Rabu, 10 Agustus 2022

[A Review-ish] Pengabdi Setan 2: Communion [SPOILER ALERT]

Akhirnya sekuel dari Pengabdi Setan ditayangkan pada Agustus tahun ini. Jarak antara sekuel dan film pertama cukup lama, yaitu sekitar lima tahun. Film yang digarap oleh Joko Anwar dan dibintangi oleh Tara Basro ini merupakan salah satu film Indonesia yang ditunggu-tunggu. Buktinya film tersebut sudah mencapai satu juta penonton kurang dari seminggu. Film ini mengikuti kehidupan keluarga Rini yang terdiri dari Rini sendiri, bapak, Bondi, dan Toni. Sekarang mereka tinggal di sebuah rusun (rumah susun) yang cukup terpencil. Hidup di rumah susun tentu saja membuat mereka memiliki beberapa tetangga seperti Tari (Ratu Felisha), seorang PSK yang sering digoda oleh Dino (Jourdy Pranata). Bondi memiliki beberapa teman baru, salah satunya adalah Wisnu, yang dianiyaya oleh bapaknya sendiri. Suatu malam, para penduduk rumah susun khawatir karena adanya peringatan mengenai badai. Namun kekhawatiran mereka berubah menjadi ketakutan ketika suatu kecelakaan mematikan terjadi di rumah susun tersebut.

Pengabdi Setan 2 kembali dengan beberapa aspek yang lebih tentu saja. Sinematografinya jauh lebih bagus dan cantik daripada film sebelumnya. Penggunaan cahaya juga sangat efektif, tidak hanya bagian horornya tapi juga bagian cantiknya. Production value juga kelihatan lebih bagus dan mahal. Gila sih Joko Anwar dan timnya bisa sampai pake gedung rusun yang terbengkalai.

Nah, sayangnya meskipun set-nya udah lebih gede dan lain-lain, gue malah merasa terornya gak semencekam film pertama. Nah mungkin ini karena setting film pertama kan di rumah tua. Kalau lo masih punya kerabat yang rumahnya di desa, gayanya jadul, punya sumur, pasti ada point relateable. Gak cuma itu, tapi karena itu di rumah, kayak lebih terasa claustrophobic karena space untuk lari lebih kecil. Secara psikologis, lo akan lebih merasa tertekan karena lo diserang di tempat yang seharusnya tempat teraman dan ternyaman buat lo.

Tapi ini tidak seharusnya menjadi alasan. Space yang luang seperti rumah susun memiliki teror sendiri. Bisa jadi "teror elektronik" kayak film horor Jepang tahun 90-an seperti The Ring atau Ju-On. Tipe horor "aneh" macam drakor Stranger from Hell yang tetangganya aneh-aneh juga bisa. Atau rumah susun bisa digunakan agar para karakter merasa lelah, terutama secara fisik, karena justru rumah susun jadi terasa terlalu luas. Artinya ya mereka harus lebih banyak lari dong waktu ketemu setan. Rumah susun juga terasa sulit dibedakan karena bentuknya ya begitu-begitu saja, sehingga mungkin bisa menimbulkan keparnoan karena "merasa" sudah ke rumah yang itu. Sayangnya, selama di film tidak ada rasa-rasa tersebut. Mungkin Joko Anwar merasa ide-ide gue yang itu terlalu klise, tapi I'll take cliche over underwhelming horror anytime.

Intinya, setting rumah susun di film Pengabdi Setan 2 gak bikin gue paranoid kayak sumur atau ke toilet malem-malem (dari film pertama). Sebenarnya bukan berarti gagal bikin takut sih. Ada beberapa yang lumayan bikin gue dagdigdug kek waktu si Wisnu buang sampah atau si tetangga-tetangganya Rini pada melihat ke arah dia. Tapi entah build-upnya terlalu pendek (untuk gue) sehingga tidak ada lingering fear setelah pulang, I don't know. Gue takut sih nonton PS2, tapi takutnya ya udah, gak bikin parno.

Sekarang kita lanjut ke masalah teori-teori di film ini. Dari perspektif ekonomi, memang Joko Anwar sukses creating hype and buzz for the film, yang gue yakin bikin investor seneng. Di sisi lain, misteri di film ini tuh terlalu loose dan out of nowhere for me. Tidak banyak fondasi yang menjadi anchor bagi penonton. Padahal gue suka misteri di mana clue-nya yang memang bisa digunakan untuk menjawab beberapa pertanyaan di film.

Contoh misteri yang baik unexpectedly menurut gue malah ditulis oleh J.K. Rowling. Contohnya, Rowling suka menggunakan trope di mana ada "tersangka" yang digunakan untuk men-distract pembaca/penonton dari tersangka sebetulnya, kayak Snape di buku pertama tapi penjahatnya sebenarnya malah Quirell. Quirell merupakan penjahat pun bukan twist yang out of nowhere and for the sake of twist, karena Rowling sudah menebar petunjuk kecil seperti kepala Quirell yang ditutup terus, dan Snape yang mencoba untuk melawan Quirell.

Jujur gue sudah menebak si Bapak adalah seorang petrus (penembak misterius) karena kata petrus terlalu sering disebut di awal film, apalagi pekerjaan si Bapak tidak pernah dijelaskan. Tapi alangkah lebih baiknya jika ada petunjuk subtle yang lebih. Sebenarnya misteri atau hint yang going to nowhere is not something yang inherently wrong, tapi wajar jika ada beberapa penonton yang merasa tidak puas.

On the other hand, ada beberapa hint kecil yang gak (atau belum?) ke mana-mana. Contohnya, kenapa pocong-pocongnya di awal kok specifically munculnya di Boscha? Boscha-nya tidak disebut lagi di bagian selanjutnya. Kalau gue punya teori nih. Kan occult yang di film ini berasa kayak ala-ala horor film barat dibandingkan Asia. Kek pemujaan setan/paranormal atau apalah. I can't explain it clearly tapi vibenya tuh beda aja sama film sebelumnya. Mungkin kultus/kelompok pengabdi setan si ibu ini, aslinya muncul dari luar Indonesia, dari negara-negara yang ikut KAA di Bandung, makanya kemunculunnya baru ada sekitar mendekati KAA. Nah, Barata (Fachri Albar) dan Darminah (Asmara Abigail) lebih ke arah agen yang menyebarkan ajaran, tapi mungkin bukan anggota aktif, hence their dialogue in the end of the movie!

Overall, Pengabdi Setan 2 improves the cinematography and production value. Sadly, the terror has less grip as the set wasn't used effectively. My personal hope: Joko Anwar will give us more of Fachri Albar and Asmara Abigail so their face talent won't be wasted <3

Selasa, 29 September 2020

Enola Holmes

 

pic credit to netflix
pic credit to Netflix

Enola Holmes merupakan adaptasi dari novel Nancy Springer, dan disutradarai oleh Harry Bradbeer. Film ini mengikuti Enola (Millie Bobby Brown) yang dibesarkan oleh ibunya, Eudoria (Helena Bonham-Carter). Eudoria mengajarkan Enola keahlian dan pelajaran yang tidak umum dipelajari wanita waktu itu, seperti bela diri dan sains. Suatu hari, ibunya memutuskan untuk meninggalkan Enola. Enola yang belum dewasa menjadi anak wali Mycroft (Sam Claflin), kakak dari Enola dan Sherlock (Henry Cavill). Enola memutuskan untuk kabur dan mencari ibunya. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Tewkesbury (Louis Partridge), seorang bangsawan yang lari dari keluarganya.


pic credit to Netflix


Okay, I just need this to get out of my chest first: Henry Cavill lebih ganteng di sini daripada di DCEU woy. Kalau kata adek gue: "Emang mana yang lebih ganteng, orang pake celana dalam di luar atau di dalem."


Kalau gue menebak ini mengambil latar belakang di Edwardian Era. Edwardian Era sendiri berjalan dari sekitar tahun 1901 hingga 1910, sebelum Perang Dunia I. Gerakan suffrage berkembang cukup pesat di era ini. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok suffragattes sebenarnya memuncak sekitar tahun 1914, di bawah rezim George V. Meskipun gerakan suffrage berkembang di akhir Victorian Era, wanita yang memiliki pendidikan tinggi seperti Eudoria dan Enola sudah ada sejak lama di Inggris, sebut saja Ada Lovelace dan Mary Shelley.


Mungkin ada beberapa penonton juga yang tidak percaya wanita di zaman itu bisa belajar olahraga bela diri. Justru di Edwardian Era lah para wanita belajar jiu-jitsu untuk melindungi wanita lain. Wanita yang menyebarkan jiu-jitsu kepada wanita lain adalah Edith Garrud, instruktur WSPU (Women's Social and Political Union). Enola Holmes juga memiliki tokoh bernama Edith yang diperankan oleh Susie Wokoma, seorang wanita kulit hitam. 


Gue agak kaget gak ada yang mempermasalahkan pemilihan casting Wokoma, mengingat ia jelas-jelas terinspirasi dari real person. Mungkin ini karena Garrud sendiri bukan tokoh feminis yang populer. Menampilkan tokoh kulit hitam di Edwardian Era mungkin terasa seperti usaha dangkal yang bagus untuk terlihat memiliki 'diverse cast'. Tapi itu juga bisa usaha untuk whitewashing the history. Benar, tidak seharusnya orang menganggap serius nuansa historis dari film fiksi. Tapi ini film yang kelompok demografisnya adalah anak muda who probably do not know any better. 


Gue juga tidak akan mempermasalahkan pilihan casting itu kalau Enola Homes fully for entertainment. Alas, mereka mencoba untuk preaching for social justice and why you should participate in it. Tingkat preachnya sampai level penulisnya menuliskan dialog yang spelling out the message. Seandainya mereka gak preachy, mungkin I will take the faults of the film less seriously.


Walaupun Jack Thorne selaku screenwriter bersusah payah untuk menjelaskan pesan film, ada aspek cerita dan tokoh yang mengkontradiksi pesan tersebut. Ada adegan di mana Edith called out on Sherlock's apolotical position. Edith menyatakan bahwa wajar Sherlock tidak tertarik untuk mengubah tatanan politik, karena ia tidak pernah dirugikan oleh politik. Gue pribadi setuju bahwa orang yang apolitik cenderung priveleged, dan tidak peduli politik sama sekali artinya apatis terhadap kehidupan orang lain. Edith bahkan dengan gamblang ngomong kalau Sherlock kayak burung unta yang ngumpetin kepalanya di bawah tanah.


Di sisi lain, Enola dengan keras kepala menolak untuk berkompromi dengan Mycroft. Ia menolak untuk bergaul dengan cewek yang seumuran dengan dia di sekolah. Enola hampir tidak mengubah pendiriannya, bahkan menyatakan bahwa dunia lah yang harusnya berubah. Lalu, film ditutup dengan Enola yang menyatakan, "My life is my own (...)". Enola's hard headedness can hinder social change too, in real life. Karena di kehidupan nyata orang harus belajar untuk berkompromi dan choose their battle wisely. Gue juga mikir dengan dia menolak untuk belajar di sekolah itu, kemungkinan dia malah membuang kesempatan untuk networking dan menyebarkan feminisme ke kaumnya sendiri. Pilihan dia untuk bersikeras terhadap pendiriannya jadi kontras dengan keputusannya dia untuk menyamar, bahkan ganti gender dan kelas, di sepanjang film.


Nilai-nilai feminisme di film ini juga jadi berkurang jika mengingat film ini seakan-akan membagi tokoh-tokoh wanitanya menjadi dua: progresif dan kuno. Di sisi progresif ada Edith, Eudoria, dan Enola. Di kelompok kuno ada wanita bangsawan, cewek-cewek di sekolah Enola, dan Miss Harrison (Fiona Shaw, yang jadi tantenya Harry Potter). Hampir gak ada wanita yang di tengah-tengah. Mungkin ada satu sih, penjaga kosannya Enola, yang oportunis. Mycroft is also over-villainized? Dia jadi konservatif dangkal yang tipikal. I would've liked it more if he had been a traditional centrist that can challenge Enola's thought. 


Overall, Enola Holmes is an entertaining movie with Millie Bobby Brown as a solid lead. It has a pretty cinematography and a nice flow. Unfortunately, its attempt to be political is weak and the message is contradictory. 6,5/10






Senin, 28 September 2020

The Devil All The Time


Istilah "manusia lebih jahat daripada setan" berlaku terhadap film ini. Film yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama oleh Donald Ray Pollock berlatar belakang di Ohio, Amerika, setelah Perang Dunia II. Film ini mengikuti Willard (Bill Skaarsgard), veteran PD II, yang jatuh cinta kepada Charlotte (Haley Bennet). Mereka mempunyai seorang putra bernama Arvin (Tom Holland). Tragedi mulai jatuh ketika Charlotte sakit. Willard yang desperate untuk menyelamatkan Charlotte, menjadi lebih fanatik lewat doa-doanya, bahkan mengorbankan anjing milik Arvin. Charlotte tetap mati dan Willard bunuh diri. Arvin dibantu oleh Sheriff Bodereck (Sebastian Stan) sebelum dikirim untuk tinggal bersama neneknya, pamannya, dan Lenora (Eliza Scanlen).


Lenora dan Arvin bonding sebagai sesama anak yatim piatu. Lenora dibully oleh anak SMA sekitar karena ketaatannya terhadap agamanya. Arvin hanya ikut ke gereja demi menyenangkan neneknya. Insecurity Lenora dieksploitasi oleh pendeta baru, Preston Teagardin (Robert Pattinson). Sementara itu, Sheriff Bodereck mempunyai kecurigaan terhadap kegiatan adiknya, Sandy (Riley Keough). Bodereck menemukan foto aneh di rumah Sandy dan suaminya, Carl (Jason Clarke).




The Devil All the Time merupakan ujian pertama Tom Holland dalam akting yang lebih serius. Tidak hanya akting serius, Holland juga harus belajar menggunakan aksen semi-southern. Berbeda tentu dengan Pattinson yang memang on the rise as a serious actor. Seluruh pameran berakting dengan bagus di film ini, gak ada yang bolong. I personally want to give extra shoutout to Eliza Scanlen, yang benar-benar menangkap kerelijiusan dan insekuritas Lenora. 


Mungkin sudah bisa ditebak bahwa film ini akan berbicara tentang agama, specifically Christianity. Film ini tidak menyerang agama Kristen, hanya mengkritik fanatisme keras pengikutnya. Namun, menurut gue kritikan tersebut kurang relevan, tidak baru, dan tidak berani. Fanatisme relijius di film ini berlatar belakang tahun 50an dan di daerah rural. Ini era di mana pendidikan tidak seaksesible sekarang dan tokoh-tokohnya tidak punya banyak kesempatan untuk menjelajah dunia. Tentu wajar jika mereka bergantung pada agama. Kenyataannya, fanatisme sinting macam film ini bisa terjadi zaman sekarang dan di kota besar. Lihat saja gereja kultus di Seoul yang menyebarkan Covid-19, atau masjid di kota yang menyebarkan bibit intoleransi. Justru akan lebih menarik untuk melihat fanatisme relijius di era modern dan di perkotaan. Seandainya "The Devil All the Time" dibuat di Indonesia di era sekarang, atau di Amerika tapi lebih awal, mungkin akan terasa lebih berani atau baru. 


The religious background doesn't get anywhere, which is a shame. Apalagi kita semua udah pernah dengar preacher/reverend yang melecehkan jemaatnya. Orang tua yang memaksakan nilai agama ke anak juga familiar. Hampir gak ada eksplorasi lebih dalam dari fanatisme dan tokoh-tokoh itu. Fanatisme relijius hanya untuk props dari cerita Arvin dan tokoh-tokoh lainnya.


Tapi ada satu aspek yang gue setuju adalah orang yang posisinya lemah secara psikologis, akan lebih mudah untuk dicuci otaknya. Contohnya tentu saja Willard yang makin relijius ketika istrinya sakit, dan Lenora yang terlalu percaya kepada Pendeta Teagardin. Yang menarik juga adalah perbedaan antara Willard dan Arvin dalam menghadapi trauma. Willard mulai kembali menjadi relijius karena pengalamannya yang mengerikan di PD II. Trauma masa kecil Arvin justru membuatnya menjadi apatis terhadap agama, bahkan tidak menyukai Teagardin.


Gue juga suka film ini gak pakai tetek bengek supernatural atau magical realism kayak The Green Mile. Ada sense of realism yang menambah horor. Di dunia nyata kekejaman dan sisi gelap bukan datang dari setan atau devil, but the humans all the time. Apalagi kekejaman itu dilakukan oleh pihak-pihak yang seharusnya melindungi orang lain, seperti ayah, pendeta, dan polisi.


Film ini sifatnya non-linear dan semi-hyperlink kayak Magnolia atau Contagion. Jadi filmnya akan lompat-lompat perspektif. Menurut gue backstory-nya agak panjang dan boring. Backstory-nya juga agak memperlambat film dengan beberapa hal yang bisa di-skip. Editing-nya gue pribadi juga kurang sreg karena sekali atau dua kali gue agak kesusahan dengan ngikutin nama-nama tokoh di film dan koneksi mereka tokoh yang lain.


Overall, The Devil All the Time punya jajaran aktor yang solid, sinematografi yang apik, dan music score yang memperkuat atmosfer film. Sayang ceritanya kurang mendalami isu sosial yang diceritakan, dan tidak terasa baru dan berani. 6,5/10





Selasa, 31 Desember 2019

Star Wars: The Rise of Skywalker (Celotehan Penuh Spoiler)



J.J. Abrams kali ini membawa penonton ke akhir kisah dari trilogi sekuel Star Wars. Film dimulai dengan Kylo Ren (Adam Driver), yang menemukan suatu Sith wayfinder. Alat itu membawanya ke Planet Exegol, di mana ia bertemu dengan Palpatine (Ian McDiarmid), yang ternyata mastermind dari suara-suara yang Kylo dengar. 

Sementara itu, Rey (Daisy Ridley) kini berlatih dengan Leia (Carrie Fisher) setelah Luke meninggal. Poe (Oscar Isaacs) dan Finn (John Boyega) melakukan banyak misi bersama, meskipun Poe tidak selalu setuju dengan Rey. Ketika Resistance mengetahui Palpatine bangkit, Rey memutuskan untuk mencari Exegol dan melawan Palpatine. Di tengah pencarian Sith wayfinder lainnya, Rey dan Kylo Ren kerap bertemu melalui Force, dan mereka belum melepaskan visi mengenai antara satu sama lain.




SPOILER ALERT, I AINT KIDDING





In case y'all don't get it, I paid 50k Rupiah (sike, it's my parent's money) just so I could watch my OTPs in IMAX. No, I'm not alone).

Fandom Star Wars mungkin adalah salah satu fandom yang paling fanatik dan yang paling susah to feel pleased and satisfied. Akan selalu ada bagian fans yang tidak suka dengan keputusan yang diambil Disney atau para filmmaker mengenai trilogi ini. Hal ini bisa dilihat dari betapa pecahnya opini mengenai Episode VIII: The Last Jedi. Mungkin inilah yang membuat Abrams dan Disney memutuskan untuk mencoba pleasing everyone.

And boy, how well did it go in Episode IX.

Let me be clear first: there's a difference in listening to criticism and trying to please everyone. Ketika MCU berupaya untuk membuat musik di Black Panther berbeda dari film-film mereka sebelumnya, mereka telah mendengar kritik mengenai musik dari film-film mereka. Atau ketika mereka membuat film Thor yang berbeda dari dua film sebelumnya. You listen to the criticisms that are given to you, without losing the vision you have. Rise of Skywalker, on the other hand, does not have a clear vision.

Let's start with the development of Rose, Poe, and Finn. Poor Kelly Marie Tran, dia gak kepakai di film ini. Poe dan Finn other than the fact they should've been together hampir tidak mengalami perkembangan sama sekali. Beberapa momen penting mereka di film ini harus dibagi dengan karakter baru, that are not memorable for me. Untuk Poe, fakta dia punya mantan pacar dan dia dulu bekerja sebagai spice smuggler, cuma jadi lelucon dangkal dan gak menambah poin apapun bagi karakternya dia dan plot film. John Boyega tidak bisa menjelajahi kemampuannya karena dia kembali sebagai sidekick dan ship tease dengan Rey. Padahal, masa lalu Finn sebagai stormtrooper punya potensi untuk digali lebih dalam karena dia bertemu dengan eks stormtrooper lainnya. There are so many things that can be explored like, how far his trauma is, how young were the kids who were kidnapped, and what I would personally like, to see him reaching a stormtrooper personally and inspired a stormtrooper. Like, what a wasted potential!



Maybe because I don't follow the franchise religiously, I feel Palpatine's (and Lando) return is just for nostalgia's sake. He just comes and goes. Don't get me wrong, I'm not mad for Palpatine and Lando's return, tapi gak berhasil membawa apa-apa bagi penggemar yang gak fanatik kayak gue. Penjelasan mengenai kembalinya Palpatine juga terasa half-assed. Akan lebih menarik melihat interaksi Lando dengan Ben Solo, tapi kalau gak ditulis dengan baik, juga bakal jelek hasilnya.

And now, let's talk about Ben fucking Solo, the last canonically, Skywalker descendant. Ada ironi pahit meskipun Ben Solo pada akhirnya kembali ke light side dan ia menyelesaikan apa yang kakeknya inginkan, yaitu menyelamatkan wanita yang ia cintai, ia akhirnya tetap mati dan kematiannya benar-benar mengakhiri garis Skywalker. What's harsher in hindsight, Palpatine lah yang menang karena keturunannya masih hidup lewat Rey. I personally feel Kylo Ren merupakan salah satu karakter yang ditulis paling bagus dalam trilogi ini. Karakternya merupakan yang paling kompleks dan multidimensional. Karena itu, gue merasa Abrams dan penulis lainnya bingung mereka mau membawa  Kylo Ren / Ben Solo ke mana. Also, Ben Solo using the mask back is just tasteless for me. Ben Solo tidak berkata apapun setelah meninggalkan dark side. Ada komentar yang mengatakan akan lebih menarik jika RoS lebih menggali Ben Solo, dengan membuat proses Bendemption terjadi lebih awal. I agree with that! Sisi positif yang gue suka mungkin adalah Kylo Ren akhirnya menjadi sama kuatnya dengan Rey, setelah ia dikalahkan (di TFA) dan mengalami stalemate (di TLJ). Dia akhirnya bisa mengalahkan Rey di duel lightsaber karena ia lebih tenang dan percaya diri.

Which brings us to Reylo. Disney benar-benar memancing shipper dengan menggunakan Reylo selama marketing TROS. Yang paling bikin Reylo shippers baper tentu saja that But I do line. I gotta say, me and other shipper feel cheated. Mereka menggunakan Reylo dan memberikan banyak hint mengenai Reylo, tapi chemistry dan perkembangannya tidak terasa semagis TLJ. Sebenarnya ada chemistry, but it owes to Adam Driver and Daisy Ridley, not the writers. In addition, gimana gue percaya Rey dan Ben beneran force mate kalau Rey reaksinya biasa saja? Coba deh, bandingkan reaksi Rey waktu lihat Han Solo dibunuh, dan waktu mengira Chewie mati. Masa Rey lebih berduka lihat mereka berdua mati dibandingkan her own soulmate? Apalagi, Rey S K Y W A L K E R. Last time I check, it's Ben SOLO, not Skywalker. Padahal Rey sendiri yang bilang meskipun ia punya camaraderie dengan Resistance, ia tetap kesepian. Artinya, ada Leia pun ia kesepian. She wasn't even mourning deeply for Luke, how am I supposed to believe that she would pick Skywalker as her last name? 

Overall, I do not think The Rise of Skywalker is a bad film. It is just a disappointing one, as it wastes potentials, tries to please too many sections, and uses too much nostalgia points. 6,5/10.



Kamis, 19 Desember 2019

Marriage Story (2019): Ketika Kylo Ren bercerai dengan Black Widow


Perceraian atau rumitnya suatu pernikahan bukanlah tema yang baru dalam dunia perfilman. Sebut saja Kramer vs Kramer, yang posternya kerap dibandingkan dengan poster di atas, oleh para penggemar film. Ada juga Blue Valentine, yang cukup membuat sesak penontonnya. Lalu, bagaimana Noah Baumbach mengelola suatu tema yang jarang tapi bukan baru?

Film dibuka dengan montage manis yang menunjukkan apa Charlie (Adam Driver) suka dari Nicole (Scarlett Johansoon), lalu sebaliknya. Mood yang manis itu langsung pecah ketika adegan selanjutnya menunjukkan bahwa keduanya sedang dalam proses perpisahan dan Nicole menolak untuk membaca surat yang berisi apa yang ia suka dari Charlie. Keduanya sepakat untuk tidak memakai pengacara dan melakukan perpisahan secara damai. 

Saat itu, Nicole telah menerima pekerjaan di Los Angeles, sementara Charlie tetap mengurus teaternya yang terletak di New York. Nicole membawa putra tunggal mereka, Henry. Ketika di L.A., Nicole bertemu dengan Nora (Laura Dern), seorang pengacara keluarga yang bersimpati dengan Nicole. Ia meyakinkan Nicole untuk membayar ia sebagai pengacaranya. Charlie pada awalnya menganggap santai karena ia mengira Nicole dan ia pada akhirnya tidak akan menggunakan perceraian. Tapi, akhirnya Charlie menyadari bahwa Nicole serius menggunakan Nora sebagai advokatnya dan ia segera mencari pengacara. Tidak kuat membayar Jay (Ray Liotta), ia beralih kepada Burt (Alan Alda), seorang pengacara yang tidak secerdik Jay, namun meminta Charlie untuk berpikir panjang mengenai masa depan putranya.




I found another movie that can explain the 34487th reason why I do not want to get married, lol. Sebelum nonton nih film gue juga enggan sih buat menikah, tapi kalau ada orang yang masih bacot, beneran gue paksa deh nonton nih film.

On the serious note, salah satu poin penting kenapa pernikahan Charlie dan Nicole gagal adalah komunikasi yang buruk di antara mereka. Ada miscommunication kecil tetapi menumpuk dan menumpuk. Suatu hal yang kecil pada akhirnya karena gagal dikomunikasikan, atau hanya dipendam, jadi membusuk di hati. Masalah komunikasi merupakan masalah klasik dalam interaksi manusia, dan kadang kita hanya bisa memahami ketika sudah "pecah". Komunikasi memang tidak bisa sekedar membaca atau mendengar kata. Contohnya, Nicole menjadi kesal kepada Charlie karena mereka tidak kunjung tinggal di L.A. Padahal, Charlie dulu pernah berjanji bahwa mereka akan tinggal di L.A., tempat tinggal Nicole sebelumnya. Charlie hanya memandang permintaan Nicole untuk tinggal di L.A. seperti suatu permintaan untuk mengganti sofa, atau perabotan, yang tidak dilakukan tidak memiliki akibat apapun. Artinya, Charlie tahu Nicole tertarik untuk tinggal di L.A., tapi ia gagal memahami seberapa dalam keinginan istrinya itu.

Selain masalah komunikasi, mereka berdua sudah tidak berbagi visi yang sama mengenai masa depan mereka. Sebenarnya hal ini sudah ada subtle hint di awal, ketika Charlie bersedia untuk membaca suratnya sementara Nicole bersikeras agar kedua surat tersebut tidak dibaca. Nicole juga punya gairah untuk memperkaya wawasannya, ia tidak ingin terjebak di teater atau New York. Ini berbeda dengan Charlie yang terlalu mencintai New York dan teaternya, bahkan enggan membiarkan Nicole untuk menyutradarai sekalipun.

Ketiga, Charlie memang kurang peka terhadap keinginan dan kebutuhan orang yang ia cintai. Menurut gue, hal ini menjadi poin minus dari Marriage Story. Noah Baumbach seakan-akan membuat mereka mempunyai beban kesalahan yang sama, tapi di mata gue, Charlie dosanya lebih banyak. Charlie tidak hanya kurang peka, ia bahkan berselingkuh sebelum ia dan Nicole memutuskan untuk bercerai. Ketika dikonfrontasi oleh Nicole, ia berdalih bahwa hal itu "bukan selingkuh". That information really held me back from completely sympathizing with him. Di bagian ini gue lebih suka Kramer vs Kramer. Meskipun tokohnya Dustin Hoffman agak lalai, akhirnya ia memperbaiki kesalahannya dan memiliki a happier relationship with his son. Meskipun begitu, gue pribadi tetap sedih melihat Charlie memikul "hukuman" yang lebih berat daripada Nicole di akhir film.



Poin yang membuat film ini agak berbeda dengan film lainnya mungkin adalah pergulatan legal yang sebenarnya tidak hanya mahal di keuangan, tapi mahal juga di ekonomi. Kramer vs Kramer mungkin ada adegan di pengadilan, tapi tidak sepadat di Marriage Story. Proses perceraian yang sifatnya adversarial justru membuat perceraian menjadi kompetisi, baik finansial maupun gengsi. Mereka berdua akhirnya mengeluarkan kata-kata yang mereka sesali, baik yang diucapkan diri sendiri maupun dari kuasa hukum masing-masing.

Poin lain yang gue suka dari film ini adalah it's not all about love. Pernikahan hidup bukan karena cinta saja. Cinta dan pernikahan butuh nutrisi berupa komunikasi yang baik dan kepekaan yang cukup. Ada quotes dari film ini yang kira-kira berbunyi, "I will never stop loving him, although it doesn't make sense anymore." Hubungan yang memiliki cinta, tapi tanpa komunikasi, kepekaan, and sometimes, a shared vision, is a doomed relationship. I also love how the film makes a distinction between love and relationship. 

Marriage Story has a very strong solid. Bagi yang mengikuti karir Adam Driver rasanya tidak akan terlalu terkejut dengan acting range yang ia tunjukkan di film ini. I haven't seen Scarlett in a drama movie for a long time, so I was a little surprised with how well she acted. Can't wait to see her in other drama films. Tidak hanya kedua lead actors yang aktingnya solid, Laura Dern dan Ray Liotta sangat bagus dan bisa menyelipkan humor ketika mereka tampil. Alan Alda sangat cocok menjadi pengacara lembut tapi telah mencicipi pahit-manisnya hidup. Shout out to Julie Hagerty and Merritt Wever yang jadi ibu dan kakaknya Nicole. Singkat, tapi menghibur. In short, I applaud the whole cast. 

Marriage Story shows us the distinction between love and relationship, while slipping some lighthearted and funny moments, with a damn solid cast. 8,5/10.


Minggu, 17 November 2019

Ratu Ilmu Hitam (Black Magic Queen) 2019



Joko Anwar kembali sebagai penulis dalam film Ratu Ilmu Hitam. Film ini merupakan remake dari film Suzanna yang berjudul sama, yang dirilis tahun 1981. Meskipun mempunyai judul yang sama, film ini merupakan film yang berbeda dengan film Suzanna.

Film ini diawali dengan perjalanan sebuah keluarga menuju panti asuhan sang ayah, Hanif (Ario Bayu). Ia pergi bersama seluruh keluarganya, yang terdiri dari sang istri, Nadia (Hannah Al-Rashid), ketiga anak mereka, Sandi (Ari Irham), Dina (Zara), dan Haqi (Muzzaki Ramdhan). Mereka mengunjungi panti asuhan tersebut, karena pemilik panti asuha, Pak Bandi (Yayu Unru), sakit keras. Di sana, sang ayah bertemu kembali dengan kedua temannya, yaitu Anton (Tanta Ginting) dan Jefri (Miller Khan), yang datang bersama istri mereka masing-masing. 

Hanif yang penasaran, dengan cepat menemukan misteri dan rumor yang mengerikan mengenai Ibu Mirah (Ruth Mirana), seorang mantan pengurus panti asuhan yang konon meninggal di panti tersebut. Meningalnya Ibu Mirah berkaitan erat dengan hilangnya Murni, salah satu anak panti asuhan yang dikenal oleh Hanif dan teman-temannya. Satu per satu, teror mendatangi semua orang di panti tersebut.



Ada salah satu dialog yang menarik dari film ini yang versi tahun 1981. Konteksnya, kepala desa memprotes perlakuan terhadap ibunya tokoh Suzanna yang diperlakukan semena-mena hanya karena anaknya dituduh tukang santet. Si kepala desa mengatakan, sebagai negara hukum, harusnya diselesaikan secara hukum. Namun si pembuat onar mengatakan bahwa santet sudah di luar ranah hukum. 

Baik versi tahun 1981 dan versi tahun 2019 mempunyai beberapa benang merah. Salah satunya adalah absence of justice bagi korban kekerasan. Salah satu faktor yang membuat ketiadaan keadilan dalam film ini adalah jauhnya panti asuhan tersebut. Mendapatkan sinyal susah dan mencapai jalan tol juga susah. 
Pada akhirnya, hukum menjadi sia-sia karena ia tidak bisa dijangkau oleh si korban baik secara fisik maupun psikologis. 

Tapi, kadang yang membuat hukum menjadi seakan-akan tidak ada atau tidak hidup dalam masyarakat, bukan karena ia "jauh", tapi masyarakat itulah yang tidak bisa menerimanya. Makanya dalam hal ini gue lebih suka penggambaran masyarakat di film yang asli. Kalau kita melihat dari skandal Harvey Weinstein, ia bisa lari dari hukum karena ia tidak sendiri dan the system secara nyata menormalisasikan tindakannya. Agak disayangkan film ini kurang memperhatikan dari sisi the big picture, karena seakan-akan yang terjadi adalah there's this one bad guy. Di sisi lain, film ini juga membuat gue bertanya-tanya: bagaimana posisi moral preteen atau manusia belum dewasa, yang sengaja atau tidak sengaja, membantu si pelaku kekerasan seksual?

Namun, satu hal dari dunia nyata yang direfleksikan film ini adalah fakta bahwa pelaku kekerasan seksual tak jarang merupakan orang yang dikenal korban. Hanya menasehati orang untuk waspada terhadap orang asing sama sekali tidaklah cukup. Tak jarang, orang itu mempunyai posisi di atas korban, seperti orang tua ke anak, atau guru ke murid. And in most cases, si korban jadi takut untuk cerita. Kadang yang terjadi kalau si korban cerita malah victim-blaming, atau si pelaku menggunakan kekuatannya untuk menjatuhkan karakter si korban. I think this part is a very parental or familial horror, especially because these things do happen. 

Yang dijelajah secara tidak langsung di film ini juga adalah dualitas manusia. Si pelaku merupakan orang yang baik dan dipercayai. Tapi ia juga seorang pelaku pelecehan seksual terhadap anak-anak. Bahkan memfitnah orang yang melindungi anak-anak tersebut. Sering orang menganggap pelaku kejahatan tertentu adalah monster dan tidak mungkin manusia. Namun mereka tetap manusia, yang kadang punya sisi dermawan, punya orang yang mereka cintai, dan sebagainya. In my opinion, justru itulah yang lebih mengerikan, bahwa pelaku kekejian seperti itu adalah manusia yang mempunyai sifat manusia. Kadang kita unknowingly hidup bersama orang seperti itu, bahkan menganggap orang itu adalah orang baik.



Other Stuffs

Gue jarang melihat body horror di film Indonesia. Itupun jatuhnya ke gore, kayak Rumah Dara  (is it a body horror tho?). Tapi film ini berhasil mencampur-adukan body horror, gore, Indonesian mystical horror, and bits of other horror (bad stuffs happen to children). Sayangnya, ilmu hitam sendiri tidak digali dengan dalam di film ini. Jadi kurang nendang, padahal yang gue nanti-nanti justru itu. Gue pribadi lebih ke arah jijik kalau lihat gore, tapi gak bakal kebayang. Yang bikin gue terngiang-ngiang justru horor yang dedemitnya gitu (kek yang adegan TV). Karena tidak tergali dalam, ilmu hitam ini datangnya rada abrupt dan gak bikin impression yang memorable di film ini. 

On the other hand, build up misteri Ibu Mirah dan Murni udah bagus sih. Intriguing, reveal-nya pun juga memuaskan. Mungkin untuk menjaga mistri, sisi manusiawi Bu Mirah sedikit sekali yang diperlihatkan. 

Cast Ratu Ilmu Hitam cukup solid, but I give extra credits for Hannah dan Muzzaki. Apalagi Muzzaki dengan jatah dialog yang cukup menghibur dan 'pemandu' penonton dalam beberapa misteri film ini. Sayang yang jadi final boss kurang menakutkan. Mungkin dipengaruhi juga dengan build up yang rada rushed.

Overall, Ratu Ilmu Hitam is a very solid Indonesian horror with good visual effects and cast, although rushed on the third act. It brings proper points on the reality of sexual harassment victims and how das sollen (law in the books) can not always bring justice. 8,5/10.