia sendiri bekerja untuk memutar jam.  Namun di waktu luangnya, ia sering 'meminjam' mainan-mainan dari toko mainan yang dimiliki oleh seorang kakek (Ben Kingsley).  Sebenarnya ia mencuri mainan-mainan itu untuk memperbaiki automaton yang ditemukan ayahnya (Jude Law).  Tak disangka, ia berteman dengan anak baptisnya yaitu Isabelle (Chloe Grace Moretz).  Tidak hanya itu, petualangan Hugo dipersulit oleh Inspektur Gustave (Sasha Baron Cohen) yang sepertinya senang sekali memasukkan bocah-bocah ke panti asuhan.


I'm not a big fan of family movie.  Kalau saya menontonnya saya malah jadi emosi sendiri melihat kekonyolannya.  Dan ketika Hugo diputar di Indonesia, saya memang kurang tertarik dengan film dibandingkan dengan sekarang.  Sekarang saja saya sudah malas untuk membeli DVD atau men-download.  Untungnya, HBO berbaik hati sekali menayangkannya di sore hari (tidak seperti HBO yang satunya yang menayangkan Raging Bull malam sekali-_-).  Lantas, apa yang membuat Hugo berbeda dari film anak-anak konyol lainnya?

Saya sendiri sempat skeptis di film ini ketika melihat Sasha Baron Cohen yang berperan sebagai antagonis konyol.  Saya kira dia akan menjadi Count Olaf atau semacamnya sehingga saya sempat berpikir untuk mengganti FOX yang waktu itu menayangkan Skyfall.  Apalagi saya kurang menyukai editing-nya di beberapa bagian.  Maksudnya, peralihan adegannya agak terasa tiba-tiba.  Dan, ini sebenarnya hal kecil, namun saya agak terganggu dengan penggunaan bahasa Inggris padahal film ini ber-setting di Perancis.  Quentin Tarantino yang terkenal dengan sikap masa bodoh nya saja bisa membuat Inglourious Basterds untuk tidak total bahasa Inggris.  Bagaimana ya, penggunaan bahasa Inggris itu mengurangi kekentalan rasa Europe-ish (saya suka sekali dengan film-film yang mempunyai Europe-ish feeling, hehe).  Belum lagi ketika saya melihat adegan menangis Asa Butterfield yang kurang terasa natural dan opening sequence yang kurang menarik.  Apalagi cerita klise tentang ayah-anak yang sempat membuat saya berpikir bahwa film ini akan menjadi lebay seperti Extremely Loud and Incredibly Close.  Namun, score, sinematografi, dan plot yang membuat saya penasaran akhirnya bisa membuat saya untuk tidak berganti channel.

Dan untung saja saya tidak berganti channel.  Karena ternyata saya menonton salah satu film anak-anak terbaik yang pernah saya tonton (?)


Saya ingat bahwa Extremely Loud and Incredibly Close dimaki oleh para kritikus karena mereka merasa bahwa film ini sangat 'Oscar bait'.  Bagi kalian yang kurang tahu apa yang dimaksud dengan 'Oscar bait', saya hanya bisa memberi contoh : The King's Speech, The Artist, Slumdog Millionaire, Forrest Gump, dll.  Film-film ini (menurut saya pribadi) tidak menjadikan pemasukan sebagai prioritas, namun penghargaan.  Seberapapun bagus dan emosional film-film diatas, film-film itu tetaplah 'Oscar bait'.  Saya sendiri sempat merasa adanya unsur 'Oscar bait' walaupun sedikit.  Namun, apa yang membuat Hugo selamat dari makian adalah film ini tidak terlalu keras dalam usahanya untuk menginspirasi penontonnya, atau 'norak' dengan kemampuan akting pemain-pemainnya.  Ya, Thomas Horn dan Max von Sydow sangat bagus di film ELIC, namun mereka cukup 'norak'.  Selain itu, Hugo masih punya ketulusan dan gairah Scorsese terhadap film, serta visual yang jauh lebih menarik daripada ELIC.  Atau mungkin simply karena Hugo disutradarai oleh Martin Scorsese, yang notabene (menurut wikipedia) dianggap sebagai salah satu sutradara terbaik di dunia.

Tone yang santai dan ringan juga sangat membantu untuk menikmati film HugoBila kita bandingkan dengan Taxi Driver, Goodfellas, ataupun Shutter Island, mungkin ini adalah film Scorsese yang paling nyante.  Sebenarnya Scorsese memang sempat membuat film yang agak berbeda seperti The Age of Innocence.  Saya menyukai ketiga aktornya, namun saya kurang menyukai alurnya yang agak terasa...kering (dan saya juga kurang suka dengan novelnya).  Namun, bukan berarti Scorsese akan membiarkan Hugo menjadi film yang dangkal.  Film ini masih mempunyai sesuatu yang bersifat (agak) complicated khas Scorsese.  Jadi, untuk anak TK ataupun anak SD kelas 1-3, film ini tentu akan terasa membosankan.


Walaupun adegan menangis Butterfield agak dipaksakan, akhirnya saya memaafkannya, apalagi setelah melihat chemistry-nya dengan Moretz.  Moreetz sendiri sebagai individu juga tampil brilian.  Mereka bisa menampilkan kepolosan tanpa berlaku bodoh ataupun membesarkan mata mereka.  Mereka juga bisa menunjukkan kehausan petualangan karakter mereka tanpa adegan aksi yang besar atau meledak-ledak.  Sir Ben Kingsley, seperti biasa, tampil dengan wibawa dan somewhat...graceful?  Namun bukan graceful  (or should I say...kekakuan?) yang biasanya ditampilkan oleh Anthony Hopkins.  Helen McCrory yang tampil sebentar tetap mampu tampil memuaskan dan cukup memukau.  Hampir tidak ada bau seorang Narcissa Malfoy disini.  Seiring berjalannya film, saya tetap tidak menyukai karakter Sasha Baron Cohen yang terasa konyol dan bodoh.  Dan meskipun John Logan dan Scorsese mencoba untuk memberikan alasan agar penonton tidak membencinya, saya tetap membencinya dan terganggu dengan kehadirannya.  Selain departemen akting, saya jatuh cinta dengan iringan musik Howard Shore yang juga mempunyai Europe-ish feeling.  Dan tentu saja mampu memikat penontonnya alias saya.

Overall, Hugo is one of the best from Martin Scorsese and certainly one of the best family movie I've ever watched [yup, it's better than Wizard of Oz (1939)]  8,5/10

pic cr :
hdwallpapers.in
poptower.com
torlock.com
cinephilesdiary.blogspot.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar