Minggu, 10 November 2019

Love for Sale 2


The most horror love story, kira-kira itulah tagline promosi Love for Sale 2. Pada tahun 2018, Andibachtiar Yusuf sukses menangkap perhatian pecinta film Indonesia lewat film Love for Sale, yang diperankan oleh Della Dartyan dan Gading Marten. Namun, poster film ini tidak menampilkan Gading Marten sama sekali. Bagaimana kelanjutan kisah Arini dan Love Inc?

Film dimuali dengan Ican (Adipati Dolken) yang menghadiri pernikahan adat Padang bersama keluarganya. Sang ibu, Rosmaida (Ratna Riantiarno), cemas karena di antara ketiga anaknya, hanya Ican yang belum menikah. Kakak Ican, Ndoy (Aryo Wahab), sudah menikah meskipun istrinya kerap dikecilkan oleh sang ibu. Si bungsu, Buncun (Bastian Steel), menikah muda dan sudah mempunyai satu anak. Tertekan dan merasa bersalah, akhirnya Ican memutuskan untuk menyewa pacar dengan kriteria dari Padang, agamis, usia 25-30, pintar, dan bisa diajak berbicara dengan ibu-ibu. Love Inc mengirim Arini (Della Dartyan) yang langsung memikat seluruh keluarga Rosmaida.





SPOILER ALERT


Gue cukup suka dengan opening scene film ini, bahkan one-shot di opening cukup panjang. Suasana pernikahan dan dialognya benar-benar menangkap stereotipikal orang Indonesia yang kepoin pernikahan dan bertanya-tanya kapan saudara/anaknya menikah. Adegan tersebut juga menangkap bahwa masih ada beberapa orang yang meskipun sudah tinggal di kota dalam waktu yang cukup lama, mereka masih terikat dengan adat dan kepo-kepo sanak saudara yang kuno. Mungkin agak kelamaan aja sih, karena di menit ke berapa gue sempat mikir, "Ini kapan ceritanya bergerak?".

Meskipun judul ceritanya "Love for Sale 2", jangan berharap banyak dengan aspek romansa film ini. Film ini justru lebih fokus ke aspek keluarga dan konflik menyenangkan orang tua vs keinginan pribadi. Sayangnya, kata-kata yang dikeluarkan oleh tokoh sang ibu bagi gue udah level preachy. Apalagi kata-kata dia sering tidak mendapat perlawanan, atau digambarkan sebagai filmmaker, "Ya udah lah ya, udah ibu-ibu gini, orang tua toh juga udah lebih tahu biasanya." Terutama aspek pemaksaan dan emotional guilt tripping, bahkan manipulatif, kepada Ican. Film ini memang menyentil Rosmaida yang ingin anaknya menikah, tapi dia sangat picky dalam aspek menantu. Tapi ia tidak pernah disentil karena memaksa Ican untuk menikah, bahkan sampai berkata seperti ini, "Ibu gak tahu sampai kapan ibu hidup, dan ibu pengen lihat kamu menikah sebelum ibu mati." Mungkin tidak persis seperti itu, tapi bagi gue itu udah masuk ke emotional manipulation. Orang-orang di sekitar Ican pun seakan-akan mendukung pandangan ibu.

Gue gak tahu apakah penulisnya juga punya tujuan ini, tapi fakta Ican sampai bohong dan bayar wanita untuk menipu keluarganya, adalah bukti tidak langsung betapa toxic permintaan si ibu. Ican berpikir Arini hanya akan menenangkan ibunya sampai beberapa bulan. Ia tidak berpikir apa yang terjadi jika ibunya sampai mempunyai attachment dengan Arini, atau bahkan ketika kontrak tersebut berakhir. Ini juga merugikan Arini, karena Ican sendiri tidak mempertimbangkan bahwa Arini mempunyai rencana lain, atau seberapa kepribadian Arini yang merupakan kepribadian aslinya atau karena dibayar.

Rosmaida pun sayangnya tidak punya watak lain sebagai seorang ibu yang taat adat dan agamis. Sumpah, mungkin karena gue tipikal anak muda kota gak relijius dan gak suka adat, jadinya gak simpatik sama sekali sama karakternya dia. Apalagi ketika dia memarahi anak bungsunya, dia lebih menekankan betapa malunya dia ketimbang kepribadian anaknya.

Aspek keluarga yang ditekankan memang mungkin tema film Indonesia populer tahun 2019, seperti Keluarga Cemara, Dua Garis Biru, bahkan Perempuan Tanah Jahanam juga to some extent. Sayangnya, aspek keluarga film ini malah mengorbankan chemistry dan progres hubungan Arini dan Ican. Adipati Dolken memang aktingnya bagus di film ini, tapi tidak sampai bersinar seperti Gading Marten di film sebelumnya. Della Dartyan pun juga tidak secharming di film sebelumnya bagi gue.

Overall, Love for Sale 2 is a steady film that explores a stereotypical Indonesian family and how having a good marriage is still a source of pressure in Indonesia. Sadly, it compromises the chemistry and the story of its romantic leading pair. 6,5/10.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar