Selasa, 07 Mei 2013

9 Summers 10 Autumns

Aku tak bisa memilih masa kecilku.  -Iwan Setyawan


Well, berhubung gue orang yang AGAK patriot dan ingin menunjukkan apresiasi terhadap perfilman Indonesia, gue memutuskan untuk nonton nih film.  Gara-gara 5 cm (damn you, Dirgantoro...) gue jadi gak berharap banyak deh sama film Indonesia.  Kecuali film Mira-Riri, itu gue masih bisa berharap. 

Hmm, lagi-lagi gue agak bingung menceritakannya karena ini mungkin film Indonesia yang PALING non-linear.  Kan biasanya mundur terus atau maju terus, tapi kalau ini bener-bener maju-mundur.  So...

Film ini menceritakan tentang kehidupan Iwan Setyawan (Ihsan Tarore).  Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara, satu-satunya anak laki-laki.  Saat ia kecil, ia bukanlah anak laki-laki idaman ayahnya (Alex Komang).  Tapi ia masih mempunyai ibu yang terus mendukungnya.  Kepribadiannya yang pendiam membuat ia lebih sering 'bergaul' dengan buku-buku daripada anak laki-laki yang sebaya. Hobi belajarnya ternyata bisa membawanya masuk ke IPB, dan akhirnya New York.


Hmm, film ini ternyata gak seburuk 5 cm.  Masih mending kok.  Tapi entah kenapa gue gak terlalu suka sinematografi film ini.  Gak tahu kenapa, gue sering merasa ada yang aneh sama sinematografi film Indo kalau sutradaranya bukan Mira/Riri atau Joko Anwar, ataupun beberapa film lain seperti AADC, 5 cm, dll.  Tapi, hal itu masih bisa dimaafkan.

Two thumbs up buat yang jadi Iwan kecil.  Salut banget anak kecil gitu aktingnya keren, lebih bagus daripada kristen stewart, megan fox, dan robert pattinson!   Akting pemainnya gak ada yang mengecewakan kok, gue suka semuanya.  Kalaupun ada yang jelek, gak sampai jelek-jelek banget, sampai tingkat biasa aja.  Tapi yang patut diacungi jempol adalah Alex Komang, Iwan kecil, dan ibunya Iwan (maaf ya, gue gak terlalu hafal nama pemainnya, dan gak dapat nama-namanya). 

Ihsan Tarore?  Bagus kok, cuma masih dibawahnya mereka...sedikit, hehe.  Kadang-kadang bahasa tubuhnya agak kaku dan ekspresinya kurang mantep.  Tapi untuk ukuran rookie, Ihsan patut mendapatkan two thumbs up. Why?  Gue baru ingat di itu Ihsan 'Idol'.  Gue jadi ingat dia itu pemenang Indonesian Idol 3, dan berasal dari Medan.  Di film ini dia harus berbicara dalam logat Jawa, dan dia bisa menguasainya dengan cukup baik.  I hope he will play a better movie next time. 

Gue juga suka karena crewnya gak asal-asal membuat setting tahun 1970, mereka mengerjakan setting film ini dengan cukup hati-hati dan mendetail.  Guys, I really appreciate it!  Setting film ini berhasil banget memanjakan mata gue selama nonton film ini.  Gue nangkep banget suasana 70an dan 80annya(?) 

Di awal film, Ifa Isfanyah berhasil membawa a delicate sense of humor ke film ini.  Hasilnya, humor yang dimasukkan membawa energi ke film ini. 

Penata musik film ini juga berhasil membawa gue ke dinamika emosi.  Bagus juga gak setiap adegan emosional gak ada musiknya.  Hal itu justru menambah intesitas film.  Setelah adegan itu berakhir, musik itu baru diputar.  It's quite smart, walaupun gak setiap adegan seperti itu.

Film ini juga film Indonesia yang non-linera banget.  Biasanya kan film Indonesia itu 'mundur' terus (Laskar Pelangi) atau 'maju' terus.  Yang bagusnya lagi adalah penonton gak dibuat bingung karena diawal adegan akan ditulis adegan itu tahun berapa, di kota apa.

Tapi.................untung gue gak berharap banyak sama film ini?  Kenapa?

Setelah karakter Iwan digambarkan pintar, ia malah disuruh mengikuti kompetisi menyanyi.  What the..?  Menurut gue itu gak konsisten dan gak nyambung.

Bicara soal gak nyambung, gue juga bingung kenapa dialognya kadang dari bahasa Jawa ke Indonesia.  Kalau sekalinya pake Bahasa Indonesia, logat Jawanya jadi menghilang.  Hmm...

Gue agak terkejut film ini menggunakan salah satu teknik yang digunakan di film Annie Hall, yaitu 'mengunjungi' masa lalu.  Bedanya, kalau Alvy kecil dikunjungi Alvy besar, di film ini Iwan besar dikunjungi Iwan kecil.  Tapi dialognya kurang seru.  Kadang-kadang kata-katanya terlalu mendramatisi, gue lebih suka kalau dialog antara mereka berdua dibikin lebih humoris.  Atau sekalian perbincangan heart-to-heart.  

Setelah gue memuji Ihsan karena logat Jawanya, gue pengen mengkritik logat Amerikanya.  Boleh sih kalau diawal tahunnya di New York, Ihsan pake logat Amerika yang putus-putus.  Tapi setelah lama tinggal di New York, kok masih kurang luwes logatnya?  Memang adegan-adegan di New York rata-rata cukup singkat, tapi Ihsan harusnya tetap mempelajari logat Amerika.

Ada juga karakter Mida yang bikin gue greget...dalam artian kesal.  Siapapun yang meranin Mida, akting lo sama buruknya dengan Raline Shah.  Logat dan dialognya kaku banget.  Do your homework girl-__-  Gak cuma itu, kalau pengen bikin love line, mendingan sekalian yang dramatis aja deh.  Love line Mida dan Iwan kayak cerita Never Let Me Go, tahu-tahu udah saling suka aja.  Iwan sendiri menganggap Mida (atau Ida ya?  Maap, emang gue rada budek-_-) cinta yang berlalu.  Namanya udah gak disebut lagi waktu dia ke Jakarta atau New York.  Gue lebih suka ceritanya Ikal-A Ling, lebih melankolis (walaupun agak lebay).  Mida sendiri gak ada usaha untuk 'menyadarkan' Iwan.  Jadi rasanya gantung dan what the banget.

Endingnya juga terlalu me-reveal.  Menurut gue endingnya itu lebih waktu Iwan sampai di bandara, biar agak menggantung sedikit.  Di akhiran filmnya terlalu dramatis dan boring.  Jadi berjalan lebih lambat.  Gak cuma itu, ada adegan waktu Iwan di Jakarta yang menurut gue bizarre banget.  Iwan lagi dicegat preman, terus habis dicegat langsung ke adegan lain.  Penonton kan jadi gak tahu apakah dia melawan atau apa yang terjadi sama dia.  Waktu dia lagi di subway di New York, dia juga langsung roboh sama preman.  Lembek amaaaaaaaat.  Katanya inspiratif, tapi karakternya sendiri gak berusaha melawan atau memperbaiki kekurangannya dia.  Berusaha merebut 'cewek'nya aja enggak.  Apakah karakter yang just go with the flow itu inspiratif?  I don't think so.  Mungkin bisa jadi inspiratif, tapi kalau terlalu pasrah kayak gini, gak juga kali-_-

Overall, film ini sebenarnya worth to watch.  Kasihan juga sama film-film Indonesia yang sebenarnya bagus, tapi ceritanya gak 'seru' kayak 5 cm atau Habibie & Ainun (I don't really like those movies, they're overrated).  Sering mengeluh film Indonesia itu bokep doang, tapi kalau ada film drama bagus gak mau nonton-_-  Siapa lagi yang mau nonton film Indonesia kalau bukan kita, penduduknya?  Gue yakin, kalau kita menunjukkan antusiasme dan apresiasi terhadap film Indonesia, pefilman Indonesia bakal bangkit.  Sineas-sineas gak cuma bikin bokep, dan mungkin bisa lebih go international kayak film-film Thailand.  Gue harap momentum perfilman Indonesia 2012-2013 bisa dijaga, jangan sampai kayak dulu.  Udah bagus ada Gie, AADC, Petualangan Sherina, Janji Joni, Arisan, dan lain-lain, terus jatuh gara-gara horror -__-  Keep moving forward!  7/10


pic cr : ahlikompi
           facebook

2 komentar:

  1. pengen nonton film ini banget, tapi selalu ga sempat (apalagi terjangan film2 summer Hollywood juga lagi gencar banget) haha. awalnya gua ga berharap banyak sama film ini karena gua pikir ini bakalan jadi another mainstream movies with moral values (yang saking banyaknya dibikin jadi malah terkesan ga berkembang), tali melihat review positif dari banyak orang, gua jadi penasaran. haha.

    Hey, if you wanna try a whole new experience in watching Indonesian movies, why not try watching "What They Don't Talk About When They Talk About Love"? Jarang ada film arthouse kayak gini di Indonesia.

    Nice review :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks, haha. Belum sempet nonton Don't Talk Love, gara-gara tinggal di empat bioskop. Tapi coba deh besok, gara-gara banyak yang film bagus.

      Anyway, thanks for reading :D

      Hapus