Senin, 24 Juni 2013

Cinta Dalam Kardus

Terkadang, cinta gak perlu diomongin. -Miko


Tadinya sih gue sih pengen nonton Leher Angsa, tapi setelah lihat beberapa review yang memuji film ini, gue memutuskan untuk nonton film ketiga Raditya Dika.  Gue udah menduga dia itu ketularan banget sama Woody Allen, dan gue baru tahu beberapa bulan yang lalu kalau Dika emang fans Allen-_-

Salman Aristo mengajak kita untuk berkenalan dengan Miko (Raditya Dika), seorang cowok canggung yang sedang mencoba untuk melakukan stand-up comedy (Allen banget!).  Namun, Miko tidak bisa memulainya dengan tenang karena ia baru saja bertengkar dengan pacarnya, Putri (Anizabella Lesmana).  Ternyata tak seorang pun di kafe yang mempedulikan Miko, dan akhirnya Miko malah menceritakan kisah-kisah mantannya, menggunakan barang-barang yang ada di kardus.  Mulailah perjalanan Dika untuk lebih mengerti hubungan cinta bersama penontonnya di kafe.


Sebelum gue nulis gak jelas, gue pengen tulis beberapa adegan atau hal di film ini yang menurut gue mirip di Annie Hall :

1. Film diawali dengan monolog.
2. Tokoh terkadang berbicara langsung ke kamera.
3. Ketika Miko berbicara di panggung, terdengar suara-suara orang yang sedang berbicara alias mengabaikan Miko. Di Annie Hall, ketika Annie (Diane Keaton) ingin menyanyi, suara telepon, piring, dan orang berbicara terdengar dan suara Annie seakan-akan 'tenggelam'.
4. Tokoh pria adalah cowok canggung yang juga stand-up comedian.
5. Ada adegan yang menggunakan kartun.

Berbeda dari Cinta Brontosaurus yang mempunyai dialog dangkal dan komedi konyol, CDK (kependekkan) mempunyai dialog yang unik dan komedi yang pintar.  Dialognya pop culture sekali, dan seiring berjalannya film, film ini akan mengajak penonton untuk lebih memahami cinta tanpa terkesan menggurui.  Pengunaan penonton-penonton di kafe sangat pintar, karena justru lewat mereka kita bisa memahami sosok Miko dan mengapa ia sinis dalam urusan cinta.  Mereka tidak sekedear penghias dan hanya menonton, mereka terus berargumen dan bertanya, dan terkadang ikut memahami perasaan Miko.  Walaupun terkadang gue agak terganggu dengan acting skill mereka, yah akhirnya gue maafin juga.

Penontonnya pun melibatkan berbagai jenis.  Ada suami-istri, pasangan ABG (alay), orang yang sekedar nongkrong, sampai orang yang punya ukuran baju berbeda dan...er...dukun?  Bukan hanya dari penonton, karena Miko tidak hanya melibatkan kenangan cintanya, tapi juga kenangan bersama ayahnya.  Hmm, mungkin lebih tepatnya percakapan.  I like the conversation between little Miko and his dad, and the metaphor that was used by Miko's dad to describe love.  Simple but unique.  

Kalau menurut gue sih, film ini juga mempunyai beberapa twist, baik di tengah film maupun di ending.  Hal-hal teknis juga lebih baik daripada Cinta Brontosaurus, baik sinematografi maupun musik pengiring.  Salman Aristo juga cukup berani untuk menggunakan kardus sebagai adegan flashback dan bukan flashback konvensional.  Tapi, Salman Aristo tidak menggunakan kardus itu secara berlebihan.  Untuk adegan yang memang harus 'dalem' dan intim, dia menggunakan adegan flashback yang konvensional (when I watched it, I was a bit surprised).  

I'm not a movie freak yet, but I think Cinta Dalam Kardus is the most modern Indonesian rom-com I've ever watched. 9/10
pic cr :
muterfilm.com
muvila.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar