Pengabdi Setan 2 kembali dengan beberapa aspek yang lebih tentu saja. Sinematografinya jauh lebih bagus dan cantik daripada film sebelumnya. Penggunaan cahaya juga sangat efektif, tidak hanya bagian horornya tapi juga bagian cantiknya. Production value juga kelihatan lebih bagus dan mahal. Gila sih Joko Anwar dan timnya bisa sampai pake gedung rusun yang terbengkalai.
Nah, sayangnya meskipun set-nya udah lebih gede dan lain-lain, gue malah merasa terornya gak semencekam film pertama. Nah mungkin ini karena setting film pertama kan di rumah tua. Kalau lo masih punya kerabat yang rumahnya di desa, gayanya jadul, punya sumur, pasti ada point relateable. Gak cuma itu, tapi karena itu di rumah, kayak lebih terasa claustrophobic karena space untuk lari lebih kecil. Secara psikologis, lo akan lebih merasa tertekan karena lo diserang di tempat yang seharusnya tempat teraman dan ternyaman buat lo.
Tapi ini tidak seharusnya menjadi alasan. Space yang luang seperti rumah susun memiliki teror sendiri. Bisa jadi "teror elektronik" kayak film horor Jepang tahun 90-an seperti The Ring atau Ju-On. Tipe horor "aneh" macam drakor Stranger from Hell yang tetangganya aneh-aneh juga bisa. Atau rumah susun bisa digunakan agar para karakter merasa lelah, terutama secara fisik, karena justru rumah susun jadi terasa terlalu luas. Artinya ya mereka harus lebih banyak lari dong waktu ketemu setan. Rumah susun juga terasa sulit dibedakan karena bentuknya ya begitu-begitu saja, sehingga mungkin bisa menimbulkan keparnoan karena "merasa" sudah ke rumah yang itu. Sayangnya, selama di film tidak ada rasa-rasa tersebut. Mungkin Joko Anwar merasa ide-ide gue yang itu terlalu klise, tapi I'll take cliche over underwhelming horror anytime.
Intinya, setting rumah susun di film Pengabdi Setan 2 gak bikin gue paranoid kayak sumur atau ke toilet malem-malem (dari film pertama). Sebenarnya bukan berarti gagal bikin takut sih. Ada beberapa yang lumayan bikin gue dagdigdug kek waktu si Wisnu buang sampah atau si tetangga-tetangganya Rini pada melihat ke arah dia. Tapi entah build-upnya terlalu pendek (untuk gue) sehingga tidak ada lingering fear setelah pulang, I don't know. Gue takut sih nonton PS2, tapi takutnya ya udah, gak bikin parno.
Sekarang kita lanjut ke masalah teori-teori di film ini. Dari perspektif ekonomi, memang Joko Anwar sukses creating hype and buzz for the film, yang gue yakin bikin investor seneng. Di sisi lain, misteri di film ini tuh terlalu loose dan out of nowhere for me. Tidak banyak fondasi yang menjadi anchor bagi penonton. Padahal gue suka misteri di mana clue-nya yang memang bisa digunakan untuk menjawab beberapa pertanyaan di film.
Contoh misteri yang baik unexpectedly menurut gue malah ditulis oleh J.K. Rowling. Contohnya, Rowling suka menggunakan trope di mana ada "tersangka" yang digunakan untuk men-distract pembaca/penonton dari tersangka sebetulnya, kayak Snape di buku pertama tapi penjahatnya sebenarnya malah Quirell. Quirell merupakan penjahat pun bukan twist yang out of nowhere and for the sake of twist, karena Rowling sudah menebar petunjuk kecil seperti kepala Quirell yang ditutup terus, dan Snape yang mencoba untuk melawan Quirell.
Jujur gue sudah menebak si Bapak adalah seorang petrus (penembak misterius) karena kata petrus terlalu sering disebut di awal film, apalagi pekerjaan si Bapak tidak pernah dijelaskan. Tapi alangkah lebih baiknya jika ada petunjuk subtle yang lebih. Sebenarnya misteri atau hint yang going to nowhere is not something yang inherently wrong, tapi wajar jika ada beberapa penonton yang merasa tidak puas.
On the other hand, ada beberapa hint kecil yang gak (atau belum?) ke mana-mana. Contohnya, kenapa pocong-pocongnya di awal kok specifically munculnya di Boscha? Boscha-nya tidak disebut lagi di bagian selanjutnya. Kalau gue punya teori nih. Kan occult yang di film ini berasa kayak ala-ala horor film barat dibandingkan Asia. Kek pemujaan setan/paranormal atau apalah. I can't explain it clearly tapi vibenya tuh beda aja sama film sebelumnya. Mungkin kultus/kelompok pengabdi setan si ibu ini, aslinya muncul dari luar Indonesia, dari negara-negara yang ikut KAA di Bandung, makanya kemunculunnya baru ada sekitar mendekati KAA. Nah, Barata (Fachri Albar) dan Darminah (Asmara Abigail) lebih ke arah agen yang menyebarkan ajaran, tapi mungkin bukan anggota aktif, hence their dialogue in the end of the movie!
Overall, Pengabdi Setan 2 improves the cinematography and production value. Sadly, the terror has less grip as the set wasn't used effectively. My personal hope: Joko Anwar will give us more of Fachri Albar and Asmara Abigail so their face talent won't be wasted <3